Oleh : eN-Te
Hari ini, Selasa (15/11/2016), Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polisi RI melakukan gelar perkara atas kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Gubernur DKI nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama (BTP), atau lebih akrab disapa Ahok. Kasus itu dilaporkan sebagian elemen masyarakat yang mewakili umat muslim karena merasa agama dan kitab suci Al-Qur’an dinistakan Ahok.
Mantan Bupati Belitung Timur ini dituduh telah dengan sengaja melalui pidato di Kepualauan Seribu menistakan Al-Qur’an, khususnya surah al-Maidah ayat 51. Atas ‘insiden’ pidato tersebut, Ahok kemudian mendapat angin badai bertubi-tubi. Gelombang protes meruak, baik dari mimbar ruang ibadah, mimbar ceramah, mimbar majelis taklim, mimbar takziyah, maupun mimbar jalanan. Aksi protes itu bahkan sampai harus memobilisasi massa seperti pada 411. Massa pun terhipnotis dan dengan suka rela turun berpanas-panasan dan berhujan-hujanan di jalanan, dengan memompakan mantra membela agama, sehingga mendorong sebagian umat muslim berlomba-lomba menunjukkan ‘kesalehannya’.
Akan tetapi, meski sudah mendapat serangan bertubi-tubi dari segala arah, Ahok masih sangat liat dan tetap eksis. Pertanyaannya adalah apakah setelah gelombang demo 411, sehingga membuat Presiden harus perlu memberikan instruksi kepada Kepala POLRI (Kapolri) Tito Karnavian untuk melakukan proses hukum secara tegas, cepat, dan transparan terhadap dugaan penistaan agama itu, karier politik Ahok akan tamat? Atau malah sebaliknya, menjadi tonggak baru kebangkitan karier politik Ahok?
Sejak kemunculannya di pentas politik Nasional, Ahok sepertinya telah dengan sengaja men-setting dirinya seolah ‘berbeda’ dengan politisi pada umumnya. Ahok bahkan sangat ‘sadar diri’, bahwa dalam politik mainstream yang sedang berlaku di negeri ini, kehadirannya merupakan sebuah anomali dari pakem yang berlaku. Pakem umum berlaku bahwa sangat jarang dan sangat sedikit dari entitas minoritas etnis dan agama akan memperoleh tempat untuk mengaktualisasikan potensi dirinya dalam ruang publik. Tapi setelah memperoleh tempat itu, Ahok malah membuat ulah. Mencoba menantang arus, medobrak pakem baku, bahkan malah dengan sengaja menyulut api ‘peperangan’.
Memang bukan merupakan sebuah kesengajaan bila Ahok keselip lidah, sehingga harus menyambar isu sensitif yang menjadi kepercayaan mayoritas warga bangsa ini. Tapi, bila melihat semua setting masalah yang melatari sehingga pidato nyeleneh itu harus terlontar dari mulutnya, maka faktor ‘ketidaksengajaan’ itu bisa diabaikan. Artinya, meski sebagai bentuk reaksi terhadap aksi yang diterima, hal itu juga memberikan indikasi bahwa lontaran itu muncul dari sebuah ruang kesadaran rasional Ahok.
Ahok pasti dalam hati kecilnya telah menduga bahwa menyinggung hal-hal yang berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) adalah hal yang sangat tabuh dan sangat sensitif, yang dapat  menimbulkan masalah. Tidak hanya berupa dampak resistensi terhadap eksistensinya sebagai makhluk politik (politisi), tapi juga terhadap dirinya sebagai umat beragama, kepala keluarga, maupun pribadi. Lebih jauh malah akan merembet sampai harus menggugat eksistensi dirinya sebagai etnis minoritas.
Maka panggung hukum menjadi satu-satunya saluran resmi untuk memutuskan. Apakah Ahok pantas menerima resiko sebagai konsekuensi logis dari sikap nyelenehnya itu, atau malah menjadi amunisi baru untuk menopang dirinya terus menjulang tinggi? Gelar perkara ‘penistaan’ agama oleh Bareskrim POLRI hari ini (15/11/2016) untuk membuktikan tuduhan terhadap Ahok akan menjadi penentu awal perjalanan Ahok selanjutnya.
Hanya ada dua kemungkinan dari hasil gelar perkara ‘penistaan’ agama itu. Jika dinyatakan terbukti memenuhi unsur sehingga Ahok ditetapkan menjadi tersangka, maka dapat dipastikan bahwa karier politik Ahok akan meredup hingga menuju padam. Begitu pula sebaliknya, bila Ahok dapat membuktikan bahwa ujarannya tersebut tidak bermaksud menista keyakinan dan kepercayaan serta kitab suci agama Islam, maka ‘nilai jual’ Ahok akan melonjak tinggi.
Meski semua pihak telah berkomitmen untuk menyelesaikan kasus penistaan ini melalui jalur hukum, hal itu tidak serta merta akan mengurangi tensi dan kadar ‘ketidakpercayaan’ terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Artinya, apapun hasil gelar perkara pada hari ini, berpotensi menimbulkan kontroversi dan polemik baru yang berkepanjangan. Dengan begitu, kegaduhan yang diharapkan dapat berhenti setelah proses hukum selesai,  ‘masih jauh panggang dari api’.
Mungkin sebagai pihak yang tersudutkan, tidak ada pilihan lain bagi Ahok untuk dan harus menerima keputusan gelar perkara kasus penistaan  hari ini, meski keutusan itu kurang berpihak dan menguntungkan dirinya. Bahkan sejak jauh-jauh hari, Ahok dengan lantang telah menyatakan sikap legowo untuk menerima konsekuensi hukum atas pidatonya. Tapi mungkinkah, sikap yang sama juga berlaku bagi kelompok pelapor?