Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Abaraham Samad, Nasibmu Kini...

17 Februari 2015   22:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:01 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : eN-Te

Hari ini, Selasa, 17 Februari 2015, sehari setelah hakim praperadilan kasus penetapan tersangka Komjen BG sebagai tersangka oleh KPK diputuskan, Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) menetapkan Abraham Samad (AS) sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen. Rupanya penetapan AS sebagai tersangka oleh Polda Sulselbar secara resmi telah dilakukan pada tanggal 9 Februari 2015 (sumber). Dokumen yang diduga dipalsukan adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor atas nama Feriyani Lim. Dengan ditetapkannya AS sebagai tersangka, berarti ia menyusul koleganya Bambang Widjojanto (BW) yang terlebih dahulu telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes POLRI.

Penetapan tersangka terhadap AS yang diduga melakukan pemalsuan dokumen, menunjukkan antiklimaks masa-masa kegemilangan sebagai “hero” pemberantasan korupsi. Kondisi ini mengingatkan penulis pada sebuah sumber yang menyebutkan tentang “nasehat” yang diberikan Jusuf Kalla (JK) ketika AS mengunjungi beliau guna mendapat restu untuk kepentingan pencalonannya menjadi komisioner KPK. Dalam bahasa Makassar, JK mengingatkan kepada AS agar “jangan kajili-jili” (arti bebasnya jangan ke-genit-an, sumber), mengingat AS sebagai orang “baru” di Jakarta. Tapi, sangat disayangkan, “nasehat” dari orangtua Bugis-Makassar ini, rupanya tidak terlalu dicamkan dan diindahkan oleh AS. Karena itu, dengan perasaan yang sangat konfidens, AS dan koleganya sesama komisioner, pimpinan KPK, BW, dengan gagah berani “memproklamirkan” Komjen BG sebagai tersangka kasus gratifikasi. Segera setelah penetapan tersangka Komjen BG sebagai tersangka oleh KPK maka terjadi kegaduhan politik nasional, yang entah sampai kapan akan berakhir. Dan efek berikutnya seperti kita saksikan sampai hari ini, publik pun terpolarisasi dalam dua kelompok besar, pendukung KPK dan pendukung BG, juga POLRI.

Unjuk  Kuasa

Dalam suatu kesempatan, penulis ditanya oleh seorang teman, - sehubungan dengan gonjang ganjing pencalonan Komjen BG sebagai calon tunggal Kapolri -, “siapa yang menang, antara Jokowi dan AS?” Penulis dengan singkat mengatakan, bahwa jika melihat dari sudut masa jabatan, Jokowi dalam posisinya sebagai Presiden, yang masa jabatannya masih empat tahun lebih, sedangkan AS hanya tinggal menghitung bulan, maka penulis memastikan bahwa yang keluar sebagai pemenang adalah Jokowi. Sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tertinggi di Republik ini, Jokowi memiliki kekuasaan yang memungkinkan untuk memastikan bahwa masa jabatannya baru akan berakhir setelah satu periode selesai. Sementara AS, sebagai komisioner dan Ketua KPK, yang telah menjalankan lebih dari tiga perempat masa jabatan, kekuasaanya tinggal beberapa bulan lagi akan berakhir. Jika “iklim dan cuaca” politik masih berpihak kepadanya, maka AS dapat mencalonkan diri dan bisa terpilih kembali menjadi komisioner KPK untuk satu periode berikutnya. Jika tidak, maka berakhir pula petualang AS dalam belantara pemberantasan korupsi. Meski AS sendiri secara genuine lahir dari rahim pegiat antikorupsi.

Namun demikian membaca dan melihat “iklim dan cuaca” politik terkini (Kompas.com, Selasa, 17/02/2015), di mana AS telah ditetapkan sebagai tersangka, naga-naganya, penulis hampir dapat memastikan bahwa “cuaca dan iklim” politik tidak berpihak (lagi) kepada AS. Karier politik dan hukum AS mengalami antiklimaks, memudar, dan berakhir. Jangankan AS dapat dengan tenang menyelesaikan sisa masa jabatannya sampai akhir secara normal, malah hampir pasti, kariernya harus “dihentikan” secara paksa di tengah jalan. Karena berdasarkan UU KPK, seorang pimpinan KPK bila menyandang status tersangka maka ia harus mengundurkan diri, dan Presiden berhak memberhentikan melalui Keputusan Presiden (Keppres). Jika sudah demikian, apa hendak dikata, “nasi sudah menjadi bubur”.

Akibat terlalu bersemangat melampiaskan “dendam” politiknya terhadap Komjen BG (menurut versi Hasto Kritiyanto), AS dan (juga) BW, dengan jumawa, seakan-akan ingin “unjuk kuasa” dengan “memproklamirkan” Komjen BG sebagai tersangka, tanpa mempertimbangkan etika politik bernegara, pada saat Presiden sudah mengajukan pencalonan BG kepada DPR. Seakan-akan Presiden ditelikung di tikungan. Bahkan ada yang sampai menyebutkan bahwa “keberanian” AS dan (juga) BW ini, karena bertujuan untuk “mempermalukan” Presiden. Sayangnya, dalam perkembangannya, - sejak hakim praperadilan membacakan putusan -, cuaca dan iklim politik, serta arah angin tidak lagi berpihak kepadanya. Maksud hati menembak sasaran, malah peluru berbalik arah menimpa diri sendiri. Ibarat menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Maka kemudian benar, relevansi nasehat JK, “janganko ka’jili-jili” dengan kondisi yang dihadapi AS saat ini.

Dari kenyataan ini, satu pelajaran yang dapat dipetik, bahwa politik itu bukan sekedar masalah kekuasaan, tetapi hal itu lebih pada seni mengelola strategi, taktik, dan pada batas tertentu, merupakan trik “mengelabui” lawan. Jika Anda tidak mahir dan lihai dalam mengelola permainan politik, pada saat yang bersamaan ia akan berbalik “membunuhmu”.

Karena Nila Setitik, Borok Lama Terkuak : Menimbang Kearifan Sosial

Menghadapi kondisi terkini, AS dapat melakukan upaya hukum, sebagaimana yang ditempuh Komjen BG, untuk merehabilitasi dan memulihkan nama baiknya. Dengan yurisprudensi, sebagaimana vonis hakim praperadilan atas kasus Komjen BG, AS dapat melakukan upaya-upaya hukum sebagai hak konstitusionalnya untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Meminjam istilah KPK sendiri, AS harus menunjukkan bahwa ia tidak bersalah atas kasus yang dituduhkan, ia hanya korban “permainan politik” tingkat tinggi, dalam istilah familiar yang sering digunakan KPK, dikriminalisasi.

Lepas dari kasus yang menimpa AS adalah “permainan politik”, harus dapat dipahami bahwa dalam politik, berbagai kemungkinan bisa saja terjadi. Setiap orang yang memutuskan untuk terjun ke dunia politik, harus mawas diri dan “pintar” membaca situasi. Jika tidak “pintar” membaca situasi di mana arah angin dapat saja berubah secara tiba-tiba dan mendadak, Anda akan gelapan, panik, dan kemudian tersungkur. Dan sebelum semua itu terjadi, meminjam istilah JK, “janganko ka’jili-jili”. Karena jika Anda “kajili-jili”, hanya karena “nila setitik”, borok-borok lama akan terkuak tanpa tabir. Aib yang seharusnya tabu dan tersimpan rapi di ranah privat, maka blow up menjadi sesuatu yang lumrah dan menjadi konsumsi publik.  Ini bukan saja hanya sekedar “permainan” politik dan “balas dendam” tetapi bagian dari proses alamiah sebagai sunnatullah. “Bau bangkai itu, biar disembunyikan dalam peti emas sekalipin, akan tercium juga”. Ini pameo yang sangat berharga, yang sering kita abai dan lupakan. Dan sebelum semua hal itu terjadi, yang mengantarkan kita pada suatu kondisi, “sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna”, maka kita perlu memiliki kearifan sosial. Kearifan sosial memberikan panduan (guide line) dalam bertindak dan bersikap dalam melakukan interaksi sosial dan interkoneksi dengan sesama. Dengan berpegang pada kearifan sosial mengantarkan kita pada suatu kondisi sosial yang harmonis, tanpa konflik dan friksi.

Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 17  Februari  2015, Pkl. 16.10 Wita

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun