Sudah cukup lama saya tidak menulis artikel di blog keroyokan kompasiana.com. Meski banyak hal dan peristiwa menarik yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk diangkat maupun diulas dalam sebuah tema artikel (tulisan). Meski demikian, semua itu, sengaja atau terpaksa saya lewatkan begitu saja, karena "suasana hati" dan pertimbangan-pertimbangan "moral" yang kurang mendukung. Tapi tiba-tiba setelah mendapat kiriman sebuah tautan yang dibagikan melalui grup WA (setelah sepintas saya lihat dan baca), mendorong saya untuk kembali ke "maqom" saya (back to basic), menulis.
Menuangkan ide dan mencoba merangkai puzel-puzel informasi dan atau fenomena (dari) sebuah peristiwa sosial maupun politik untuk membentuk sebuah mozaik yang indah. Tidak hanya sekedar merangkai kata membentuk kalimat, paragraf (alinea) menjadi sebuah alur informasi komprehensif, tapi juga punya alas rasional dari sisi akademik.
Maka hari ini, saya pun tersadar, dan mencoba "keluar," sekurang-kurangnya secara moral untuk bersedia mengorbankan sedikit dari banyak waktu yang berharga memberikan informasi pembanding ke masyarakat akar rumput sehingga tidak terus menerus menjadi obyek pembodohan kaum elit (baca: terpelajar). "Elit", dengan sikapnya yang elitis dan terus menerus menempatkan masyarakat akar rumput sebagai objek dan sekaligus konsumen pemamah informasi "sampah" yang telah sedemikian rupa dimanipulasi sesuai selera dan kepentingan.Â
***
Sampai hari ini, masih ada saja yang ngelindur dan mengigau tidak karuan dan tak ada juntrungannya, mempersoalkan hasil Pilpres 2019. Bukan saja di grup-grup WA, tapi pada berbagai perbincangan terutama di dunia maya, masih saja ada yang terus menerus tenggelam dalam romantisme "pertarungan" Pilpres. Persoalan hasil Pilpres terus saja menjadi amunisi provokasi untuk menebarkan kebencian dan memelihara atmosfir permusuhan.
Padahal pesta sudah usai, para aktor juga sudah saling berpelukan. Masing-masing telah membagi tugas dan peran. Terus mengapa harus menyiksa diri, mengkhayal, berhalusinasi, mengigau, dan ngelindur untuk memberikan pembenaran (justifikasi) atas asumsi yang jauh-jauh hari telah dirancang? Kesengajaan yang dinarasikan untuk memanipulasi dan mengelabui pikiran awam hanya untuk memberikan stigma!
"Hanya kecurangan yang dapat mengalahkan, ...", adalah narasi yang dirancang dan dihembuskan untuk menggiring opini publik agar mau mempercayai sebuah asumsi. Sehingga rangkaian peristiwa dan kejadian berikutnya sudah bisa menjelaskan upaya-upaya justifikasi terhadap asumsi yang dikemas melalui narasi tersebut. Â
***
Pertama, "ramalan" ala mimpi ustadz pop. Dalam hitungan hari menjelang hari H pemungutan suara, salah seorang kontestan kedatangan tamu istimewa, seorang ustadz pop yang lagi naik daun, dan sedang pada puncak ketenarannya. Lagi digandrungi para audiens (jamaah)-nya. Menurut si ustadz pop itu, dia telah mendapat "wangsit" melalui mimpinya, tak tanggung-tanggung sampai sebanyak 5 kali. Dalam mimpinya, menurut si ustadz, ia (telah) mendapat sinyal langsung bahwa jagonnya akan keluar sebagai pemenang kontestasi Pilpres 2019.
Mendengar celoteh ustadz ala dukun peramal, sang Capres pun terharu sambil menitikkan air mata. Sebab ia merasa tampuk kekuasaan sudah berada di pelupuk mata, sejengkal lagi dia akan menggapainya. Kursi singgasana akan menjadi miliknya. Â Sehingga wajar jika fakta kemudian berkata lain, sang Capres pun uring-uringan, bertingkah seperti bocah yang kehilangan permen. Berbagai polah tingkah nyeleneh dipentaskan di ruang publik untuk memperlihatkan resistensi terhadap kenyataan yang berbeda dengan ekspektasinya.
"Wangsit" ala ustadz pop mengantarkan pada bentuk pembenaran kedua. Dengan bermodalkan data perhitungan suara internal (tim sukses) sang capres melakukan selebrasi kemenangan dengan sujud syukur berjilid-jilid. Pesan yang ingin disampaikan melalui selebrasi sujud syukur adalah agar para pendukung dan volounternya percaya bahwa mereka telah dengan sangat meyakinkan memenangkan pertarungan. Klaim sepihak untuk memberikan sugesti psikologis, cara jitu untuk mempertahankan semangat juang pendukung, dan bila perlu terus bertarung untuk mempertahankan "kemenangan semu".