Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Misteri Klan SBY dalam Pusaran Kasus e-KTP

6 Februari 2018   11:01 Diperbarui: 6 Februari 2018   14:32 1824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : http://www.rmol.co/read

Oleh : eN-Te

Gonjang-ganjing kasus megakorupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (yang lebih tenar disebut e-KTP), semakin ke sini, semakin 'misterius'. Buat saya kasus e-KTP ini misterius, karena nama-nama yang sempat  muncul dalam dakwaan beberapa terdakwa kasus e-KTP terdahulu kemudian tidak terdengar lagi dalam dakwaan pada proses pengadilan dengan terdakwa mantan Ketua Umum Golkar dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Setya Novanto (Setnov). Sebut saja beberapa politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo dan Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, dan juga yang lainnya dari partai lain. Apalagi sekarang muncul pula nana-nama dari klan SBY.

Tiba-tiba dalam beberapa persidangan lanjutan kasus e-KTP terakhir melalui kesaksian para saksi dan catatan Setnov, klan SBY mulai disebut-sebut. Diawali dengan kesaksian Mirwan Amir, yang menyebut nama SBY dalam persidangan Setnov. Kemudian masuk pula nama Ibas dalam "Buku Hitam" Setnov.

Hadir sebagai saksi, Mirwan Amir mengaku bahwa pernah pada suatu kesempatan bertemu di kediamannya di Cikeas, ia menyampaikan atau tepatnya menyarankan kepada SBY, agar menghentikan proyek e-KTP yang sedang berjalan. "Kata Mirwan, dirinya pernah meminta Kepada SBY untuk tidak melanjutkan proyek e-KTP lantaran bermasalah." Mirwan merasa perlu meminta kepada SBY untuk menghentikan proyek e-KTP tersebut, karena dalam pandangannya proyek tersebut banyak (ber)masalah.

Kesaksian Mirwan itu kemudian berbuntut panjang. Partai Demokrat pun berang. Segera setelah kesaksian Mirwan, Tim Hukum PD pun bereaksi.  Melalui Tim Hukum PD, pihak SBY pun melaporkan salah seorang Penasehat Hukum (PH) Setnov, Firman Wijaya ke Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri. 

Pihak SBY melalui Tim Hukum PD merasa keberatan dengan pernyataan dan atau pertanyaan yang disampaikan Firman Wijaya kepada saksi Mirwan Amir ketika persidangan berlangsung. Menurut Tim Hukum PD, bahwa keterangan atau pernyataan yang diberikan Firman Wijaya sudah masuk kategori perbuatan tidak menyenangkan. Firman Wijaya, menurut Tim Hukum PD dianggap telah menghina SBY  dan telah melakukan pencemaran nama baik.

Belum lagi jelas tentang penyebutan nama SBY, lagi-lagi klan SBY kembali terseret dalam pusaran kasus e-KTP. Adalah putra dan anak kesayangan Ibu Any Yudhoyono, Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas), ikut pula disebut.

Sejak ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, kemudian saat ini sedang menjalani sidang, sering terlihat tidak pernah sekalipun lepas dari tangan Setnov sebuah buku agenda berwarna hitam. Buku hitam itu seakan-akan menjadi misteri, mengingat setiap menghadiri persidangan Setnov tidak pernah sekalipun melupakan buku itu. Hal itu kemudian memunculkan rasa penasaran dan tanya publik. Ada apa gerangan dengan buku itu?

Rupanya "Buku Hitam" ala Setnov itu berkaitan dengan proses pengajuan dirinya sebagai justice collaborators. Mengingat seseorang akan dikabulkan permohonan menjadi justice collaborators bila memenuhi beberapa persyaratan. Salah duanya adalah menjadi terdakwa (kasus korupsi) dan berikutnya harus konsisten dalam memberikan kesaksian.

Pada persyaratan terakhir inilah kita dapat menemukan benang merah "Buku Hitam" ala Setbov itu dengan konsistensi dia dalam membuka semua borok kasus e-KTP. Terutama nama-nama besar yang diduga kuat ikut bermain dan menjadi master mind dalam kasus e-KTP.

Buku itu berisi cacatan-catatan penting, semua rangkain peristiwa, dan nama-nama yang diduga terkait dan ikut kecipratan duit haram proyek e-KTP. Dan setelah nama SBY disebut oleh Mirwan Amir, kini putranya pula ikut terseret. Putra SBY itu ikut disebut dalam daftar "Buku Hitam" ala Setnov itu. Ditampilkan dalam grafik, Setnov menuliskan nama Ibas, yang pada saat proyek e-KTP berjalan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PD dan juga Ketua Fraksi PD di DPR RI, juga kecipratan dana haram proyek e-KTP melalui mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin.

Jika ketika nama SBY disebut-sebut dalam persidangan Setnov bermuara pada pelaporan Firman Wijaya sebagai PH Setnov ke Bareskrim Polri, maka patut pula dilihat seperti apa reaksi klan SBY dan PD terhadap grafik dalam "Buku Hitam" ala Setnov? Mungkinkah penyebutan nama dari klan SBY itu hanya sebagai sebuah upaya bargaining position dari pihak Setnov melakukan "tawar menawar" untuk mendapatkan status justice collaborators semata? 

Atau ada skenario lain yang ingin dimainkan pihak Setnov untuk membuka "arena pertarungan" dalam kasus e-KTP yang lebih luas dan terbuka? Atau malah hanya sekedar mengetes permukaan air, sejauh mana magnitude kasus e-KTP ini dapat merambah lebih jauh?

Jauh sebelum kasus e-KTP menyeruak dan menyeret nama-nama beken di negeri ini, yang merugikan negara lebih dari dua trilliyun rupiah, kas negara besar nan indah permai ini pernah pula dirampok oleh para maniak duit hingga lebih enam trilliyun rupiah dalam kasus Bank Centuri. Tak tanggung-tanggung, kasus penggelontoran duit negara melalui Bank Centuri itu tidak hanya nyaris membuat negeri ini kelimpungan, karena nilai uang yang ditilep sangat fantastis, tapi juga karena peran aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

Sayangnya, kasus Bank Centuri itu mengalami antiklimaks. Sampai hari ini, dalam kasus Bank Centuri hanya kroco-kroco saja yang dihukum atas persekongkolan mereka merampok uang nagara tersebut. Sedangkan aktor-aktor intelektual sebagai master mind-nya masih melenggang kangkung hingga saat ini. Negara pun seakan tak mampu 'menjamah' mereka.

Karena itu, kita sebagai rakyat yang masih waras yang mencintai negeri besar nan permai ini, harus dapat memastikan, mengawal, dan terus mendorong agar pengungkapan kasus e-KTP tuntas tas taaaaaas. Meski harus menyeret dan membenamkan nama-nama besar, yang mungkin saja sedang membangun asa untuk mendorong putra mahkota naik ke singgasana kepemimpinan Nasional. Tidak hanya itu, publik Indonesia juga harus tetap melek agar semua nama yang sempat disebut-sebut dalam dakwaan jaksa penuntut umum pada terdakwa kasus e-KTP sebelumnya tidak lagi menjadi misteri(us).

Fakta yang hadir dalam setiap persidangan harusnya senantiasa diulik sampai tuntas, agar dapat menemukan bopeng yang sedang disembunyikan para aktor tersebut. Entah aktor itu, sudah menjadi mantan, atau sedang memegang jabatan prestisius saat ini. Dengan begitu kita baru bisa menikmati prinsip atau azas hukum yang sering didengungkan bahwa semua sama di hadapan hukum (equality before the law). 

Jangan hanya rakyat kecil yang terus menerus menjadi obyek penegakkan hukum di negeri ini. Sebuah ironi tak berujung! 

Baca juga artikel terkait penulis lainnya di sini 1 , 2 , dan 3  

 

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 06/02/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun