Ahok diproses hukum karena dianggap telah dengan sengaja dan sadar melakukan penghinaan (baca penodaan) terhadap agama Islam, khususnya berkaitan dengan pemilihan pemimpin. Sedangkan kasus Buni Yani menyangkut unggahan yang berbau permusuhan melalui media sosial, sehingga dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap UU ITE. Karena itu, Buni Yani pun menumpahkan kemurkaannya dengan meneriakkan mubahallah agar para Hakim yang memvonis dirinya yang tidak bersalah mendapat laknat dari Allah SWT.
Mubahallah dalam ruang persidangan untuk pertama kali dikumandangkan oleh Mantan Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat, Anas Urbaningrum (AU). AU pernah mengeluarkan sumpah kutukan (mubahllah) di hadapan majelis Hakim setelah dia divonis bersalah dan dihukum kurungan atas kasus tindak pidana korupsi (tipikor) proyek pembangunan sarana olahraga di Bukit Hambalang Bogor.
AU dan Buni Yani merasa perlu mengajukan "tantangan" kepada Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan bermubahallah sebagai instrumen untuk menguji validitas kasus dan vonis yang sudah dijatuhkan. Bagi AU dan Buni Yani, Â adalah penting menghadirkan "kekuatan lain" di luar instrumen hukum untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang berbohong dalam kasus yang sedang menjerat mereka. Apakah AU da Buni Yani yang berbohong, atau JPU yang benar, sehingga dapat "meyakinkan" Hakim mengambil keputusan yang benar pula.
Bahwa tantangan mubahallah itu dimaksudkan untuk menguji keberanian JPU dan Mejelis Hakim (terutama yang setuju untuk memutus bersalah), apakah mereka bersedia menerima "kutukan" bila salah menjatuhkan vonis terhadap mereka. Karena itu, jika menengok tujuan mubahallah AU, setelah tiga (3) tahun mejalani masa hukuman, sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa kutukan Tuhan itu menghampiri salah satu pihak (terpidana, JPU, dan Majelis Hakim). Artinya, dapat disimpulkan bahwa JPU telah melakukan tindakan yang benar berdasarkan bukti yang ada menghadirkan AU dan Buni Yani di depan sidang sebagai terdakwa. Begitu pula dengan Majelis Hakim, sudah memutuskan dengan benar berdasarkan bukti-bukti persidangan yang sah dan valid sehingga memvonis terpidana (AU dan Buni Yani) bersalah.
Jika keduanya merasa tidak bersalah dan telah dikriminalisasi, maka masih terbuka peluang untuk menempuh mekanisme hukum lainnya. Yakni banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Tidak perlu menempuh mekanisme lain yang tidak diatur oleh undang-undang dengan berpura-pura mengalami gejala amnesia. Misalnya dengan berteriak yang tidak ada juntrungan untuk menantang pihak lain bermubahllah, dan sebagainya. Apalagi harus menggalang "pengembira" hanya sekedar untuk memenuhi kepuasaan semu demi mempertahankan ego semata. Â
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 21/11/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H