Â
Oleh : eN-Te
Buni Yani menantang sambil mengepalkan tangannya berteriak mubahallah (sumpah kutukan) dan sekaligus "mendoakan" agar para Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dilaknat oleh Allah SWT. Buni Yani melakukan hal tersebut untuk mengekspresikan kekesalannya terhadap Hakim yang menjatuhkan hukuman bersalah dan menetapkan sanksi hukuman kurungan selama 18 bulan (1,5 tahun) penjara atas kasus pelanggaran undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE). Hal mana Buni Yani terbukti telah dengan sengaja memotong dan mengunggah pidato mantan Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok di Pulau Seribu, sehingga memancing kegaduhan atmosfir politik sejagad Indonesia Raya. Buni Yani  kemudian harus menjalani semua rangkaian proses penyelidikan, penyidikan, hingga harus didudukkan di kursi terdakwa dan kemudian divonis bersalah oleh Hakim.
Tak berhenti hanya di ruang sidang itu saja. Jauh hari sebelum sidang pembacaan putusan, Buni Yani juga rupanya, telah melakukan mobilisasi "para penggembira" untuk hadir dan memberi tekanan kepada Majelis Hakim. Terlihat dalam ruang sidang mantan artis yang nyambi jadi ustadzah(?), Neno Warisman, sementara di luar sidang terlihat politisi gaek dan oportunis sejati, Amien Rais, berorasi ria memaki dan mengumpat gak keruan bersama "para penggembira" lainnya. Amien Rais rupanya sudah tidak lagi memperdulikan harga diri dan martabatnya, sesuka udelnya memprovokasi massa hanya untuk memenuhi syahwat bawah sadarnya, dan berusaha ingin menutupi motifnya sesungguhnya agar tidak disalahkan. Karena secara Amien rais telah begitu getol menuntut Ahok harus di penjara, sementara jika Buni Yani dinyatakan bersalah, maka hal itu akan dapat  mencoreng wajahnya.
Ketika Majelis Hakim sedang membacakan vonis di dalam ruang sidang, sementara di luar sidang di depan gedung pengadilan "para penggembira" berteriak tidak karuan memaki sana mengumpat sini. Hampir tidak luput dari mulut mereka keluar "menu utama" ketika berorasi  setiap kali berkerumun, yakni mengeksploitasi kata kriminalisasi. Bagi kelompok ini, apapun kesalahannya, haram diproses hukum. Bagi mereka berlaku azas kekebalan hukum (immunitas). Sebuah istilah, yang akhir-akhir ini sering dikumandangkan oleh pengacara Setya Novanto. Bila aparat penegak hukum mencoba melakukan penegakkan hukum terhadap kelompok ini selalu saja mengemuka kecurigaan dan anggapan bahwa telah terjadi kriminalisasi.
Begitu pula dengan si Buni Yani. Mungkin karena terobsesi dan halusinasi, sehingga dia perlu juga menggalang dukungan dengan bermain istilah kriminalisasi. Di hadapan "para penggembira" setelah keluar dari ruang sidang, Buni Yani berorasi bahwa apa yang sedang dialami merupakan bentuk kriminalisasi terhadap dirinya. Buni Yani merasa negara telah merampok hak-haknya sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul mengemukakan pendapat dan pikiran. Karena itu, vonis yang dijatuhkan Hakim adalah bentuk pendzoliman terhadap dirinya yang tidak bersalah. Buni Yani merasa bahwa menggunakan hak untuk mengemukakan pendapat dan pikiran adalah hak azasi warga negara yang harus dihormati oleh negara.
Dalam kaca mata Buni Yani, apapun yang dilakukan sepanjang hal itu berkaitan dengan penggunaan haknya, meski bertentangan dengan norma yang lain tidak boleh diproses hukum. Walau dia sendiri juga mungkin menyadari bahwa karena ulahnya (menggunakan haknya semau udelnya sendiri), negeri ini nyaris berada di ujung tebing, hancur menjadi centang perenang.
Buni Yani merasa tidak perlu lagi mengingat keriuhan setelah postingannya tentang pidato Ahok menjadi viral. Dia juga tidak perlu merasa berdosa, atau berpura-pura lupa, bahwa berawal dari postingannya itu, kemudian dimanfaatkan dan dieksploitasi sedemikian rupa oleh para petualang politik untuk memanipulasi sentimen publik (baca ummat). Dari situ kemudian membuncah perasaan kebencian, membesar, dan menyebar bak virus yang mematikan. Terjadi kapitalisasi kebencian secara massif atas alas primordial.
Maka dalam sekejap muncul gejala amnesia. Di mana karena alasan mempertahankan ego (yang berlebihan), sehingga orang merasa keuh-keuh tidak bersalah atas apa yang sudah dilakukan, meski akibatnya jelas terlihat. Kondisi amnesia yang seperti ini disebabkan oleh penyebab fungsional, yakni faktor psikologis karena mekanisme pertahanan ego.
Buni Yani pun karena alasan mekanisme pertahanan ego tadi, maka berpura-pura lupa terhadap ulahnya, yang telah dengan sengaja melanggar UU ITE. Dalam hemat Buni Yani dan pengacaranya, tidak masuk akal jika dalam obyek yang sama (padahal beda) antara dia dengan Ahok, sama-sama dihukum bersalah. Pasti salah satu di antara keduanya salah dan yang lainnya benar. Tidak mungkin keduanya bersalah atas kasus dengan obyek yang sama. Jika Ahok telah divonis bersalah, maka seharusnya dia dinyatakan bebas demi hukum. Tapi mengapa para Hakim malah memilih memvonis  dirinya dengan menjatuhkan pidana 1,5 tahun kurungan? Begitulah asumsi Buni Yani.
Pertanyaannya, apakah benar kasus Ahok dan kasus Buni Yani adalah sama? Kasus Ahok adalah delik penistaan (baca penodaan) agama sedangkan kasus Buni Yani adalah delik pelanggaran UU ITE. Meski sepintas keduanya bermuara pada obyek yang sama, yakni isi pidato Ahok yang menyinggung surat al-Maidah ayat 51. Tapi secara substansi sebenarnya, baik kasus Ahok maupun kasus Buni Yani adalah berbeda.