Oleh : eN-Te
Panglima TNI Jenderal Gatot Normantyo pernah "memantik" kegaduhan setelah melempar pernyataan di hadapan para purnawirawan jenderal dan petinggi TNI aktif tentang pengadaan senjata dan amunisi oleh institusi di luar TNI/Polri. Kegaduhan itu bermula karena Panglima menyebut bahwa sumber informasi tentang pengadaan senjata dan amunisi itu berasal dari intelijen dengan klasifikasi A1 (valid dan sangat akurat).
Gaduh karena informasi yang bersifat rahasia itu kemudian terendus publik. Publik pun terbelah menjadi dua, sehingga terjadi polemik antara yang pro dan kontra. Maka atmosfir politik nasional pun turut terdampak, terjadi keriuhan.
Kelompok pro berpendapat bahwa informasi pengadaan senjata oleh institusi di luar TNI/Polri itu harus segera ditelusuri kebenarannya, dan segera mengambil tindakan tegas untuk mengantisipasi agar senjata tersebut tidak disalahgunakan. Apalagi sampai dimanfaatkan untuk merongrong kewibaaan pemerintah dan  merugikan kepentingan nasional dan negara. Mengingat ketika informasi itu 'di-launching' bertepatan dengan suasana bulan 'berkabung', yakni September kelabu. Di mana pada bulan September saban tahun, bangsa ini senantiasa diajak 'bernostalgia' mengenang kembali tragedi berdarah yang memilukan, yang pernah 'menghiasi' perjalanan sejarah bangsa ini. Peristiwa mana, yang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September, yang ditengarai didalangi Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Momentum itu kemudian menggiring opini bahwa pengadaan senjata oleh institusi di luar TNI/Polri patut diduga sebagai "persiapan" untuk mengulang alur cerita yang nyaris sama tapi tak serupa, dengan maksud melakukan makar ingin mengambil alih kekuasaan secara inkonstitusional. Karena itu, bagi kelompok pro, bahwa pernyataan Panglima itu sebagai peringatan dini (early warning) bagi Pemerintah dan masyarakat supaya tetap bersikap waspada, sehingga tidak lagi kecolongan. Jangan sampai kita seakan mengulang sejarah kelam yang sama, kemudian menyesali apa yang sudah terjadi. Di sisi lain, agar institusi yang "dicurigai" itu segera mengurungkan niat (jahatnya).
Sementara kelompok yang kontra menilai bahwa pernyataan Panglima itu sebagai bentuk atau sinyal Panglima sedang bermain politik. Dalam pandangan kelompok kontra ini, bahwa seharusnya Panglima TNI tidak bersikap "lebay", tapi sedikit lebih bersikap bijak (wise).Panglima harus lebih menunjukkan sisi kenegarawanannya, tidak karena ambisi politik tertentu, tidak asal grasak-grusuk mengumbar informasi A1 itu ke ruang publik. Panglima mestinya melaporkan informasi intelijen itu kepada user, yang dalam hal ini adalah Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang militer (dulu disebut Panglima tertinggi).
Meski menyadari bahwa semakin dekat dengan tahun politik, sehingga setiap informasi dapat menjadi isu liar, entah itu 'seksi atau tidak', yang dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik jangka pendek. Karena dalam tahun politik itu, semua informasi sangat berpotensi membuat gaduh, apalagi sumber informasi itu berasal dari seseorang yang mempunyai kewajiban menjaga keamanan negara.
Mengantisipasi kegaduhan itu supaya tidak semakin berlanjut sehingga berpotensi menghambat roda pemerintah, khususnya pertumbuhan ekonomi, maka Presiden Jokowi pada kesempatan sidang kabinet terbatas menginstruksikan agar semua anggota kabinet supaya fokus menjalankan tugas di bidangnya masing-masing. Anggota kabinet agar tidak membuat "ulah" yang dapat membuat atmosfir politik nasional menjadi gonjang ganjing. Jika kondisi gonjang ganjing itu berlanjut maka berpengaruh terhadap pencapaian program pemerintah. Meski "ulah" itu hampir tidak bisa disembunyikan dari motif politik.
Presiden kemudian menegaskan kembali tentang politik tentara dalam pidato peringatan Hari Ulang Tahun TNI, 5 Otober 2017. Mengutip pesan Panglima Besar Jenderal Soedirman, Presiden kem,bali menegaskan akan pentingnya loyalitas tentara terhadap kepentingan bangsa dan negara. Presiden menegaskan, "Loyalitas bagi kepentingan bangsa dan negara, berarti kesetiaan memperjuangkan kepentingan rakyat, menjaga kesatuan NKRI dan setia kepada pemerintahan yang sah"Â (sumber). Karena itu, Presiden menegaskan bahwa politik TNI adalah politik negara. Â
Atmosfir dan suhu politik nasional serta kegaduhan sedikit meredah setelah adanya instruksi dan pidato Presiden. Namun hal itu ternyata hanya bersifat sementara. Ibarat api dalam sekam, tiba-tiba dari kalangan TNI malah sepertinya 'sengaja' ingin menyulut kembali kegaduhan itu. Lagi-lagi terkait dengan masalah pengadaan senjata dan amunisi. Adalah Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal (Mayjen) Wuryanto, kembali memancing gaduh itu.
Entah atas motif apa, Kapuspen TNI, Mayjen Wuryanto, Selasa (10/10/2017), kembali mencoba membuka "luka" lama itu. Mayjen Wuryanto menyebutkan bahwa amunisi yang dibeli Polri yang sedang disimpan di gudang milik TNI itu mempunyai radius mematikan sembilan meter dan jarak capai 400 meter. Keistimewaan lain dari amunisi itu, menurut Wuryanto, yakni mempunyai kemampuan dua kali meledak. Selain amunisi, kata Kapuspen TNI, bahwa Polri juga membeli granat yang juga bisa meledak sendiri tanpa mengalami benturan terlebih dahulu, setelah 14-19 detik ditembakkan (lepas dari larasnya).
Sampai di sini, pernyataan Kapuspen TNI itu masih wajar dan datar saja. Akan tetapi, seakan ingin memperkuat kembali, sehingga terkesan "memprovokasi", Mayjen Wuryanto menegaskan bahwa senjata dan amunisi yang dibeli Polri itu mempunyai kemampuan setingkat di atas senjata milik TNI. Di hadapan para wartawan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017) Wuryanto, berujar, "Ini luar biasa. TNI tidak punya senjata dengan kemampuan jenis itu,"(konpres).
Padahal publik tahu bahwa Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto sudah "menyelesaikan" masalah pengadaan senjata dan amunisi ini melalui rapat koordinasi dengan semua pihak terkait. Dari pertemuan tersebut menghasilkan tiga kesepakatan penting. Pertama, bahwa Panglima TNI akan segera keluarkan rekomendasi agar senjata Polri tidak ditahan. Kedua, amunisi tajam yang masuk dalam rangkaian impor senjata dititipkan ke Mabes TNI, dan ketiga penataan regulasi terkait pengadaan senjata.Â
Setelah keluar kesepakatan itu, sejatinya tidak ada lagi uneg-uneg yang diumbar ke publik terkait isu pengadaan senjata dan amunisi itu. Akan tetapi, rupanya, masalah senjata dan amunisi oleh pihak TNI masih dianggap sesuatu yang belum selesai. Sehingga ibarat api dalam sekam, tiba-tiba keluar lagi pernyataan yang menghentak dari Kapuspen TNI, yang menyebutkan bahwa senjata yang dibeli Polri itu memiliki spesifikasi dan kemampuan di atas senjata yang dipunyai TNI.
Dengan demikian, gelagat itu dapat dibaca sebagai penerimaan yang setengah hati terhadap kesepatan yang telah dibuat sebelumnya. Karena itu, Indonesia Police Watch (IPW) yang diwakili Ketuanya, Neta S. Pane menyebutkan bahwa "pernyataan Kapuspen TNI mengenai impor senjata adalah pernyataan yang salah".
Bahkan sangat mungkin dengan pernyataan Kapuspen TNI itu akan membuka kembali "pertarungan" baru untuk berdebat, berpolemik ria, dan kemudian mencoba mengukur riak permukaan air yang sudah mulai tenang. Pada batas tertentu, dapatlah kita sebut upaya mengungkit kembali masalah pengadaan senjata ke ranah publik itu sebagai bentuk tidak mengindahkan instruksi Presiden. Â Malah lebih jauh dapat ditafsirkan sebagai percobaan untuk membangkang instruksi Presiden yang sudah sangat jelas agar menghentikkan polemik tentang pengadaan senjata tersebut? Atau ada yang ingin "bermain" di air keruh'?
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 12102017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H