Dalam pengalaman hari-hari ini, sentimen terhadap kelompok minoritas begitu menguat dan nyaris membuat negeri ini menjadi porak-poranda. Apalagi dibarengi dengan isu politik identitas yang menyeruak kepermukaan dan dengan ganas pula mengancam eksistensi NKRI.
Menguat pula sikap-sikap intoleransi akibat doktrin primordial. Segala hal yang berbau minoritas akan segera mendapat resistensi, baik atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Negeri ini yang mengaku berbhineka tunggal ika, tapi dalam praktek keseharian cenderung membuat jarak atas sesama karena alasan primordial-sekterian(isme).
Dalam ruang yang begitu 'pengap' tersebut, HT lupa pada pengalaman pahit yang dialami Ahok. HT merasa bahwa dia sudah dapat merangkul semua, sehingga dengan jumawa dia boleh ber-sms-ria, meski dengan itu sehingga membuat orang yang menerimanya merasa tidak nyaman (dalam menjalankan tugasnya).
Ketika 'ulahnya' tersebut mendapat counter-attack, baru HT sadar, kemudian berteriak-teriak bag orang yang kebakaran jenggot (padahal HT tidak punya jenggot) melalui mobilisasi opini. Saban hari melalui saluran TV-nya, memilah-milih berita (framing) yang menguntungkan posisi politik dan sosialnya. Tujuannya cuma satu 'mementahkan' upaya hukum yang sedang dijalankan penegak hukum (polisi maupun jaksa).
Bagi HT sms yang dia kirimkan ke Jaksa Yulianto sebagai bentuk komitmen dan keinginannya yang luhur untuk memperbaiki negeri ini. Entah, HT sadar bahwa niat tulusnya tidak semudah membalikkan telapak tangan, di tengah menguatnya isu politik identitas.
HT merasa sangat jumawa bahwa dengan semua sumber daya yang dimilikinya, dia bisa melakukan apa saja. Termasuk mencoba 'mensetir' jaksa agar tidak mengotak-atik 'kenyamanannya' selama ini. 'Kenyamanan' yang diperoleh sejak dari rezim-rezim sebelumnya. Sehingga HT lupa bahwa rezim Jokowi saat ini berkuasa tidak seperti yang ada dalam bayangannya.
Mudah diiming-imingi, kemudian dengan mudah pula 'dikangkangi'. Tapi realitas politik yang hadir dan diperhadapkan padanya, malah menunjukkan gejala yang sebaliknya. Prediksinya jauh melenceng. Profil Jokowi yang dipersonifikasi sebagai pemimpin yang klemar-klemer, ternyata memiliki komitmen yang sangat kuat untuk memperbaiki negeri ini dari kebobrokan yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumnya.
Di posisi ini, HT harusnya mulai sadar diri. Bahwa tidak semua keinginan dan ambisi dapat diwujudkan meski semua sumber daya, terutama finansial demikian melimpah. Integritas tidak dapat dibeli dan digadaikan oleh seseorang hanya karena iming-iming fulus dan dolar, apalagi hanya berupa tekanan via sms.
Ambisi boleh, tapi jangan ambisius sehingga tidak berlaku mentang-mentang. Mentang-mentang punya duit, mentang-mentang punya 'kuasa', kemudian sok berlagak. Boleh bermimpi, tapi jangan ketinggian! Haruslah tetap berpijak ke bumi. Biar jatuhnya juga tidak nyungsep. Karena kalau nyungsep, pasti akan sangat menyakitkan.
Wallahu a'alam bish shawab
Makassar, 04/07/2017