Mengapa demikian? Karena antarkelompok anak bangsa tidak lagi saling menghargai, tidak lagi mengedepankan tatakrama dalam berujar, bercakap, berlisan, bertulis, dan bertindak. Kesadaran kebangsaan seakan hilang. Tepo seliro, tenggang rasa, menguap entah ke mana.
Nilai-nilai luhur sebagai kearifan local (local wisdom) yang terkandung dalam sila-sila Pancasila seakan tak berwujud dan tidak lagi fungsional. Semua itu hanya hadir sebagai atribut artifisial yang kehilangan makna.
Kesadaran kebangsaan yang tergerus sudah sedemikian jauh hendaknya kembali kita pulihkan. Momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) tahun ini menjadi kesempatan yang bernilai untuk melakukan muhasabah, merenung (kontemplasi), evaluasi, introspeksi, dan re-introspeksi.
Pada kondisi itu, mungkinkah tersebul pertanyaan, “Akankah setelah nyaris satu abad satu decade kesadaran kebangsaan (nasionalisme) tumbuh dan bangkit, kemudian atas nama kepentingan golongan dan atau kepentingan politik (identitas), kita sampai harus mengorbankan sesuatu yang sangat berharga yang telah membentuk kesadaran kita sebagai satu kesatuan entitas sebagai sebuah bangsa?” Mari merenung dan menilai!
Wallahu a’alam bish shawab
Makassar, 20/5/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H