Oleh : eN-TeÂ
Kemarin Selasa (31/1/17) sidang lanjutan kasus penistaan agama dengan terdakwa Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta nomor 2, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di gelar di Auditorium Kementerian Pertanian Ragunan Jakarta Selatan. Dalam sidang lanjutan tersebut sedianya akan menghadirkan lima orang saksi, yaitu Ketua Umum (Ketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, K. H. Ma’ruf Amin, anggota KPUD DKI Jakarta, Dahlia Umar, salah seorang saksi pelapor, Ibnu Baskoro, dan dua orang nelayan Kepulauan Seribu. Akan tetapi, dari lima orang yang dijadwalkan, hanya tiga orang yang memenuhi panggilan hadir untuk memberikan keterangan sebagai saksi.Â
Salah satu saksi fakta yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk didengarkan kesaksiannya dalam sidang lanjutan penodaan agama kemarin, adalah Ketum MUI Pusat, K. H. Ma’ruf Amin. Ma’ruf Amin dianggap memiliki ‘kompetensi’ untuk memberikan keterangan terkait penerbitan sikap keagamaan MUI terhadap pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung surat al-Maidah, ayat 51.Â
Pada kesempatan memberikan kesaksiannya, Ma’ruf Amin ditanya oleh Tim Penasehat Hukum (PH) terdakwa terkait pengetahuannya terhadap kasus yang sedang disidangkan. Mulai dari proses penerbitan sikap keagamaan MUI, sampai afiliasi politik saksi terhadap salah satu pasangan calon (paslon) gubernur DKI, yakni nomor 1, AHY-Sylviana. Khusus mengenai hal yang terakhir, demi menggali ‘keterkaitan’ politik Ma’ruf Amin pada salah satu paslon, Tim PH terdakwa menanyakan kepada saksi mengenai kunjungan AHY-Sylviana ke kantor Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama (NU).Â
Kunjungan paslon 1, AHY-Sylviana berkunjung ke kantor PBNU berlangsung pada 7 Oktober 2016. Pada saat itu, Ma’ruf Amin, yang merupakan Rais Aam PBNU, juga sedang berada di kantor PBNU dan juga ikut bertemu dengan paslon 1. Sehingga Tim PH terdakwa menduga bahwa pertemuan antara paslon 1 dengan Ma’ruf Amin bukan merupakan sebuah kebetulan. Melainkan hal itu sudah direncanakan sebelumnya.Â
Rupanya dugaan Tim PH ini bukan hanya isapan jempol semata. Menurut Tim PH bahwa pertemuan antara AHY-Sylviana dan Ma’ruf Amin bukan merupakan sebuah pertemuan biasa, melainkan memiliki ‘agenda’ tertentu, di mana hal itu dimaksudkan untuk mengarahkan PBNU agar memberikan dukungan kepada paslon 1.
Menurut Tim PH, mereka memiliki bukti yang menguatkan dugaan mereka. Bahwa pertemuan di kantor PBNU merupakan desain yang telah dipersiapkan.Â
Dugaan Tim PH didasarkan pada adanya bukti otentik komunikasi antara ayahanda AHY dan Ketum Partai Demokrat, SBY dengan Ma’ruf Amin. Dan komunikasi itu berlangsung sebelum pertemuan di kantor PBNU.Â
Lagi, menurut Tim PH bahwa komunikasi antara SBY dan Ma’ruf Amin berlangsung pada sekitar pukul 10.00 WIB. Melalui komunikasi pertelepon itu, intinya SBY meminta kepada Ma’ruf Amin untuk ‘melakukan’ dua hal. Yakni, SBY meminta agar Ma’ruf Amin dapat mengatur pertemuan antara AHY-Sylviana di kantor PBNU (1), dan meminta agar MUI segera mengeluarkan fatwa tentang penistaan agama (2) (sumber). SBY dapat meminta Ma’ruf Amin untuk melakukan dua hal itu, mengingat Ma’ruf Amin pernah ‘berutang jasa’ kepada SBY karena pernah menunjuknya menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).Â
Namun Ma’ruf Amin menyanggah pernyataan Tim PH. Untuk memastikan kebenaran dan sikap Ma’ruf Amin, berulangkali Tim PH mengulangi pertanyaan yang sama kepada saksi terkait telepon SBY untuk mengatur ‘pertemuan tak biasa itu’. Tapi, berkali-kali pula Ma’ruf Amin membantah hal itu.Â
Karena terus menerus membantah ‘fakta telepon’ itu, Tim PH, dalam hal ini, Humprey Djemat, mengancam akan melaporkan Ma’ruf Amin ke ranah hukum, karena dinilai telah memberikan kesaksian palsu (baca juga di sini). Melihat kondisi itu, Ketua Majelis Hakim, Dwiarso Budi Santiarto, merasa perlu mengingatkan saksi agar memberikan keterangan secara jujur karena telah disumpah. Bila tidak, sikap saksi dapat mengantarkannya ke ranah hukum.Â