Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Inikah Wajah Islamku?

12 Oktober 2016   15:03 Diperbarui: 13 Oktober 2016   04:08 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sbr. gbr. : https://saripedia.wordpress.com/tag/islam-agama-perdamaian/

Mereka menolak bahwa sikap keras terhadap Ahok ini berkaitan dengan atmosfir politik yang lagi memanas menjelang Pilkada. Bahwa motif sesungguhnya dari keinginan untuk tetap melanjutkan proses hukum terhadap Ahok atas ‘ujaran kebencian’ mengenai surah al-Maidah 51, tidak terkait dengan Pilkada. Tapi mereka lupa, bahwa mereka juga meragukan ‘niat’ Ahok ketika meminta maaf. Karena itu, wajar pula kita (publik) pun harus meragukan pengakuan dan sikap mereka ini tidak terkait dengan momentum Pilkada.

Pihak yang tetap berkeras untuk terus melanjutkan proses hukum, dan menolak dikaitkan dengan momentum Pilkada pada acara ILC tadi malam, sebut saja antara lain  Pemuda Muhammadiyah, MUI, Penasehat? PBNU (K.H. Saifuddin Amsir), wakil parpol (Fadli Zon, Gerindra, dan Nasir Jamil, PKS), dan juga Musisi (Ahmad Dhani). Di samping itu ada beberapa kelompok lainnya, seperti  aktor yang memposting potongan video yang menggegerkan itu, Buni Yani dan Pengacaranya. Juga ikut pula pesrta ILC yang sering bertepuk tangan bila mendengar pernyataan yang menghujat dari narasumber kepada Ahok.

Dalam setiap menyampaikan pendapat terkait geger surah al-Maidah 51 ala Ahok ini, mereka selalu berkelit dari tuduhan memancing di air keruh. Yakni, mencoba memanfaatkan geger ‘penistaan agama’ tafsir surah al-Maidah 51 ala Ahok ini untuk kepentingan politik jangka pendek (Pilkada). Bagi mereka bukan masalah urusan Pilkada, tapi lebih kepada keinginan untuk menjamin ketertiban sosial dan keberlanjutan keberagaman (kebhinekaan). Tambahan lagi sebagai proses pembelajaran dan pedewasaan demokrasi.

Mereka semua seakan-akan ingin menampilkan diri sebagai pihak yang paling depan berdiri untuk membela dienul Islam. Karena itu, bagi mereka, siapa pun yang mencoba ‘bermain api’ dengan menghina, menistakan, dan menodai Islam, maka harus siap bertanggung jawab. Dan mereka siap mengawal itu, meski orang atau pihak yang dituduh melakukan penistaan itu sudah dengan rendah hati memohon maaf. Maka, dengan nada kemarahan, keluar pernyataan yang menyentak dari Wasekjen MUI, seperti dikutip di atas.

Belum lagi mendengar pernyataan K. H. Saifuddin Amsir (mohon maaf kalau salah mengutip nama) dari PBNU, yang dengan sinis menyindir pihak yang mendukung dan membela Ahok. Bagi kiyai ini, tidak ada yang tahu tentang niat Ahok meminta maaf itu, apakah ikhlas nan tulus atau tidak. Karena hanya Ahok dan Tuhan saja (Allah SWT) yang tahu.

Maka dengan sadar mengabaikan statusnya sebagai kiyai yang harus dapat menampilkan rasa sejuk dan menentramkan, kiyai ini malah memperlihatkan sikap yang menurut saya sangat jauh dari moral Islam. Yakni, memaafkan itu jauh lebih baik dan mulia, meski meminta maaf juga sebuah tindakan yang terpuji.

Pak Kiyai (dan mereka yang juga menyangsikan niat baik Ahok meminta maaf) ini mungkin lupa dengan sebuah peristiwa dramatis ketika Nabi Muhammad SAW sedang beristirahat di bawah sebuah pohon (di baca di sini). Diriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW sedang beristirahat, tiba-tiba datang seorang kaum Badui, sambil menghunus pedang di leher Nabi, kemudian berujar menantang, “Siapa yang akan menolongmu (saat ini) hai Muhammad? Mendapat pertanyaan yang menantang, Nabi SAW dengan tenang kemudian menjawab, “Allah”. Mendengar kalimat Allah disebut, si kafir itu gemetaran sehingga terjatuh pedang dari genggamannya. Lantas dengan segera Nabi SAW pun memungut pedang itu, kemudian balik menghunuskan ke arah si kafir itu, sambil berkata, “Siapa yang akan membelamu?” Dengan gemetar, si Badui itu pun menjawab, “Tak ada seorang pun”. Rasulullah SAW pun kemudian memaafkan si Badui itu dan mempersilahkannya untuk pergi.

Moral dari kisah itu menunjukkan keagungan akhlak Rasulullah. Meski dalam posisi yang nyaris membuatnya kehialngan nyawa, Rasulullah mampu memnunjukkan kualitas akhlaknya sebagai seorang utusan Tuhan.

Selanjutnya dikisahkan bahwa si Badui kemudian memeluk Islam, karena terkesan dengan sikap dan akhlak agung Rasulullah yang telah dengan jiwa besar memaafkannya. Kelembutan dan sifat pemaaf Rasulullah saw adalah tauladan bagi ummat. Pertanyaannya dalam konteks kekinian saat ini apakah kita sudah meneladani keagungan sikap Rasulullah yang menjadi rujukan kita umat Islam?

Melihat perkembangan perdebatan diskusi antara tokoh-tokoh Islam pada ILC tadi malam, sehingga membuat seorang pakar pidana Tengku Nasrullah, mengeluarkan sindiran. Bahwa acara ini memperlihatkan dengan telanjang saling menjatuhkan di antara para ulama Islam. Meski kemudian dia mencabut pernyataannya setelah diprotes sebagian hadirin yang lain, saya merasa sentilan Tengku Nasrullah itu ada benarnya dan perlu menjadi starting point untuk memperbaiki diri. Harus melihat setiap persoalan secara jernih tanpa tendensi dan motif politik tertentu. Kemudian menyelesaikannya secara elegan dan bermartabat. Karena hal itu akan menunjukkan keagungan nilai moral yang sedang diperjuangkan.

Namun, jika yang diekspresikan hari ini cenderung kemarahan, tindakan anarkhis, dan menolak memaafkan,  adalah hanya memperlihatkan distorsi dan anomali dari pemahaman umum keber-Islama-an kita. Maka, menjadi wajar bila kita harus mengurut dada sambil berujar, “Duh, inikah wajah Islam-ku?”

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 12102016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun