Satu hal yang dapat menjelaskan “demam Ahok” itu, karena DKI merupakan etalase negeri. Jakarta merupakan barometer untuk mengukur sejauh mana getaran Pilkada itu dapat menyadarkan warga masyarakat akan pentingnya memperjuangkan hak-hak politiknya melalui saluran demokrasi yang dijamin undang-undang.
***
Ketentuan peraturan perundangan yang menjamin seseorang dapat maju berlaga dalam sebuah kontestasi demokrasi, melalui calon independen merupakan alternatif yang dapat dipilih untuk mendekatkan keinginan dan aspirasi warga masyarakat. Melalui mekanisme calon independen, warga masyarakat dapat mengajukan seorang calon untuk berlaga. Tentu saja hal itu juga harus mematuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
Dengan alasan itulah maka komunitas Teman Ahok (TA) hadir untuk menjembatani gap yang ada antara harapan (aspirasi) masyarakat dan parpol. Bukan karena kesengajaan untuk menjauhi parpol atau menghilangkan peran dan fungsi parpol, tapi lebih karena realitas politik tidak cukup memberi ruang bagi warga masyarakat untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan kehendak politiknya secara bebas. Karena itu warga masyarakat merasa perlu mengalihkan dukungannya kepada pihak lain yang berani keluar dari politik arus utama (mainstream politic).
***
Tidak ingin fenomena Ahok semakin merusak citra parpol, maka reaksi kedua sebagai pertahanan diri dari parpol, yakni rame-rame membuka “lapak jualan”. Maka fenomena demam audisi politik pun menjangkiti hampir semua parpol. Tujuannya untuk menjaring setiap warga masyarakat yang merasa mempunyai sumber daya (kompetensi, finansial, plus ambisi) secara antusias mendatangi “lapak jualan” untuk mendaftarkan diri dan mengikuti audisi.
Meski demikian harus diakui pula bahwa audisi politik ini, lepas dari tujuan mulianya untuk menjaring calon potensial yang memiliki kriteria yang mendekati harapan parpol dan masyarakat, tetap dibaca hanya sebagai sebuah langkah reaktif parpol. Parpol tidak sedang sungguh-sungguh untuk menjaring calon “yang memenuhi syarat”, tapi hal itu hanya semata-mata untuk meningkatkan, tepatnya memperbaiki citra parpol di mata calon pemilih.
Parpol ingin mengesankan bahwa mekanisme demokrasi juga sedang berlaku dan dipraktekkan di parpol. Padahal publik juga sangat tahu bahwa apa yang sedang dijalankan saat ini merupakan upaya untuk mencegah gejala deparpolisasi semakin merambat luas. Sebuah lips service semata.
***
Fenomena audisi politik ini bukan merupakan hal baru. Jauh sebelum hingar bingar pertarungan menjelang Pilkada DKI, pada Pemilihan Walikota Makassar, tahun 2014 lalu, hal yang sama juga pernah terjadi. Hanya saja, pada waktu itu, salah seorang calon walikota (Erwin Kallo) menjaring seseorang untuk menjadi wakilnya melalui cara audisi.
Bukan parpol yang melakukan audisi untuk mencari calon walikota dan wakilnya. Tetapi, audisi saat itu merupakan inisiatif pribadi sang calon, yang kebetulan maju sebagai calon independen pada Pilkada Makassar saat itu. Tujuan Erwin Kallo yang pada saat itu maju sebagai Calon Walikota Makassar melalu jalur independen, yakni untuk mencari wakil ideal yang memiliki visi membangun kota makassar (lihat sumber).