[caption caption="Sumber : news.liputan6.com"][/caption]Seperti janji saya akan menulis artikel mengenai kasus La Nyalla Mahmud Mattaliti (La Nyalla) (baca di sini). Maka kali ini saya ingin menulis buronnya La Nyala dikaitkan dengan sikap PSSI.
Kasus buronnya Ketua Umum (Ketum) PSSI, (La Nyalla) dalam 4-5 hari terakhir sempat meredup. Meredupnya kasus buron LNMM ini akibat munculnya kasus baru berupa operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Anggota dan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohammad Sanusi (M. Sanusi).
Di mata media, baik TV, media cetak, maupun media online, termasuk pula media sosial (facebook, twiter, instragram, dll), kasus OTT yang melibatkan anggota DPRD, yang selama ini memposisikan diri sebagai penantang Ahok lebih seksi dan layak jual. Meski kasus tindak pidana korupsi (TPK) yang melibatkan La Nyalla juga tak kalah “menggairahkan”.
Tapi untuk sementara media sengaja mengenyampingkan dulu kasus La Nyalla, karena kasus OTT KPK yang menangkap M. Sanusi, sungguh lebih “menggairahkan” lagi. Lebih dapat memacu adrenalin publik untuk menelisik lebih jauh, belang si M. Sanusi ini. Pasalnya, selama ini M. Sanusi senantiasa “mengiklankan” dirinya sebagai orang bersih, jujur, dan santun.
***
Kembali ke topik semula mengenai sikap PSSI dalam melihat buronnya La Nyalla. Ketika pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur (Jatim) menetapkan La Nyalla sebagai tersangka, pihak PSSI beranggapan bahwa hal itu merupakan move politic. Sehingga PSSI bergeming meski ada gejolak dari Pengurus Provinsi (Pengprov), yang diwakili klub-klub sepakbola yang menuntut perlu diadakan Konggres Luar Biasa (KLB).
Di mata para Pengurus PSSI, yang tidak lain adalah konco-konconya La Nyalla, status tersangka tidak otomatis mencederai statuta FIFA. Karena itu PSSI tidak perlu menanggapi tuntutan sebagian Pengda dan pengurus klub untuk melangsungkan KLB menyikapi kasus La Nyalla.
Padahal publik masih ingat ketika Mantan Ketum PSSI, Nurdin Halid (NH) ditetapkan sebagai tersangka kemudian dihukum penjara, La Nyalla merupakan salah seorang motor utama yang menggerakkan klub dan Pengprov agar melakukan KLB menggusur NH. Sampai kemudian harus terbentuk Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Ketua KPSI Toni Aprialiani menegaskan bahwa KLB harus dilaksanakan, tidak bisa ditawar (sumber: Hari Ini, Komite Penyelamat Sepak Bola Tetapkan KLB PSSI "Tak Bisa Ditawar).
***
Musim mungkin sudah berubah. Sikap yang pernah ditunjukkan oleh La Nyalla dan konco-konconya dengan membentuk KPSI dan melaksanakan KLB sehubungan dengan status hukum NH, tidak lagi sama dan sebangun. Kepentinganlah yang menyebabkan mereka harus bertindak berbeda menyikapi hal yang sama.
Begitu pula dengan Pengurus PSSI periode 2015 – 2019 ini. Termasuk pula Tonny Apriliani, Komite Medis PSSI. Rupanya orang-orang yang berada di Pengurus PSSI merupakan “orang-orang” La Nyalla. Sehingga ketika bos mereka “terantuk” kasus hukum, bahkan sekarang sudah menjadi borunan pun mereka tak bersuara.