Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UKG Sebaiknya Diganti Menjadi Pemetaan Kompetensi Guru (PKG)

30 November 2015   16:50 Diperbarui: 30 November 2015   17:51 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Mengapa Nomenklatur Uji Perlu Diganti Dengan Pemetaan (Kompetensi Guru)

Menurut  Prof. Wasir, setelah mengemukakan berbagai faktor dan fenomena yang muncul berkaitan dengan pelaksanaan UKG, ia menyarankan sebaiknya nomenklatur “Uji” pada UKG diganti dengan istilah “pemetaan” sehingga menjadi Pemetaan Kompetensi Guru (PKG). Alasannya karena beberapa faktor faktual di lapangan ketika pelaksanaan UKG, di mana ditemukan beberapa masalah yang muncul selama  berlangsung “ujian” dan gejala ketidakhadiran guru untuk mengikuti ujian.

Sebagaimana juga saya amati ketika mendampingi Bapak/Ibu guru dalam mengikuti “ujian”, teridentifikasi beberapa “perilaku” guru yang cukup membuat rasa prihatin dan juga sekaligus mengundang senyum kecut.  Seperti “perilaku” yang berkaitan dengan persoalan teknis, yakni keterampilan mengoperasikan perangkat komputer. Sehingga yang muncul kemudian adalah gejala yang menunjukkan gagap teknologi, karena masih banyak guru di daerah (terpencil) yang belum begitu familiar dengan perangkat teknologi seperti komputer (PC maupun laptop).

Kondisi tersebut ditambah pula dengan masalah nonteknis. Bagi sebagian peserta UKG, istilah atau nomenklatur U(ji) itu saja sudah memberikan kesan “seram”. Karena istilah atau nomenklatur UGK berkonotasi ingin mengevaluasi dan mengukur kemampuan para guru berkaitan dengan hal yang kompetensi mereka. Dalam pandangan para guru, nomenklatur atau istilah U(ji) membawa dua kemungkinan  konsekuensi, yakni LULUS dan TIDAK LULUS. Dua kemungkinan kosekuensi itu berarti pula akan memberi impilkasi. Sementera implikasi yang dipahami oleh sebagian besar peserta (para guru) adalah pada berlanjut-tidaknya pemberian tunjangan sertifikasi guru (bagi yang sudah bersertifikat pendidik maupun yang belum bersertifikat pendidik).

Misinformasi ini membawa pengaruh cukup sigifikan terhadap tingkat tekanan (stress) yang dialami para guru (peserta UKG). Sehingga tidak jarang, terlihat jelas raut wajah para guru ketika memasuki ruangan dan selama  “ujian” berlangsung, merasa sangat cemas dan was-was. Mereka seakan-akan takut, jangan sampai hasil “ujian”-nya malah tidak mencapai passing grade (standar minimal). Karena yang mereka pahami bila hasil “ujian”-nya tidak mencapai target maka akan membawa konsekuensi pada ketidaklulusan, yang berarti berimplikasi pada berhentinya tunjangan sertifikasi guru yang selama ini mereka terima.

Kekhawatiran yang berlebihan itu mendorong para peserta (gur-guru) melakukan tindakan-tindakan yang “tidak terpuji”. Misalnya, meski sudah ada tata tertib dan ketentuan yang melarang peserta untuk membawa alat komunikasi (HP) dan fasilitas lainnya ke dalam ruang “ujian”,  masih saja dilanggar. Dengan alasan sebagai alat untuk menghitung (kalkulator) masih banyak guru (peserta) yang berusaha mengelabui pengawas ruangan dengan membawa masuk HP dan buku-buku penunjang lainnya, misalnya buku tentang rumus (matematika dan fisika). Padahal sudah ditegaskan untuk tidak membawa semua alat komunikasi dan perangkat lainnya seperti buku, dan lainnya, selain alat tulis (pulpen).

Hal lainnya yang menunjukkan perilaku “tidak terpuji” bagi orang yang sedang diuji adalah tidak saling bekerja sama dan tidak mengajari kepada sesama. Akan tetapi banyak anomali yang ditunjukkan oleh para guru, tidak sebagaimana yang diajarkan di sekolah. Kepada para siswa yang akan menjalani sebuah ujian atau evaluasi, para guru bertindak seakan sebagai “petugas keamanan” yang setiap saat akan mengamankan siswanya bila berbuat curang, mencontek misalnya. Kegigihan mengajari siswa untuk bersikap jujur seakan hilang ketika mereka diperhadapkan pada kondisi yang sama sebagaimana dirasakan para siswanya. Sehingga menjadi hal yang tidak aneh, bila para peserta merasa tidak bersalah dan berdosa, seenaknya menghampiri peserta lainnya, hanya sekedar untuk mengetahui sampai di mana temannya sudah menyelesaikan pekerjaan (menjawab soalnya), atau berlagak sok tahu mengajari temannya.

Tekanan psikologis ini terbukti membawa petaka. Seperti peristiwa duka yang terjadi di salah satu Tempat Uji Kompetensi (TUK) di Kabupaten Tana Toraja (Tator). Salah seorang peserta UKG tersebut, diperkirakan sudah berusia di atas 55 tahun lebih, entah merasa kekhawatiran “tidak lulus”, sehingga menimbulkan stres yang berlebihan yang membuatnya pingsan sebelum memasuki ruang “ujian”. Peserta tersebut kemudian segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, akan tetapi petaka tidak bisa ditolak, sehari kemudian yang bersangkutan meninggal dunia. Tragis nian,  “keganasan” nomenklatur UKG malah menelan korban jiwa.

Di sinilah reasoning Prof. Wasir, sehingga mengusulkan kepada Sesditjen GTK untuk dapat mempertimbangkan mengubah atau mengganti nomenklatur UKG menjadi PKG. Meski hal itu harus didiskusikan lagi mengingat akronim yang sama sudah digunakan dalam hal Penilaian Kinerja Guru (yang juga disingkat PKG). Apalagi menurut Prof. Wasir, merujuk pada tujuan pelaksanaan UKG yang mencakup tiga hal, yaitu : pemetaaan kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional); pengembangan berkelanjutan; dan sebagai alat kontrol penilaian kinerja guru, maka akan lebih tepat dan kurang memberi tekanan yang berlebihan secara psikologis bila kata U(ji) diganti dengan P(emetaan). Toh hakekat dari proses mengukur kompetensi guru (kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional) ini adalah melihat atau memetakan tingkat atau level komptensi guru, sehingga memudahkan untuk menyusun program-program pembinaan dan pengembangan bagi guru ke depan. Hal mana bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun