Sumber Gambar di sini
Oleh : eN-Te
Beberapa malam yang lalu, ketika sedang menonton berita di salah satu TV Nasional, saya mendengar pernyataan JK yang cukup menghentak. Pernyataan itu terlontar, ketika JK menyampaikan sambutan (tepatnya pidato) untuk menutup Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasional Demokrat (Nasdem), pada Selasa (22/9/2015) di Jakarta Convention Center (JCC). Pernyataan itu juga seakan-akan ingin “menyindir” rezim sebelumnya, yang tidak tegas dan hanya bisa menghimbau.
Pernyataan JK sebagaimana saya kutip pada topik tulisan ini, seakan mengulangi kembali pernyataannya ketika menyambangi DPR RI untuk memenuhi undangan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) pada 2013 lalu. Ketika itu, JK memberikan ceramah di hadapan anggota FPKB MPR RI untuk mengisi Seminar tentang Lembaga Kepresidenan yang Efektif dan Efisien untuk Kesejahteraan Rakyat.
Dalam ceramahnya tersebut JK menegaskan bahwa “Pemerintah itu bertugas untuk memerintah bukan sebatas menghimbau” (sumber di sini, dan di sini). Pernyataan yang sama dan sebangun kembali JK ulangi dan tegaskan di hadapan ribuan kader Partai Nasdem ketika menyampaikan pidato pada saat penutupan Rakernas Partai Nasdem.
Dalam pandangan JK pemimpin itu berbeda dengan koordinator (mungkin yang dimaksud adalah manajer, pen.). Pemimpin adalah orang yang mampu melaksanakan semua program dan bekerja dengan baik. Dan memastikan bahwa hasil pekerjaan itu berbuah manis untuk semua. Karena bagi JK, pemimpin adalah orang yang dapat memimpin dan menjalankan pemerintahan dengan baik dan mampu bekerja sebaik-baiknya. Menurut JK, pemimpin harus siap menerima segala kemungkinan (resiko) dari semua kebijakan yang diambil dan dijalankan meski itu merupakan kebijakan tidak populer (populis). Karena bagi JK, pemimpin itu berarti siap melaksanakan hal yang tidak populer.
Sebaliknya, menurut JK, orang yang takut mengambil resiko, sehingga tidak dapat mengambil keputusan secara tegas, sehingga ragu-ragu mengambil kebijakan yang tidak populis, orang itu disebutnya bukanlah pemimpin melainkan koordinator. "Sebab, kalau orang yang melakukan hal populer adalah koordinator. Sedangkan, orang yang memimpin adalah orang yang melaksanakan hal yang tidak populer. Pemimpin adalah orang yang memerintah, bukan mengimbau," (sumber di sini).
Esensi (Ke)Pemimpin(an)
Hakekat atau esensi kepemimpinan adalah mampu menggerakkan. Karena itu, setiap pemimpin harus dapat memastikan bahwa kepemimpinannya mempunyai pengaruh yang kuat di akar rumput. Dengan begitu ia dapat dengan mudah menggerakkan mereka untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan pemimpinnya. Tapi perlu ditegaskan segera, bahwa tentu saja keingin itu harus bercermin pada keinginan semua anggota (rakyat) banyak. Meski program atau kebijakan yang akan dilakukan secara sepintas atau jangka pendek sangat berbeda (baca bertentangan) dengan keinginan rakyat banyak. Tepatnya tindakan atau kebijakan yang tidak populer atau tidak populis. Kebijakan mana cenderung mengabaikan hak-hak publik untuk turut serta terlibat di dalamnya guna mengukur kegunaan dari azas manfaat. Padahal bisa jadi, kebijakan yang dianggap tidak populis itu, dalam jangka panjang memberi manfaat yang sangat besar.
Di sinilah substansi pernyataan JK harus dipahami bahwa pemerintah itu memerintah bukan menghimbau. Bila hanya sebatas memberi himbauan masih terbuka peluang atau opsi untuk tidak menjalankan. Terserah kepada yang dihimbau, mau mengikuti atau tidak mengikuti apa yang diinginkan pemimpin (Pemerintah).
Sementara dalam konteks memerintah, terkandung makna instruksi. Sifatnya komando, karena harus dijalankan. Dalam konteks ini, mau tidak mau dengan perintah itu, sebagai rakyat harus tetap menjalankan perintah tersebut. Di sinilah dilihat sejauh mana kemampuan seseorang menggerakkan semua komponen dan sumber daya dalam kendalinya. Tentu saja semua yang dilakukan itu, muaranya hanya satu untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.