Oleh : eN-Te
[caption id="attachment_372297" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber : bangka.tribunnews.com"][/caption]
Tadi pagi, Selasa (10/3/2015) saya menyaksikan berita TV (Metro TV) yang menyiarkan seorang nenek tua yang sudah renta, harus “dipaksa” duduk di kursi pesakitan di Pengadilan Negeri (PN) Sitobondo, karena didakwa telah melakukan tindakan kejahatan “pidana” berupa mencuri tujuh potong kayu jati. Kayu jati yang didakwakan telah dicuri oleh nenek tua itu adalah milik PT. Perhutani. Nama nenek tua renta itu Asyani alias Bu Muaris. Rupanya kasus ini bukan saja menyeret Nenek Asyani, tapi juga menyeret tiga orang lainnya, yakni menantu Asyani sendiri, Ruslan, tukang kayu Cipto, dan sopir pick up Abdus Salam. Ketiganya tetangga nenek Asyani (baca di sini).
Ke-4 orang di atas, terutama Nenek Asyani, yang didakwa telah melakukan tindakan pidana mencuri kayu jati milik PT. Perhutani ini jelas kelompok masyarakat marginal. Nenek Asyani jelas tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mengapitalisasi kasus yang sedang mereka hadapi untuk sekedar mendapatkan simpati publik. Nenek Asyani seakan merasa sebagai orang desa yang awam tentang hukum, tidak bisa melakukan apa-apa, selain berusaha menjalani semua ritme kehidupan sesuai dengan yang telah digariskan. Termasuk bersikap “pasrah” ketika Nenek Asyani harus digelandang ke arena pengadilan untuk menghadapi kenyataan, didakwa melakukan “kejahatan” mengambil kayu jati, yang bukan miliknya.
Jauh sebelum kasus Nenek Asyani ini, telah banyak pula masyarakat tak berpunya harus menghadapi kenyataan pahit menjalani proses pengadilan hanya karena masalah-masalah sepele, yang sebenarnya tidak pernah “diakui” sebagai sebuah perbuatan melanggar (hukum). Dan pada kenyataannya, kasus-kasus yang “dituduhkan” kepada mereka sebenarnya kasus yang dipaksakan, hanya karena demi dan atas nama penegakan hukum. Sayangnya, dalam prakteknya penegakan hukum yang seharusnya berlaku bagi semua, equality before the law, tidak sementereng namanya.
Banyak kasus menunjukkan bahwa jargon penegakan hukum hanya berlaku bagi masyarakat (kaum) yang tidak berpunya (baik secara ekonomi, politik, maupun sosial). Masyarakat atau rakyat kelas bawah yang paling rentang dijadikan kambing hitam “eksperimentasi” penegakan hukum. Tapi, jika sudah menyodok ke atas, kelas sosial yang memiliki akses politik dan kekuasaan, seakan sangat sulit tersentuh. Bukan saja karena “keengganan” para penegak hukum, tapi karena kelompok sosial ini, sangat lihai berusaha dengan berbagai cara untuk menghindar, meski dengan cara “culas”. Kasus-kasus terkini seakan memberikan konfirmasi, bahwa penegakan hukum hanya (berlaku) tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Jika Nenek Asyani bersikap “legowo” dijadikan tersangka, menjalani semua prosedur hukum, dilidik, disidik, kemudian harus duduk di kursi pesakitan di depan hakim sebagai terdakwa, lain halnya dengan para cerdik pandai dan mantan punggawa di negeri ini. Berbagai cara dilakukan, meski harus mengingkari kepakarannya dalam bidang hukum. Tanpa malu-malu bersafari ria sambil berorasi untuk menggiring opini publik untuk mendapatkan simpati. Maka jargon kriminalisasi menjadi mantra mujarab untuk menghipnotis dan memanipulasi emosi publik. Bila perlu harus melakukan “napak tilas” ke Istana Presiden untuk mencari suaka (perlindungan).
Nenek Asyani tidak pernah berteriak-teriak di podium maupun di muka khalayak untuk memproklamirkan bahwa dirinya sedang didzolimi. Nenek Asyani tidak pernah melakukan safari dan “napak tilas” ke Istana Presiden, hanya untuk mendapatkan belas kasihan Presiden Jokowi. Meski Nenek Asyani tahu bahwa presidennya sekarang adalah seseorang yang sangat peduli pada kelompok sosial seperti dirinya. Malah sebaliknya, Nenek Asyani menghadapi itu dengan jiwa besar, karena beliau meyakini bahwa Tuhan itu tidak pernah tidur. Ia berani maju ke meja hijau untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan apalagi yang didakwakan Jaksa, adalah tidak benar.
Adalah ironi jika hari-hari ini kita menyaksikan para petinggi negeri ini, baik dari kaum akademisi maupun mantan pejabat, ketika “ditimpakan” suatu masalah hukum, bukannya secara jantan maju untuk membuktikan ketidakbenaran tuduhan itu, tapi malah menunjukkan sikap anomali. Berlindung di balik sepotong kain yang bertuliskan “#save KPK” yang pernah melilit di kepala mereka dan datang berkumpul dan memberi dukungan di KPK, maka seenak udelnya membuat penafsiran bahwa yang sedang dituduhkan pada mereka adalah bentuk kriminalisasi. Jika semua yang pernah melilitkan kepalanya dengan kain putih bertuliskan “#save KPK” berapologi dikriminalisasi ketika menghadapi suatu kasus hukum, maka tidak dapat penulis bayangkan bagaimana jadinya negeri ini, dalam hal penegakan hukum. Tegakah kita melihat Nenek Asyani, karena jauh dari pusat kekuasaan dan pusat pemerintahan negeri ini, yang tidak ikut terlibat dalam aksi mendukung KPK dengan melilitkan kain putih bertuliskan “#save KPK” di kepalanya, sehingga membiarkan dirinya “dikriminalisasi” (kalau boleh penulis juga meminjam istilah ini). Malah sebaliknya Nenek Asyani masih memiliki nurani dan keberanian luar biasa dibandingkan dengan mereka-mereka yang sering berorasi menyatakan dirinya “dikriminalisasi”.
Apa pula lakon yang sedangkan dijalankan mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto (BW) dan mantan Penasehat Presiden dan mantan Wamenkumham, Denny Indrayana (DI)? Kedua orang ini, BW dan DI, bahkan secara sadar melakukan “pembangkangan” terhadap penagakan hukum. Ketika orang atau pihak lain yang menjadi tersangka maupun menjadi saksi suatu kasus dan diminta dan dipanggil hadir untuk memberikan kesaksiannya dan keterangan, kemudian karena sesuatu alasan tertentu, sehingga tidak dapat hadir memberikan kesaksian dan keterangan, BW dan DI dengan lantang berteriak bahwa tindakan itu merupakan tidak taat hukum. Tapi, ketika giliran kasus hukum menimpa dirinya, keduanya, BW dan DI seakan mengabaikan keilmuan dan kepakaran mereka dalam bidang hukum, ngeles mencari-cari alasan, tidak dapat hadir dengan alasan karena sudah ada agenda lain. Dengan sesuka udelnya, malah meminta balik kepada penyidik untuk menjadwal ulang pemeriksaan, padahal pada saat yang bersamaan, agenda lain itu, adalah agenda bersibuk ria menggiring opini dan mencari suaka.
Ternyata keduanya, BW dan DI wara-wiri, sampai harus melakukan “napak tilas” ke Istana untuk mencari perlindungan. Ketika perlindungan tidak lagi didapatkan, maka mantra mujarab pun dikeluarkan, dikriminalisasi. Adalah naif seorang DI sebagai guru besar hukum (tata negara) dan BW sebagai mantan pimpinan KPK dan advokat senior, yang memiliki kemampuan argumentasi yang sangat mumpuni, harus takut menghadapi penyidik. Berlindung pula pada ketiak KPK, merasa dikriminalisasi, karena sebagai (mantan) pimpinan KPK dan pendukung KPK. Menyedihkan!
Standar ganda rupanya sedang dimainkan oleh BW dan DI. Keduanya masih kalah berani dengan Nenek Asyani. Nenek Asyani tidak pernah “merasa” dikriminalisasi atas kasus yang sedang dihadapi. Meski menurut keyakinannya, kasus yang dituduhkan dan didakwakan kepadanya adalah kasus yang dipaksakan. Bagi Nenek Asyani, kayu jati yang dipungut adalah miliknya sendiri, bukan hasil mencuri kepunyaan PT. Perhutani. Nenek Asyani hanya meyakini satu hal bahwa kebenaran itu akan terungkap. Dan salah satu saluran yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa keyakinannya itu benar adalah dengan “bersedia” menjalani proses hukum melalui pengadilan. Nenek Asyani tidak mencla mencle, hari ini berkata ya, ketika dekat dengan kekuasaan, tapi esok berkata tidak, bila kue kekuasaan sudah tidak berada di tangan. Nenek Asyani, adalah potret wanita desa yang polos, apa adanya, mengatakan hitam itu adalah hitam, dan putih itu adalah putih, dia tidak berubah sikap untuk mengatakan bahwa itu sudah berubah warna menjadi abu-abu.
Lain halnya dengan masyarakat urban. Karena pengaruh budaya kosmopolitan, semua jenis warna bisa berubah, tergantung dari sisi mana melihatnya dan apa kepentingannya. Budaya hipokrit dan eufimisme menjadi prinsip hidup kaum urban. Perilaku kaum urban seakan telah bergeser dari prinsip kebenaran hakiki yang perlu menjadi pedoman. Maka gejala standar ganda, ambiguitas, yang dibalut dengan sikap eufimisme yang menunjukkan mental hipokrit menjadi hal yang lumrah dan lazim dipraktekkan tanpa rasa risih dan malu. Dan hari ini, kita menyaksikan anomali sedang dipertontonkan BW dan DI.
Yaa sudah, begitu saja pendapat penulis, selamat membaca, ...
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 10 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H