Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Transaksional : “Cawapres 10 T” Vs Power Sharing

22 Mei 2014   21:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:13 2018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By : emnoer_dm70, alias Din Nurdin, alias eN-Te

Gegap gempita deklarasi bakal Capres dan Cawapres telah usai. Kedua pasangan calon, baik dari Poros koalisi PDIP bersama mitra koalisinya, dengan pasangan Jokowi-JK dan Poros Partai Gerindra dengan gerbong koalisinya, yang mengusung pasangan Prabowo-Hatta, telah mendeklarasikan pasangan masing-masing pada tanggal 19 Mei 2014. Pasangan Jokowi-JK,  memilih tempat deklarasi di Gedung Joeang 45, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta memilih deklarasi di rumah Polonia. Pasangan Jokowi-JK setelah deklarasi kemudian menuju ke  KPU untuk mendaftarkan diri sebagai peserta kontestasi Pilpres. Sedangkan pasangan Prabowo-Hatta, baru mendaftar ke KPU keesokan harinya.

Meski kedua pasangan calon sudah mendeklarasikan diri dan juga mendaftar di KPU, kepastian tentang keikutsertaan mereka dalam kontestasi Pilpres 2014, masih harus ditunggu melalui verifikasi berkas kelengkapan administrasi, dan juga harus lolos tes kesehatan. Apapun hasil dari pemeriksaan berkas dan tes kesehatan, kita masih harus bisa berbesar hati untuk menerima segala kemungkinan yang terjadi. Artinya, bisa jadi berdasarkan verifikasi berkas kelengkapan administrasi sudah memenuhi syarat, tetapi keikutsertaan pasangan calon dapat terganjal bila melalui tes kesehatan tidak memenuhi syarat kesehatan.

Ternyata dibalik proses “audisi” pencarian bakal Cawapres untuk kedua pasang calon, ada cerita-cerita “seksi” mengiringinya. Cerita-cerita tersebut baru terkuak setelah masing-masing pasangan calon mendeklarasikan diri masing-masing.

“Cawapres 10 T”

Konon kabarnya menurut  lansiran berita media, bahwa seorang tokoh PDIP Sabam Sirait, menyatakan bahwa Jusuf Kalla (JK) ditunjuk untuk menjadi bakal Cawapres mendampingi bakal Capres Joko Widodo (Jokowi) karena bersedia membayar “mahar politik” sebesar 10 T (sepuluh trilyun rupiah). Berita ini sontak membuat ruang pergunjingan politik menjadi ramai. Disebutkan bahwa isu yang dihembuskan oleh Sabam Sirait tentang “mahar politk” 10 T ini, berawal ketika JK dipastikan dan disepekati dan dideklarasikan oleh semua partai mitra koalisi Poros PDIP sebagai bakal Cawapres pendamping Jokowi. Pertanyaan kemudian muncul adalah, “mengapa isu tentang “mahar politik” 10 T itu diungkap oleh seorang Sabam Sirait, ketika JK resmi ditetapkan dan dideklarasikan sebagai bakal Cawapres Jokowi?” Apakah ada maksud & tujuan tertentu dari seorang Sabam Sirait dengan melempar isu tersebut?

[caption id="attachment_325054" align="aligncenter" width="300" caption="Bakal Capres dan Cawapres Poros PDIP"][/caption]

Kondisi ini menegaskan tentang pameo politik yang selama ini berkembang di masyarakat, bahwa dalam politik tidak ada kawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Karena itu hampir bisa dipastikan bahwa dalam tubuh PDIP, juga  terindikasi adanya faksi-faksi politik, di mana masing-masing mempunyai kepentingan politik tertentu untuk mengusung bakal Cawapres sendiri.

Seperti diketahui bahwa sebelum Poros PDIP dan bakal Capresnya, Jokowi, menunjuk JK sebagai bakal Cawapres pendampingnya dalam Pilpres 2014, ada beberapa figur yang diusulkan, baik oleh partai koalisi maupun kelompok-kelompok kepentingan, tentu saja juga ini mencerminkan faksi-faksi dalam tubuh PDIP untuk diterima dan ditetapkan menjadi bakal Cawapres pendamping Jokowi. Dari beberapa figur tokoh yang santer disebutkan berpeluang besar untuk dapat mendampingi Jokowi, ada satu nama yang menjadi jagoan Sabam Sirait, yaitu mantan Ketua MK, Muhammad Machfud MD. Nah, dari sini dapat ditarik benang merah, mengapa seorang Sabam Sirait kemudian melontarkan isu berupa “tuduhan” tentang “mahar politik” 10 T tersebut. Artinya, jika isu ini tidak terkonfirmasi maka dapat dikatakan bahwa isu “mahar politik” 10 T, adalah bentuk atau manifestasi dari kekecewaan seorang Sabam Sirait karena jagoannya tereliminasi dari bursa calon bakal Cawapres Jokowi.

Apakah isu “mahar politik” yang dikeluarkan oleh seorang JK untuk mendapatkan, tepatnya “membeli” posisi bakal Cawapres Jokowi memiliki kebenaran faktual atau hanya isu yang sengaja dilempar oleh internal PDIP melalui Sabam Sirait sebagai manufer politik semata? Hemat saya, isu “mahar politik” ala Sabam Sirait ini dapat dibedah melalui beberapa kemungkinan (teori). Kemungkinan pertama isu ini dilontarkan untuk menggambarkan kondisi batin seorang Sabam Sirait, di mana figur yang diusung tidak lolos “audisi” mitra koalisi, padahal menurut perspektif  kelompoknya, figur yang diusung mereka lebih bisa memberi harapan kemenangan dibanding calon lain. Bisa juga dilihat sebagai “pemantik” untuk memancing lawan politik ikut menggoreng isu ini, sehingga dapat memberi dampak positif bagi kandidat calon yang diusung mitra koalisi PDIP. Kalau dilihat dari sisi ini, maka melempar isu “mahar politik” ala Sabam Sirait sebagai strategi untuk menarik simpati agar swing voter mau mengalihkan aspirasi politiknya dengan  memilih pasangan Jokowi-JK. Karena pasangan ini dipersonifikasi seakan-akan sebagai pasangan yang “teraniaya”.

Namun demikian, kebenaran lemparan isu “mahar politk” ala Sabam Sirait itu dapat dikonfirmasi melalui laporan harta kekayaan (calon) pejabat negara. Sesuai dengan laporan per 16 November 2009, JK tercatat memiliki total harta sekitar Rp 314,5 miliar dan 25.718 dollar AS (kompas, 19 Mei 2014). Jika harta kekayaan JK dalam bentuk dollar AS sebesar 25.718 itu dikonversi ke dalam rupiah (kurs rupiah sekarang), kira-kira Rp. 11.500/dollar AS, maka diperkirakan ekuivalen dengan Rp. 295.757.000,-. Berarti, total harta kekayaan JK, sesuai laporan per 16 Nopember 2009, maka diperkirakan sebesar Rp. 315.795.757.000,- (tiga ratus lima belas milyar tujuh ratus sembilan puluh lima juta tujuh ratus lima puluh tujuh ribu rupiah). Jika kekayaan JK hanya sebesar lebih kurang Rp. 316 milyar, maka secara logika isu tentang “mahar politik” yang harus dikeluarkan oleh JK untuk “membeli” posisi bakal Cawapres hanya sebagai isapan jempol belaka.

Isu tentang “mahar politik” 10 T yang harus dikeluarkan JK untuk “membeli” posisi Cawapres tidak bisa begitu saja kita abaikan. Apalagi isu terhembus berawal dari internal PDIP sendiri melalui Sabam Sirait. Meski secara logika dari sisi harta kekayaan JK, hal itu bisa jadi hanya merupakan isapan jempol belaka, tetapi bila kita mencoba menilik dari sisi lain, hal itu bisa mendapat pembenaran. Sangat boleh  jadi isu “mahar politik” 10 T itu benar, jika dikaitkan dengan teori investasi politik. Artinya, dari sisi harta kekayaan  JK tidak mungkin bisa memenuhi “mahar politik” sebesar 10 T seperti dinyatakan oleh Sabam Sirait, tetapi hal itu dapat dikompensasikan melalui tangan-tangan pengusaha yang ingin menanamkan investasi politik. Di mana para pengusaha bersedia memberikan subsidi untuk mendanai “mahar politik” sebagai investasi politik guna mendapatkan kompensasi berupa  proteksi kepentingan bisnis dan ekonominya kelak.

Teori lain yang menjelaskan isu “mahar politik” 10 T yang dilontarkan oleh Sabam Sirait, bila ditinjau dari perspektif psikologi. Menurut perspektif  psikologi, seseorang akan memiliki harga diri (self esteem) bila ia memiliki sesuatu yang dapat memberikan kebanggaan. Salah satu sumber kebanggaan bagi seseorang adalah power (kekuasaan).  Jika seseorang memiliki kekuasaan maka hal itu dapat mengangkat harga dirinya. Harga diri(self esteem)menggambarkan sejauhmana individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten. Dan untuk mendapat kebanggaan dengan memiliki kekuasaan itu, mendorong seseorang dapat melakukan apa saja meski hal itu di luar kemampuannya, misalnya secara finansial. Di sinilah dapat bertemu kepentingan pengusaha untuk mendapatkan proteksi bisnis dan ekonomi dengan menanamkan investasi politik jangka panjang.

Dari beberapa kemungkinan (teori) di atas yang paling bisa diterima mendekati kebenaran, adalah  bahwa isu itu hanya merupakan refleksi psikologis dari faksi lain di luar faksi JK yang merasa kecewa karena calon yang dijagokan tidak lolos “audisi”. Juga menjadi sesuatu yang naif bila isu itu dimunculkan sebagai upaya tersembunyi “kamuflase” untuk mendapatkan simpati publik guna mendulang suara pada Pilpres nanti. Sementara jika isu itu dikaitkan dengan daftar kekayaan JK justru terbantahkan. Karena secara nominal sungguh sangat timpang, antara daftar harta kekayaan JK dengan “mahar politik” yang harus dibayar sebesar 10 T.

Begitu pula dengan teori self esteem, sangat jauh dari profil seorang JK, yang tidak akan mungkin mengorbankan integritas dan kredibiltasnya sebagai seorang tokoh politik dan tokoh agama hanya untuk mengejar sebuah jabatan politik.  Itulah antara lain bebrapa teori tentang isu “mahar politik” Cawapres 10 T. Mana yang benar dari beberapa kemungkinan (teori) untuk menjelaskan isu “mahar politik” 10 T ala Sabam Sirait itu, saya serahkan kepada para pembaca untuk menilainya. Akan tetapi, secara personal saya melihat isu “mahar politik” ala Sabam Sirait hanya sebagai joke politik untuk menciptakan dramatisasi proses “audisi” bakal Cawapres menuju ajang besar pelaksanaan demokrasi Pilpres, 9 Juli 2014 nanti.

Power Sharing

Bagaimana pula dengan cerita tentang “mahar politik” di poros seberang, Poros Partai Gerindra? Ternyata cerita-cerita “seksi” di Poros Partai Gerindra yang mengusung bakal Capres dan Cawapres, Prabowo-Hatta, lebih seru dan “telanjang”. Masih ingat cerita tentang dukungan Surya Dharma Ali (SDA), Sang Ketua Umum PPP, yang tanpa melalui persetujuan partai menghadiri kampanye Partai Gerindra pada pileg lalu yang sempat membuat “heboh” di internal PPP? Belum reda suhu kehebohan itu, SDA kembali membuat ulah, secara sepihak, tanpa persetujuan partai, dia mendeklarasikan dukungannya kepada bakal Capres Prabowo. Dari sini kemudian muncul isu tentang adanya “mahar politik” yang diterima SDA dari bakal Capres Partai Gerindra. Isu ini seakan mendapat pembenaran, mengingat bakal Capres Partai Gerindra dikenal sebagai pengusaha tajir. Namun demikian, seiring waktu, isu itu kemudian memudar dan tenggelam. Dan seperti kita tahu, PPP kemudian secara resmi memberi dukungan terhadap pencalonan Prabowo sebagai Capres, dan akhirnya dikukuhkan melalui deklarasi pada Senin, 19 Mei 2014 lalu.

[caption id="attachment_325051" align="aligncenter" width="300" caption="Bakal Capres dan Cawapres Poros Gerindra"]

1400744198863366121
1400744198863366121
[/caption]

Isu tentang “mahar politik” tidak selamanya berkonotasi dan atau diasosiasikan dengan nilai uang tertentu. Tetapi hal itu juga berupa “janji-janji politik” untuk power sharing (bagi-bag- kekuasaan). Lihat saja komentar Tifatul Sembiring, seorang pentolan PKS, kurang lebih dapat dideskripsikan dengan kalimat, bahwa PKS mau berkoalisi dengan Partai Gerindra karena akan mendapat jatah beberapa kursi menteri. Tentu saja hal ini berlaku pula untuk partai pendukung Prabowo lainnya. Sebut saja, PAN yang mendapat jatah posisi bakal Cawapres. Di samping sudah mendapat posisi Cawapres, PAN juga kemungkinan besar mendapat jatah menteri bila pasangan Prabowo-Hatta yang keluar sebagai pemenang kontestasi Pilpres.

Yang lebih seru adalah “cerita heroik” ala Aburizal Bakrie (ARB). Dalam rangka untuk mendapatkan mitra koalisi, ARB berjumpalitan bergerilya dari satu kubu ke kubu lainnya hanya untuk “mengemis” agar diterima menjadi anggota koalisi. Di ujung perjuangannya,  ARB, di menit-menit terakhir (last menuts) harus menentukan pilihan politiknya dengan terlebih dahulu mengalahkan “ego politiknya” dengan tidak mendapatkan apa-apa dan mau bergabung dengan Poros Gerindra. Berdasarkan hasil Rapimnas Partai Golkar yang telah memberikan mandat penuh untuk meenentukan arah koalisi, ARB kemudian memutuskan bergabung dengan Poros Partai Gerindra. Keputusan ARB menetukan arah koalisi bergabung dengan Poros Partai Gerindra diambil di masa injury time atau menit-menit terakhir (last menuts) setelah ARB tidak mendapat tempat di kubu PDIP. Ditolaknya ARB dan gerbong Partai Golkar bergabung dalam koalisi PDIP, menurut beberapa sumber, termasuk penjelasan bakal Capres PDIP, bahwa hal itu disebabkan Partai Golkar terlalu banyak “permintaan”. Padahal menurut kubu PDIP, sejak jauh-jauh hari, sudah ditegaskan bahwa koalisi yang akan dibangun Poros PDIP adalah koalisi tanpa syarat.

Nah, ketika ARB tidak memperoleh kesepakatan dengan Ketua Umum PDIP dan mitra koalisi lainnya, maka dengan tangan hampa ARB kemudian berbalik arah, meski belakangan dengan “bumbu” setelah melaksanakan sholat istikharah dan tahajjud, ia menentukan pilihan politiknya dengan bergabung pada Poros Partai Gerindra. Ternyata, di belakang hari kemudian terungkap, bahwa bergabungnya Partai Golkar pada koalisi Poros Partai Gerindra, bukan tanpa syarat. Sudah ada janji politik Prabowo-Hatta, yang sangat menggiurkan bagi ARB dan Partai Golkar bila bergabung dalam koalisi Poros Partai Gerindra.

Menurut pengakuan salah seorang pentolan Partai Golkar,  Fadel Muhammad, bahwa ARB dijanjikan menempati posisi sebagai menteri utama atau menteri senior dalam kabinetnya kelak. Fadel kemudian menjelaskan bahwa posisi itu hampir sama dengan Perdana Menteri dalam pemerintahan otokrasi. Bahkan Fadel, menyebutkan bahwa posisi ARB itu hampir sejajar dengan posisi Prabowo-Hatta sebagai Capres dan Cawapres. Dia menganalogikan seperti Soekarno, Hatta, dan Syarir. Woow, sebuah tawaran yang sangat menggiurkan bagi seorang ARB. Dalam kehausan yang amat sangat, ia mendapat uluran tangan dari seorang yang bisa memberi mimpi, di mana posisi yang ditawarkan bisa menggantikan posisi Capres dan Cawapres, yang dia gadang-gadang selama ini. Selain posisi untuk ARB, Partai Golkar dijanjikan pula akan mendapatkan jatah beberapa, bahkan banyak kursi menteri.

Pernyataan Fadel Muhammad ini mendapat konfirmasi dari Pengurus Partai Gerindra Martin Hutabarat. Bahwa politik bagi-bagi kursi ternyata bukan merupakan isu isapan jempol belaka di kalangan koalisi Poros Partai Gerindra. Bagi mereka, koalisi bagi-bagi kursi merupakan sesuatu hal yang niscaya dalam politik (praktis). Hal ini menegaskan bahwa kita masih perlu membutuhkan waktu untuk membangun budaya politik idealis di tengah pragmatisme politik yang dipertontonkan secara telanjang oleh elit politik negeri ini.

Politisi Oportunis

Tidak lengkap rasanya kalau kita tidak membahas pula tentang perilaku politikus oportunis. Pragmatisme politik yang semakin mengangkangi atmosfir politik tanah air, telah melahirkan pula calon-calon politisi oportunis. Perilaku politisi oportunis di hari-hari menjelang Pilpres, semakin menunjukkan bentuk rupanya. Ke mana arah angin bertiup, ke situ dia akan mengarahkan kepak sayapnya. Inilah potret pembangunan politik tanah air, yang semakin miris dan menggelisahkan.

Lihatlah potret figur politik, yang kemarin menunjukkan kecenderungan sikapnya mendukung si A, hari ini berubah haluan mendukung si B, hanya karena dijanjikan “mimpi” akan mendapatkan posisi politik yang menggiurkan dari bakal Capres tertentu. Fenomena politisi “kutu loncat”, hanya karena keinginan dan ekspektasinya tidak diakomodir untuk menjadi pendamping bakal capres tertentu, ia lalu lompat pagar dan bersedia bergabung  dengan sebelumnya sebagai “lawan” politiknya, karena ada tawaran karena posisi “lebih dari seorang menteri”.

Jauh sebelumnya, kita masih ingat sepak terjang seorang yang dijuluki sebagai “Tokoh Reformasi” karena perannya dalam masa pergolakan tahun 1998. Ya, seorang Amien Rais. Ia adalah seorang guru besar ilmu politik, karena itu seharusnya memiliki idealisme sebagai ilmuawan. Sayangnya, dalam perjalanan kiprahnya sebagai politisi, kemampuan ilmunya tidak berbanding lurus dengan praktek politiknya. Lihatlah bagaimana ia dengan kemampuan melakukan akrobatik politik menggalang Poros Tengah mengusung Abdurahman Wahid, Gus Dur, sebagai Presiden RI, tahun 1999, tapi kemudian dengan lihainya dalam selang waktu lebih kurang tiga tahun, ia hempaskan Gus Dur, kemudian mendukung dan memilih Megawati Soekarnoputri sebagai Presdiden RI, menggantikan Gus Dur. Padahal, seperti kita ketahui, bahwa kegagalan Megawati terpilih menjadi Presiden RI waktu itu (meski PDIP sebagai pemenang pemilu 1999), karena adanya resistensi dari umat Islam yang tidak bersedia seorang perempuan memimpin negara (jadi presiden).

Juga perlu disebutkan bahwa pada Pilpres tahun 2009, ketika Prabowo Soebianto berpasangan dengan Megawati, dan ketika itu PAN yang dipimpin oleh Soetrisno Bachir, memberikan dukungan kepada Pasangan Megawati dan Prabowo, malah seorang Amien Rais, tidak mendukungnya. Menurut cerita Prof. Ikrar Nusa Bakti (Bincang di TVRI, 19 Mei 2014) ketika itu Amien Rais marah kepada Soetrisno Bachir, dengan mengatakan kalimat kurang lebih sebagai berikut, “mengapa engkau memberi dukungan kepada menantu dari orang yang melalui perjuangan reformasi saya jatuhkan”? Sementara sekarang kita lihat, bagaimana sikap seorang Amien Rais, dengan berbusa-busa berpidato menyatakan dukungan kepada Prabowo-Hatta. Apakah dukungan yang diberikannnya ini karena ada faktor Hatta di sana? Atau ada deal-deal politik tertentu, di mana bisa jadi ada janji politik untuk “menjadikan sesuatu” seorang Amein Rais. Terus terang, pada masa reformasi salah satu tokoh yang saya kagumi adalah Prof. Amien Rais. Tapi sayang, seiring berjalannya waktu, dan mengikuti lika liku perjalanan dan perilaku politiknya, kekaguman saya kemudian memudar, bahkan hilang tanpa bekas. Bagi saya, seorang Amien Rais, adalah seorang oportunis sejati.

Wallahu a’lam bissawab

Makassar, 22 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun