Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fantastis, Satu Orang “Cedera” Dapat Membatalkan Keputusan Mayoritas

16 Agustus 2014   20:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:23 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408170964757073761

Oleh: eN-Te

Menarik menyimak pendapat para ahli (Hukum Tata Negara) dalam sidang sengketa Pilres di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemarin MK menghadirkan saksi ahli para pihak untuk memberikan keterangan ahli berkaitan dengan sengketa Pemilu Pilpres 2014 di Gedung MK. Dari semua saksi ahli yang dihadirkan oleh para pihak, ada pendapat menarik dari beberapa saksi ahli dari kubu Prabowo-Hatta. Salah satu pendapat tersebut dikemukakan oleh Irman Putra Sidin. Menurut Irman, bahwa, “bila satu orang warga negara yang tercederai (hak konstitusionalnya) bisa membatalkan keputusan seluruh warga negara ketika keputusan tersebut melanggar konstitusi” (link terkait).

Luar biasa pendapat sang ahli ini, bahwa ketika seseorang warga negara karena alasan-alasan tertentu yang menyebabkan ia tidak dapat terpenuhi (tercederai) hak konstitusionalnya, maka hal tersebut dapat berpengaruh secara menyeluruh terhadap hasil yang telah “diputuskan” oleh mayoritas warga negara. Pertanyaannya kemudian muncul adalah sejauhmana menentukan pengaruh tercederainya hak konstitusional seorang warga negara terhadap keputusan mayoritas rakyat? Pertanyaan lanjutannya adalah, siapa pula yang berhak menentukan bahwa seseorang warga negara telah tercederai hak konstitusionalnya? Dan bagaimana pula menentukan bahwa seseorang warga negara tersebut telah terlanggar atau tercederai hak konstitusionalnya? Apakah seorang warga negara itu sendiri yang menilai atau menentukan bahwa ia telah dicederai hak konstitusionalnya? Atas dasar apa ia menilai hal tersebut? Apakah berdasarkan subyektivitas dirinya sendiri atau karena faktor-faktor obyektif lainnya?

[caption id="attachment_338325" align="alignleft" width="700" caption="Ruang dan Suasana Sidang di MK (sumber di sini)"][/caption]

Ahli juga berpendapat bahwa, bila satu orang warga negara merasa dirugikan hak konstitusionalnya dan terbukti  kerugian tersebut maka Mahkamah bisa membatalkan keputusan mayoritas rakyat yang bernama UU. Hal ini berarti, secara subyektif seorang warga negara bila “merasa” (karena itu bersifat subyektif) bahwa hak konstitusionalnya telah dicederai, maka ia dengan sesuka hati, dengan alasan hak, dapat mengajukan kepada Mahkamah untuk membatalkan keputusan mayoritas seluruh warga negara (keputusan rakyat). Jika logika hak konstitusional setiap warga negara karena alasan-alasan subyektif semata sehingga ia diperbolehkan mengajukan keberatan kepada Mahkamah untuk membatalkan keputusan mayoritas rakyat, maka dapat dipastikan persoalan-persoalan konstitusional tidak akan pernah selesai. Siapa saja warga negara bila merasa hak-hak konstituisonalnya dicederai maka ia dengan mudah dapat mengajukan permohonan terhadap Mahkamah untuk memutuskan pembatalan terhadap keputusan mayoritas rakyat (banyak). Meski keputusan tersebut harus mengabaikan kemaslahatan bersama, juga mungkin kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas.

Jika keinginan seorang warga negara karena merasa hak konsititusionalnya dicederai dan telah terpenuhi (oleh Mahkamah), apakah hal tersebut dengan serta merta akan menyelesaikan semua masalah? Tidakkah hal tersebut dapat memunculkan atau menimbulkan masalah baru?  Apakah juga terpikirkan, bahwa dapat saja mayoritas rakyat melakukan “perlawanan” terhadap keputusan Mahkamah, karena telah menganulir keputusan mayoritas rakyat hanya karena ingin memenuhi kepentingan politik dan atau keinginan subyektif seorang warga negara? Bagaimana mungkin, hanya untuk memenuhi keinginan subyektif seorang warga negara Mahkamah harus mengorbankan keputusan mayoritas rakyat? Mungkinkah tidak sebaliknya Mahkamah berpendapat bahwa untuk kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar (kepentingan bangsa dan negara), Mahkamah dapat mengabaikan “keinginan” subyektif seorang warga negara?

Bahwa Mahkamah dapat saja mengabulkan keinginan seorang warga negara yang merasa telah dicederai hak konstitusionalnya, sepanjang hak-hak konstitusional warga negara tersebut berpengaruh secara sigifikan terhadap keputusan mayoritas rakyat. Jika yang ada adalah sebaliknya, yakni kepentingan subyektif seorang warga negara tersebut tidak cukup signifikan berpengaruh terhadap keputusan mayoritas rakyat, maka Mahkamah hendaknya dapat menolak pengaduan tersebut. Jika tidak, maka hal tersebut akan mendorong terciptanya kekacauan baru, dan terus berlanjut tanpa ujung.

Setali tiga uang dengan pendapat di atas, Margarito Kamis, yang dihadirkan dalam sidang lanjutan PHPU di MK kemarin, sebagai saksi ahli kubu Prabowo-Hatta, juga berpendapat hampir sama. Menurut Margarito, bahwa legitimasi (hasil) pemilu (Pilpres) dapat gugur apabila ada pelanggaran di dalamnya (link terkait ). Terlepas dari, apakah pelanggaran itu terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif  (TSM) ataukah tidak, yang penting bila terjadi pelanggaran maka dapat menggugurkan legitimasi Pilpres. Tekanannya ada pada PELANGGARAN, tidak menjadi soal apakah pelanggaran itu masuk kualifikasi pelanggaran berat (TSM) ataukah pelanggaran ringan (tidak TSM).

Seorang Margarito juga mempermasalahkan Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKtb). Menurutnya DPKtb tidak sah karena tidak diatur dalam undang-undang (link terkait ). Salah seorang saksi ahli yang lain dari kubu Prabowo-Hatta, Said Salahuddin juga menyatakan pendapat yang hampir sama. Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melanggar undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan presiden lalu. Pelanggaran itu berupa menggunakan data di luar Daftar Pemilih Tetap (DPT). KPU bertindak di luar kewenangannya dengan mengatur surat keterangan domisili dan lainnya untuk mengganti syarat administrasi pemilih di luar DPT(link terkait ). Said juga menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman Pemilu 1955, yang dianggap sebagai pemilu terbaik sepanjang sejarah Republik ini, yang mengacu pada UU tahun 1953, yang hanya membolehkan mereka yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) saja yang berhak menyalurkan hak politiknya di bilik suara. Di luar yang tidak terdaftar dalam DPT, maka tidak berhak memberikan suaranya di bilik suara. Begitu pula dengan landasan hukum keputusan MK pada tahun 2009 tentang DPKtb, menurutnya tidak lagi relevan diterapkan pada Pilpres 2014. Dalam pandangannya karena Pemilu tahun 1955 dianggap sebagai pemilu terbaik, maka aturan hukumnya yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu tersebut tidak boleh lagi diperbarui sesuai dengan tuntunan dan perkembangan kekinian. Bagi dia kekentuan-ketentuan itu tidak perlu diubah karena masih tetap relevan untuk diterapkan sepanjang sejarah pelaksanaan pemilu di Republik ini. Karena itu ia menilai bahwa aturan KPU yang membolehkan warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk menggunakan hak pilihnya melalui DPKtb dianggap sebagai sesuatu yang tidak relevan lagi. Bagi dia, DPKtb merupakan suatu tindakan pelanggaran pemilu.

Jika mencermati pendapat Said ini, maka secara sepintas terlihat kontras dengan pendapat saksi ahli lain dari kubu Prabowo-Hatta, di mana menurut ahli sebagaimana disebut di awal tulisan ini, bahwa bila satu orang warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya maka hal itu dapat membatalkan keputusan mayoritas rakyat, tanpa mempersoalkan apakah signifikansi kerugian itu bagi kepentingan bangsa dan negara. Bukankah menjadi sangat terbuka potensi “tercederainya” hak konstitusional warga negara bila ia tidak terdaftar dalam DPT?

Bagaimana pula dengan pendapat ahli dari kubu KPU? Atas ketiga pendapat ahli dari kubu Prabowo-Hatta tersebut, Haryono, mantan Hakim MK yang ditunjuk sebagai saksi ahli mewakili KPU menegaskan pendapat berbeda. Menutur Haryono, bahwa DPKtb adalah salah satu nomenklatur yang memungkinkan untuk mengakomodasi aspirasi pemilih yang tidak masuk dalam DPT.  Dalam pandangan Haryono, DPKtb dihadirkan untuk menfasilitasi hak pilih dari kemungkinan warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Di sinilah letak urgensi intensi DPKtb. Karena bagi Haryono, intensi DPKTb adalah memfasilitasi hak pilih, sebagai substansi demokrasi, yang terhalang oleh tidak terdaftarnya warga negara di DPT. DPKTb adalah nomenklatur yang diperlukan pada saat ada satu kemungkinan besar seorang warga negara tidak bisa menggunakan hak pilih gara-gara tidak ada di DPT (link terkait).

Lagi pula kehadiran DPKtb itu tidak dimaksudkan untuk memenangkan salah satu pasangan Capres-Cawapres tertentu. Dari kedua pasangan calon memilki peluang yang sama untuk mendapatkan suara pemilih dari setiap pemilih yang mempunyai hak suara yang kebetulan masuk dalam DPKtb. Tidak ada yang dapat memastikan bahwa warga yang memiliki hak pilih yang masuk dalam DPKtb akan memilih salah satu pasangan calon tertentu saja. Karena itu apabila ditinjau dari segi hak konstitusional seorang warga negara sebagaimana pendapat saksi ahli dari kubu Prabowo, Irman Putra Sidin, seharusnya DPKtb tidak menjadi alasan untuk menilai bahwa penyelengaraan Pilres tahun ini telah berlangsung curang TSM sebagaimana dalil pemoohon. Pendapat Irman, di satu sisi dianggap sebagai upaya untuk mendelegitimasi penyelenggaraan Pilpres, berarti juga akan berdampak pada legitimasi pemenang Pilpres, tapi disi lain hal itu seharus memperkuat posisi KPU dalam memberikan ruang bagi warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT. Dengan demikian seharusnya KPU tidaklah dinilai telah melakukan pelanggaran dalam penyelenggaraan Pilpres. Malah sebaliknya, bila tidak ada DPKtb, potensi pelanggaran terhadap hak-hak kontitusional warga negara menjadi terbuka begitu lebar, karena kesalahan atau keterabaian KPU atau pemerintah dalam menyusun DPT yang membuat sebagian warga negara tidak terdaftar dalam DPT. Dengan demikian, untuk mengantisipasi “tercederainya” hak konstitusional seorang warga negara  yang menyebabkan ia merasa dirugikan, maka dibuat regulasi oleh KPU bagi mereka yang tidak terdaftar dalam DPT untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya melalui DPKtb.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 16 Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun