Siapa yang tidak pernah mentok? Pikiran rasanya macet. Tidak tahu harus bagaimana. Bahkan, mau berbuat sesuatu juga tidak semangat lagi. Saya pernah. Beberapa kali dengan masalah yang berbeda-beda. Mungkin kompasianer juga pernah--atau bahkan sedang--mengalaminya. Beberapa waktu yang lalu saya bekerja di suatu Penerbitan buku. Itu adalah pekerjaan yang saya senangi dan syukuri. Berawal sebagai proofreader. Saya bisa membaca berbagai jenis buku. Asal tahu saja, sebelumnya saya lebih menyukai membaca buku anak (cerpen, komik, novel, artikel, dll). Untuk buku remaja apalagi dewasa, maaf saja. Selama masih ada buku anak, buku lainnya adalah pilihan terakhir. Hingga kemudian karena tuntutan pekerjaan saya harus nge-proof buku-buku non-anak. Yaitu buku-buku yang merupakan Buku Pilihan Terakhir (kumcer dan novel remaja/dewasa, buku terjemahan, buku nonfiksi filsafat, dsb). Tidak tanggung-tanggung, buku yang harus saya proof adalah buku-buku super tebal menurut ukuran saya. Ya. Saat itu pikiran saya langsung macet. Mentok. Terbersit pikiran mencari pekerjaan lain saja. Wong, masih banyak tawaran pekerjaan lain yang bisa saya kerjakan. Untungnya, saya tidak bergerak kesana. Saya juga tidak diam dengan pekerjaan tersebut, apalagi menolak. Saya terus bergerak. Apa yang terjadi? Jujur, saya bersyukur kemudian. Saya pun kecanduan! Buku-buku Pilihan Terakhir itu ternyata membuat saya kehausan. Amat menarik. Hingga akhirnya, saya pun jadi spesialis nge-proof buku-buku tersebut. Bahkan, saya sampai mencari dan membeli buku-buku itu untuk menjadi koleksi buku saya. Hal yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Kebuntuan yang lainnya, saya alami saat di perkerjaan yang lain. Ketika itu saya menjadi seorang Asisten Proyek. Sungguh, itu pekerjaan yang amat menantang dan menyenangkan. Hal-hal yang awalnya--menurut saya--tidak mungkin bisa saya kerjakan, akhirnya bisa saya selesaikan dengan baik. Dan, selalu begitu. Setiap sukses satu tugas, muncul tugas baru yang lebih impossible untuk saya kerjakan. Lalu, entah kenapa kemudian saya merasa mentok dengan semua itu. Tantangan-tantangan yang dulu saya sukai menjadi tidak menarik lagi. Saya jadi macet. Tidak bisa mikir apa-apa. Kerjaaan jadi berantakan. Saat itu saya sadar, kalau kondisi saya begini terus, saya bisa 'berhenti'. Lalu saya konsultasi dengan teman dan pimpinan. Mereka memberi saran, motivasi, dan solusi. Ya, semuanya hanya bekerja sementara. Ini menjadi bukti, motivasi dari orang lain tak sepenuhnya ampuh. Saya butuh motivasi yang super. Yang jelas saya tidak boleh diam. Jadi, kemudian saya bergerak. Saya minta ijin pimpinan untuk meninggalkan pekerjaan sementara. Melakukan hal-hal yang saya tinggalkan karena keasyikan bekerja. Sementara teman-teman sepekerjaan bekerja, saya menghabiskan jam kerja dengan main basket. Saya pun menghadiri sebuah acara/forum--rutin diadakan kantor sebulan sekali--yang sebelumnya lebih sering saya acuhkan karena lebih menikmati pekerjaan. Intinya, yang saya lakukan adalah terus bergerak. Karena bila saya tetap di ruangan saya bekerja, bisa dipastikan saya cuma terduduk diam di depan komputer tanpa ngapa-ngapain. Nah, di acara/forum yang saya hadiri itu saya tersentak. Saat sang pembicara menceritakan kisah hidupnya, saya menemukan jawaban. Solusi ampuh untuk mengatasi kemacetan, mentok, atau apapun istilahnya. Yaitu sesuatu yang sudah terbiasa saya lakukan, terus bergerak! Ternyata saat kita terus bergerak, kita akan sampai di suatu titik yang berarti telah meninggalkan atau melewati kemacetan/area mentok itu sendiri. Dan, area mentok dalam hidup kita akan selalu muncul dalam kehidupan. Tergantung pilihan kita dalam menyikapinya. Apakah diam dan tenggelam? Apakah menghindarinya atau menunda masalah yang akan kembali muncul/terulang? Atau, terus bergerak? Tulisan yang sedang kompasianer baca saat ini juga adalah hasil dari sikap saya untuk terus bergerak. Beberapa menit yang lalu, selesai mengerjakan sebuah proyek, saya tiba di area mentok lagi. Rasanya sudah lama saya tidak menulis di kompasiana ini, tapi saya tidak tahu mau menulis apa. Saya mentok. Lalu, saya terus bergerak. Saya membaca tulisan-tulisan yang ada, memberi nilai dan meninggalkan komentar. Menyimpan beberapa tulisan yang menarik dan bermanfaat untuk saya nantinya. Lalu, bersamaan itu sebuah sms masuk dari seorang sahabat. Meminta ide, meminta motivasi agar bisa tetap menulis. Saran saya? Ya, teruslah bergerak! Nah, begitulah. Akhirnya saya tahu harus menulis apa. Akhirnya saya berhasil melewati area mentok kali ini. Satu pelajaran tambahan terakhir, solusi ampuh tersebut muncul dari arah yang tidak terduga di saat kita sedang bergerak. Tidak harus di mana kita berada, tetapi saat pikiran ini sedang bergerak. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kompasianer. QS. Emmus Penulis Cerita Anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H