(domain coretandenina)
Dua Minggu kemarin, tepatnya Jumat 29 April 2016, akhirnya saya buat juga domain baru buat coretandenina. Rencananya biar namanya samaan dengan page facebooknya. Cuma, saya nya juga agak mikir sekarang, itu domain kelihatan nggak sih? Karena blog domain itu ada dalam satu email dengan blog curhatan yang ini.
Punya akun apa saja di sosmed? Selama ini saya bertahan di facebook dan page nya, selain sesekali isi blog Kompasiana. Namun dua bulan terakhir saya juga buat Instagram dan minggu lalu buatin domain untuk blog seperti yang saya sebut di atas. Pengen tau dimana letak seru nya.
Sebenarnya masih terkait dengan personal branding vs blog kemarin yang pernah saya tulis. Dan juga kepentingan dijaman sekarang ini, semua serba online, jadi tidak ada salahnya membuat satu blog khusus tempat menyimpan tulisan yang bisa kita tautkan ke orang lain, semisal untuk mengapresiasi rekamanan pertemuan, perjalanan, pembicaraan kita atau dengan orang lain, atau hal yang lain. Tujuannya? Tidak lain untuk mengapresiasi waktu yang kita lewati namun sekaligus jadi catatan harian online untuk diri sendiri. Yang bisa diakses kapan saja, dari negara mana saja, dengan komputer apa saja.
Masalahnya, serajin apakah saya menuliskannya?
Mau tidak mau, ya, harus menulis. Berubah. Kalau saya memandang pentingnya menulis itu dari dulu seperti saat ini, saya nggak bakal pake blog Kompasiana untuk curhat-curhat nggak penting, atau, dari dulu saya juga udah buat domain, contohnya gitu. Setidaknya, saya akan menggunakannya untuk berlatih. Ini bisa juga dilihat dari beberapa tahun kemarin pun, universitas papan atas dunia, Universitas Harvard, mensyaratkan test kemampuan bahasa dan menulis untuk test masuk di sana. Hal ini untuk mencegah, orang yang pintar tapi tidak bisa menterjemahkannya dalam bahasa dan tulisan yang dimengerti.
Pernah ketemu yang seperti itu?
Prof. konstruksi beton saya dulu gitu, padahal ini salah satu mata kuliah penting dan wajib. Bukan saya tidak sopan ngomongin sebagai contoh sekarang. Tapi ini penting, untuk diambil jadi pelajaran. Ceritanya, jangankan mengerti apa yang diterangkan, bahkan sekedar mengerti tulisan si Prof. di papan saja sudah syukur. Jadi, pernah kita mau ujian semester, saat berkumpul untuk memahami study kasus, seorang teman nyeletuk, "saya ngerti!" kata dia. Kita semua gembira, melempar pandangan harapan kepada arah suara itu. Dia melanjutkan, "ini kan bacanya...."
Duh! Ampun dah, kita kira ngerti kasus nya, tau-taunya cuma ngerti bacanya.
Ya, gitu. Bisa dibayangkan, gimana jadinya kalau sesuatu itu tidak bisa disampaikan dengan bahasa dan tulisan yang dimengerti. Berabe. Nggak pintar-pintar murid atau mahasiswa nya. Itu juga berlaku luas dalam aspek kehidupan lain. Tidak salah, ini menjadi hal penting yang terus diperhatikan, melatih kemampuan bahasa dan menyampaikan isi pikiran, dalam hal ini, termasuk berbahasa dan menulis.Â
****