Tahun 2007 adalah pertama kali saya mengunjungi dokter di Jerman. Saat itu saya bermasalah dengan saluran ke arah lever, dimana, ukuran yang saya miliki jauh dari rata-rata yang dimiliki orang Jerman bahkan hampir 2 kali lipat. Karena itu, saya diminta untuk memikirkan solusi yang ditawarkan, operasi. Dua dokter yang menangani sempat berdiskusi panjang tentang hal tersebut di depan saya, saat itu juga, namun, karena saya tidak bersedia operasi, salah satu dari dokter mengijinkan saya pulang setelah menyelipkan nomor telepon ambulan untuk sewaktu-waktu saya bisa hubungi.
Hal yang tidak menyenangkan bukan pada saat mendengar “operasi” nya. Namun, proses sampai saya mendengarkan analisa itu, saya harus menunggu di UGD lebih dari 6 jam. Dan sebelum itu, beberapa jam saya masih berkeliaran dalam kondisi setengah pingsan, mencari rujukan hausartz, semacam dokter praktek di rumah atau dokter pribadi. Ceritanya,saya memang tidak pernah ada masalah kesehatan sebelumnya, jadi saya tidak pernah berkunjung ke dokter praktek, dimana, hal ini menjadi salah satu syarat boleh dirujuk ke rumah sakit disini.
Dengan kondisi saya yang kurang baik saat itu, saya mengikuti prosedur, mencari hausartz dulu untuk bisa minta rujukan. Sesampai di UGD, teman saya mendaftarkan. Namun, beberapa jam menunggu bahkan sampai orang-orang yang di UGD silih berganti, saya tidak kunjung dipanggil. Akhirnya, teman yang mengantar menanyakan ke bagian adminstrasi. Ternyata, di tanggapi kurang menyenangkan, yang di administrasi marah. Marahnya juga sedikit kurang profesional, wanita di administrasi memarahi teman saya karena teman membiarkan saya membawa ransel (padahal, ya, kan saya lagi menunggu di ruang tunggu dan si teman tidak ada maksud membiarkan). Lucunya, wanita di administrasi itu pun memanggil saya dengan setengah teriak untuk segera melakukan test, tabung test yang tidak saya masukkan didalam plastik karena tidak dikasi tau, kemudian kena imbas, jadi bahan marah lagi....... :-D
Ya. Saat itu, dalam kondisi menggangkat kepala saja rasanya susah, akhirnya saya bisa tertawa geli, bagaimana tidak? Teman saya yang dimarahi habis-habisan di depan banyak orang, pipinya sampai merah padam. Mengingat saya juga tidak lepas dari sasaran amarah, tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran saya adegan ibu tiri di sinetron-sinetron yang pernah ada di televisi Indonesia.Teman saya, yang adalah pria, Indonesia, cuma bisa nyeletuk dan bilang “lagi PMS (Premenstrual Syndrom) kali itu mbak nya, atau jangan-jangan memang lagi dapat bulan.”
„Syukur kalau teman saya paham dan bisa terima.“ Itu yang kemudian saya pikirkan.
***
Mungkin wanita di bagian administrasi memang terlewat memanggil nama saya. Namun, disayangkan, bukannya minta maaf malah marah. Entahlah, apapun alasannya, tidak lah professional.
Jadi, siapa bilang hanya pelayanan di sebagian rumah sakit di Indonesia saja yang bisa ditemui kurang profesional? Dimana saja bisa. Walau Jerman yang katanya punya kedokteran salah satu terbaik dunia, ya, itu, ada beberapa cerita yang kurang lebih sama seperti di atas saya dengar dari teman-teman. Tim pelayanan di rumah sakit nya kurang menyenangkan, wlaau presentasinya memang kecil. Dan urusan konsultasi sama dokter yang seolah diburu-buru? Saya juga pernah merasakan.
Sebenarnya, dimanapun kita bisa menemui pelayanan yang tidak sesuai dengan visi dan misi yang diusung, selama yang menjalankan adalah manusia. Namun, perlu dipertimbangkan secara bijak saja, jangan sampai „nila setitik merusak susu sebelanga.“ Meminjam kata-kata teman saya ketika saya ingin meninggalkan pekerjaan dulu, „apa kamu yakin yang lain itu akan lebih baik dari yang ada sekarang? Jangan-jangan malah lebih buruk...“
***
Tanpa membesar-besarkan sekelumit pengalaman kurang menyenangkan ini, saya menaruh apresiasi yang besar terhadap rumah sakit Jerman, banyak pengalaman baik yang saya rasakan (jika ingin dibagi, dengan senang hati). Tujuan tulisan ini tidak lain, bahwa, dimanapun bisa terjadi perlakuan tidak nyaman.
Salamku.
-->> terinspirasi setelah baca beberapa tulisan :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H