Mohon tunggu...
Denny Boos
Denny Boos Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Perempuan asal Tobasa. Menyukai hal-hal sederhana. Senang jalan-jalan, photography, sepedaan, trekking, koleksi kartu pos UNESCO. Yoga Iyengar. Teknik Sipil dan Arsitektur. Senang berdiskusi tentang bangunan tahan gempa. Sekarang ini sedang ikut proyek Terowongan. Tinggal di Berlin.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

[Selingan] Menunggu Bus

11 April 2016   16:58 Diperbarui: 11 April 2016   18:52 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Si abang-abang dan stasiun bus"][/caption]Kemarin waktu menunggu Bus arah Berlin-Dresden, saya melihat si abang ini lewat. Bukan kali ini saja saya melihat mereka yang kekurangan penglihatan seperti beliau sendiri mencari stasiun bus/tram, pakai tongkat dan menggunakannya untuk mengetahui arah jalan. Mereka menggerakkan tongkat itu seperti meraba permukaan jalan, bukan dipakai seperti tongkat yang menahan tubuh.

Bagusnya, di Jerman, jalan pedestrian dilengkapi semacam bagian timbul biar mereka bisa tau arah dan pada akhirnya mandiri. Iya, jarang saya lihat mereka didampingi. Dan biasanya mereka jalan juga kecepatannya biasa. Di foto di atas terlihat di bagian badan  jalan dekat kami menunggu, ada bagian yang hitam dan timbul seolah bergerigi. Di jalur itu mereka pakai untuk berjalan.

Ceritanya, kemarin waktu di check tiket satu-satu. Si supir bus, menuntun si abang-abang ini dengan memberitahu berapa anak tangga yang mesti di naiki, lalu arahnya kemana. Sambil naik, si abang ini sambil menjawab "iya, saya sudah tau, tidak usah dijelaskan lagi." tapi suaranya seperti tertawa.

Dan begitu juga ketika saat sudah tiba di Dresden, tepat 2 jam setelahnya, si Pak supir kembali menuntun si abang-abang itu. Tidak disangka, si abang itu marah besar dan mulai menaikkan suara. Si Pak supir menetralkan dengan cuma menjawab "terimakasih, hari baik untukmu!", dia tidak meladeni atau membantah apapun dari si abang-abang itu. Orang-orang yang ikutan turut di Neustadt sempat memandangi namun tau sendiri orang Jerman, nggak banget ngurusin yang gitu, akhirnya tinggallah si abang-abang itu sendiri sampai bus kami berlalu menuju stasiun selanjutnya.

Dalam pandanganku, si Pak supir menunjukkan keramahan dan tanggungjawab. Namun ternyata si abang-abang tersebut mengartikannya lain. Si abang-abang itu hanya ingin diperlakukan sama seperti orang lain, tidak diperlakukan istimewa karena kekurangannya. Seolah mengatahan, cukup perhatian istimewa itu didapat dari pemerintah (yang peka akan kebutuhan mereka), dengan membangun fasilitas umum yang baik. Sehingga, pada akhirnya support itu memang akan mendukung aktivitas mereka. Ya, ini poin penting yang saya perhatikan di sini, juga, fasilitas yang ramah dengan para mereka yang memakai kursi roda. Lain kali, saya akan coretkan juga perihal tersebut kalau hape samsung saya bisa diajak diskusi (maksudnya: ngumpetin dari kesan difotoin). Baiklah!

Dalam versi cerita instagramnya di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun