Mohon tunggu...
Emlla Catur Rianda
Emlla Catur Rianda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

universitas padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hak Anak di Atas Pandemi

12 Mei 2020   17:31 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:21 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Covid-19 saat ini masih menjadi persoalan di tanah air, jumlah pasien positif pun kian bertambah setiap harinya. Berdasarkan data yang dihimpun pemerintah pusat, (11/5/2020), jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia sudah menyentuh 14.265 kasus, dengan 991 diantaranya meninggal dunia dan 2.881 orang dinyatakan sembuh. Kondisi pandemi ini pun turut berdampak pada kondisi sosial masyarakat yang menjadi tidak stabil, kebijakan pemerintah untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik pada sektor ekonomi, sosial, pariwisata, maupun sektor lainnya.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker RI) pada 20 April 2020, tercatat sekitar 2 Juta orang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selama pandemi Covid-19 ini. Ada berbagai alasan perusahaan melakukan keputusan PHK ini, salah satu nya untuk menjaga stabilitas keuangan perusahaan agar tidak bangkrut. Kebijakan PHK yang terjadi tersebut tentunya akan sangat mempengaruhi kehidupan dari pekerja itu sendiri, mereka perlu memikirkan bagaimana rencana kedepan agar dapat menghidupi keluarga, terutama anak-anak mereka yang sangat rentan dalam kondisi pandemi ini.

Salah satu kasus PHK terjadi di Batam. Sakdam, seorang pekerja  yang menjadi korban PHK dari sebuah perusahaan galangan kapal. Ia mengatakan bahwa orderan untuk galangan di perusahaannya menjadi sepi sejak adanya wabah virus corona ini, sehingga membuat ia dan beberapa temannya diberhentikan oleh perusahaannya . Untuk memenuhi kehidupannya, Sakdam memutuskan untuk memancing ikan yang hasilnya pun tidak seberapa, hanya sekitar 8 ribu hingga 10 ribu rupiah perkilogramnya dan dapat dikatakan hal tersebut sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Hal serupa juga terjadi pada Tomas, seorang pekerja di salah satu agen perjalanan di Batam . Ia menjelaskan, bahwa untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setelah di-PHK, ia sangat bergantung dengan jumlah ikan yang didapatkannya setiap memancing.

Pada dua kasus diatas, Anak dapat dikatakan sebagai salah satu subjek yang diusahakan dalam pemenuhan kebutuhannya, tetapi bila kita lihat bersama, hal tersebut belum terpenuhi dengan baik, padahal anak memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan, tumbuh dan berkembang, serta hak untuk bahagia. Namun, apakah hal tersebut akan tetap menjadi perhatian pada masa pandemi ini?.

Kondisi Anak sebagai subjek atas kesejahteraan sosial pada masa pandemi tentunya sangat perlu diperhatikan. Kita harus memastikan agar mereka selalu mendapatkan hak nya. Namun, bila kita lihat bersama kondisi mereka malah cenderung mengkhawatirkan. Masih banyak diantara mereka yang belum mendapatkan pemenuhan gizi secara optimal karena pendapatan keluarganya berkurang ataupun kesulitan mengakses pendidikan yang dialihkan menjadi serba online di masa pandemi ini.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah saat ini memang sedang menyiapkan beberapa bentuk bantuan sosial untuk meringankan beban masyarakat ditengah pandemi. Bantuan seperti Program Keluarga Harapan, pemberian sembako, kartu prakerja, dan juga pembebasan tarif listrik sedang diupayakan oleh pemerintah untuk di distribusikan kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat dengan perekonomian menengah kebawah yang sangat terdampak oleh pandemi ini. Namun, dari segala hal tersebut, pemerintah juga perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak anak, terutama dengan pemenuhan gizi dan pendidikan anak.

Hal tersebut tentunya menjadi sebuah PR bagi pemerintah serta stakeholder-nya untuk dapat mengupayakan pemenuhan pendidikan dan gizi anak, karena dapat dikatakan masih banyak anak-anak dari keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan karena mereka tidak memiliki ponsel pintar sebagai sarana pendidikan jarak jauh seperti yang diterapkan oleh sekolahnya. Dalam hal ini pemerintah dapat menggandeng dunia usaha, ataupun lembaga swadaya masyarakat sebagai mitra kerja untuk dapat memastikan akses pendidikan yang maksimal untuk seluruh anak Indonesia pada masa pandemi ini, sehingga anak Indonesia dapat terpenuhi segala haknya untuk bisa sejahtera dan mereka dapat tetap mengejar impian mereka serta membangun Indonesia dimasa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun