Cara Lain Memadamkan Nyala Api Dalam Diri
Percakapan api yang mengendap di hati saya: adalah tentang warna ingatan pada selembar kertas yang belum kutulis sebagai puisi. Sebab api adalah puisi yang tak pernah selesai ---dan menjelma makna yang tak habis dibicarakan dalam kinerja api sunyi.
Dan di antara persetubuhan api dan sunyi ---saya mencari bunyi dari sebuah rimbun bahasa. Sementara sepi yang terus berkobar membakar diri, hangatnya akan utuh sepanjang ingatan mencapai puncak ekstase sebuah momen-momen puitik yang telah pergi.
Mungkin hanya dengan hati yang penuh. Biarlah aku setia pada sunyi untuk menanti bunyi dari puisi. Kalian tahu, api sunyi itu bercahaya, tak lekas dipadamkan usia. Sebab api nyala kata dan sunyi sebuah ruang dimana kata-kata saling berdiskusi dalam imajinasi untuk menemukan sebuah diksi segar dalam puisi.
Sekali lagi, sunyi itu misteri penuh kejutan. Ia tahu bagaimana cara bekerja dengan diri saya sendiri dan menghasilkan sebuah kekuatan dalam satu momen yang telah pergi. Maka jadilah api menjadi nyala sunyi. Api itu memberi terang di gelap gulita. Sejak lalu api-lah, yang menuntun langkah hati saya untuk terus menemui kekuatan-kekuatan perasaan tetap menulis puisi.
Maka lebih terangnya ---yang dimaksud api sunyi adalah puncak kemarahan dan letaknya pada eksistensi diam: Â karena diam adalah sebaik-baiknya yang kita lakukan saat hati sedang resah dan gelisah. Pun diam pula adalah ruang kesunyian di mana saya akan meredakan segala nyala api (yang timbul dari berbagai problem kehidupan) dalam baris-baris puisi.
Karena memang saya bukanlah seorang aktivis yang mencintai jalan raya sebagai ruang untuk menguapkan aspirasi-aspirasi kemarahannya ---entah dengan cara orasi yang akan berujung pada tindakan adu fisik dengan aparat keamanan akibat satu persoalan kebijakan pemerintah, misalnya.
Dari contoh kejadian itu semua --- jadi saya berkesimpulan untuk memilih jalan sunyi sebagai daya ungkap untuk memadamkan segala gejolak rasa marah, resah dan cinta dalam suatu karya sastra ---karena memang pada dasarnya saya mencintai puisi.
Maka jadilah Api Sunyi itu sebagai judul antologi puisi saya yang ke empat selain Tirakat Padam Api, Alarm Sunyi dan Ayat Sunyi. Â Terimakasih. Selamat membaca.
Emi Suy
Jakarta, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H