Mohon tunggu...
Ismawati Dasuki
Ismawati Dasuki Mohon Tunggu... -

The Pain Killer Wannabe

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hari Dimana Aku Menjadi Seorang Perempuan *)

28 Mei 2012   02:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:42 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Jika kebanyakan perempuan selalu berusaha mempercantik fisiknya, konon itu merupakan hal yang wajar. Mereka selalu merasa ada sesuatu yang kurang dalam fisiknya, sekecil apapun. Ditambah lagi dengan definisi cantik dari iklan-iklan produk kecantikan. Dan, saya pun termasuk dari kebanyakan perempuan itu. Saya ingin berkulit putih, karena kulit putih lebih menarik dan terlihat cantik, maka dipakailah krim pemutih. Saya takut gemuk, merasa terlalu pendek sehingga kadang tidak percaya diri dan selalu memilih baju yang tidak member kesan makin pendek, saya merasa kulit muka sangat berminyak sehingga dipakailah produk ini-itu agar tidak ada jerawat. Dan lain sebagainya. Kekhawatiran terhadap fisik yang tidak cantik lagi.

Bukan hanya soal fisik, saya juga amat dipengaruhi oleh penilaian masyarakat. Karena saya perempuan. Saya terus memikirkanya, mengkhawatirkan hal-hal yang bisa menjadi gunjingan orang-orang, termasuk keluarga dan kawan-kawan. Karena seharusnya perempuan itu sudah menikah pada usia sekian. Karena tugas utama kehidupan perempuan cukuplah denganmenikah, melahirkan anak-anak, dan mengurus rumah tangga. Bagi sebagian orang, sebaik apapun perempuan melakukan hal-hal dalam hidupnya, sama sekali tidak berarti jika tidak menikah. Saya takut nantinya dicap sebagai orang aneh, mengecewakan keluarga, dan warga sekampung menatap saya dengan tuduhan sebagai perawan tua. Saya pun harus sekuat tenaga menjalani hidup sesuai orang-orang kebanyakan.

Saya merasa, betapa beratnya menjadi seorang perempuan. Tapi siapa yang menjadikan hal tersebut begitu berat selain pikiran saya sendiri?

Saat saya menemukan banyak aktivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan, saya pun merasa terbela dan bangga oleh opini-opini tersebut, merasa teragungkan dengan perjuangan-perjuangan kesetaraan gender di seluruh dunia. Bahwa perempuan adalah makhluk yang istimewa dan unik, bahwa perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki, bahwa perempuan bisa menjadi apapun yang mereka inginkan. Mereka bebas dan merdeka.

Lalu kembali saya bertanya-tanya kepada diri sendiri, cukupkah saya merasa berbangga diri dengan pembelaan itu, sementara pola pikir saya sendiri tidak pernah berubah? Lalu apa yang bisa dibanggakan? Ya, I love being a woman. Lalu setelah itu apa?

Ada perempuan yang selalu berdiri di depan cermin setiap pagi menjelang berangkat kerja sambil bergumam, betapa hitam kulitnya. Setiap hari beliau mengatakan tentang warna kulitnya. Beliau ingin lebih putih. Ada juga perempuan yang tidak bisa berpisah dari kekasihnya karena sudah tidak virgin lagi, meskipun kekasihnya tersebut menganiaya dirinya. Ada juga perempuan yang menikah dengan pria yang dicintainya, namun setelah menikah dia merasa sangat tertekan tapi tidak pernah berani mengatakan apapun kepada suaminya. Mereka, salah satunya, takut dengan justifikasi orang lain. Dan mungkin sebenarnya masih banyak yang menyimpan ketakutan seperti itu, termasuk saya sendiri.

Tiap orang memiliki keyakinan dan pemikiran sendiri yang dianggapnya terbaik untuk dipilih sebagai pegangan hidup. Menjalani hidup sesuai apa yang diyakininya benar. Dan ukuran 'benar' ini bisa menjadi berbeda bagi tiap orang. Dulu saya menganggap bahwa menjalani kehidupan selayaknya kebanyakan perempuan di sekeliling saya adalah pilihan terbaik dan paling benar. Saya berusaha mengikuti itu selama yang saya bisa. Namun saat saat keluar dari kotak dan melihat kotak-kotak lain yang lebih beragam warna, saya belajar untuk melihat beberapa kehidupan dari sudut pandang yang berbeda. Saya merasa nyaman dengan pelajaran ini. Tetapi orang-orang pun mulai menghakimi, termasuk keluarga sendiri. Saya pikir, jika saya terus belajar sampai titik dimana saya benar-benar terbebaskan dari ketakutan terhadap penghakiman orang dan memililih dengan jujur apa yang menurut saya benar, pada hari itulah saya telah menjadi seorang perempuan seutuhnya.

*) judul terinspirasi dari film 'The Day I Became a Woman' ( Marzieh Makhmalbaf, 2000)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun