Mohon tunggu...
EmilyWu
EmilyWu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Cerpenis, Menerima Jasa Penulisan Novel.

Walaupun aku tak bersayap, aku ingin terbang ke langit mengambil matahari, bintang dan bulan. Ide cantik selalu menarik untuk kuketik dan kususun dengan indah menjadi sebuah kisah...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Laluku yang Akan Menghancurkan Karir dan Masa Depanku

21 Maret 2014   01:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:41 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Air mataku meleleh, aku terisak, memeluk lututku dan duduk di tepi tempat tidur dengan kondisi yang sangat putus asa. Tak satupun jalan keluar mampu aku pikirkan. Aku benar-benar merasa tak berdaya.Hatiku sebelah kanan terus memberi semangat :” Ayo Ning jangan menyerah selalu ada jalan keluar untuk semua masalah. Berhentilah menangis, tundukkan kepalamu dan berdoalah. Pasrah Ning, pasrah. Ada DIA, tanganNYA tak akan pernah terlambat memberikan pertolongan.”

Sebaliknya sisi hatiku sebelah kiri makin membuat jiwaku remuk redam :” Mau kemana lagi kamu Ning, semua jalan sudah tertutup rapat, ini saatnya kamu menanggung akibat dari kesalahan masa lalumu.”

Aku makin terpojok. Satu sisi aku begitu percaya DIA sungguuh ajaib dan mampu mengulurkan tanganNYA tepat waktu, tapi di satu sisi aku mulai tak percaya dengan semua itu, buktinya saat aku terpuruk begini, DIA seolah menghilang begitu saja, meninggalkanku sendirian.

Aku menjeritdalam hati sambil memukul-mukul dadaku,mencoba menghalau pedih dan perih yang menerjang dadaku saat ini: “Tuhan, aku begitu putus asa, dimana Engkau Tuhan, kenapa Engkau membiarkan ini terjadi, kenapa Engkau membiarkan aku sendirian, ulurkan tanganMU Tuhan.”

Akubediri mengambil HP-ku yang sedari pagi aku matikan, aku ingin menghidupkannya tapi aku tak berani menghadapi telp-telp yang masuk dan bila kuangkat pertanyaan-pertanyaan memojokkan akan membuatku tak mampu membela diri sedikitpun.

Karirku yang aku bangun bertahun-tahun sudah diambang kehancuran, karena masa laluku yang menurut beberapa orang kurang baik.

Aku membangun karirku sebagai penulis profesional sejak aku SMP, tulisan-tulisanku mulai dikenal ketika aku diminta oleh sebuah majalah untuk menjadi penulis artikel di majalah tersebut dan kebetulan artikel yang aku tulis di majalah tersebut mulai dikenal luas oleh pembaca, belum lagi novelku yang beberapakali menjadi best seller dan ada yang sudah di filmkan. Wajahku yang terbilang di atas rata-ratapun sudah seringkali menjadi cover majalah,aku juga makin sering wira-wiri di talk-talk show yang ada di Televisi, penulis muda yang tidak saja berbakat menulis, tapi piawai berakting dan sangat expresife ketika di Foto menjadi cover majalah. Kehidupan pribadi yang putih bersih, karena selain sibuk mengumpulkan rupiah aku tetap punya waktu untuk berkerja di ladangNYA Tuhan, menjadi pekerja sosial di sebuah yayasan yang mengurusi PAUD bagi orang-orang yang terpinggirkan. Sungguh sebuah pencitraan sempurna dari seorang Ningtyas, gadis muda berusia 25 tahun.

Dan ketika namaku mulai berkibar itu, tiba-tiba seorang pria bernama Hartono membuat pernyataan di sebuah media: “ Bahwa apa yang dilihat orang selama ini tentang seorang Ningtyas adalah sebuah kebohongan besar, Ningtyas adalah wanita yang membuat adik saya bunuh diri.” Katanya

Berita buruk itu begitu cepat menyebar, wartawan terus memburuku, membuatku tak mampu memejamkan mata sedikitpun, HP ku terus berdering,aku sampai ketakutan memegang HPku sendiri dan lebih senang membuatnya tidak hidup seharian.

Belum selesai serangann dari Hartono, seorang pria bernama Roberto dan Patria ikut bicara.

“Ningtyas tidaklah selugu yang kalian duga, beberapa waktu yang lalu dia pernah pacaran dengan pria beristri.”

“Oh....Tuhan, harus lari kemanakah aku sekarang, begitu besarnyakah dosaku sehingga hukuman seberat ini yang harus aku terima, sudikah kiranya Engkau menghalau cawan ini dari aku?”

Aku mulai terisak lagi, duduk terdiam memeluk lututku.

Aku harus meminta tolong pendeta untuk membantuku berdoa dan bertindak dengan benar sesuai kehendakNYA.” Pikirku.

Kuhidupkan HP-ku, kuabaikan sms ataupun panggilan masuk yang langsung datang ketika benda mungil itu mulai menyala. Aku mengambil line telp yang menyediakan layanan konsultasi dan doa, ketika nomor itu aku pencet,nada sambung, lalu seorangmenyapaku.

“Syallom....” Sapa suara dari seberang. Membuatkuhatiku merasa sedikit nyaman.

“Ada yang bisa kami doakan, dengan siapa ini?” Tanyanya lagi.

“Saya Ning,bapak pendeta.” Kataku diantara isakku.

“Ada masalah apa Ning, oh ya berapa usia anda?” Tanya sekali lagi.

“25 tahun bapak pendeta.” Kataku lagi.

“Baiklah, silakan bercerita masalah anda.” Katanya penuh dengan nada simpati.

Lalu mengalirkan kisah masa laluku dan akibat yang aku terima saat ini dan betapa terkejutnya aku ketika mendapat jawaban bapak pendeta.

“Kenapa anda menyalahkan Tuhan saat ini? Anda kemakan Tuhan saat anda berbuat salah waktu itu?” Tanya pedas, satu jawaban yang sama sekali tidak aku bayangkan. Aku makin merasa hopeless,tak lagi ada harapan. Aku ingin segera mengakhiri konsultasi ini, tapi rasanya sangat tidak sopan bila hal itu aku lakukan, sedangkan bapak pendeta di ujung telepon sedang memberikan khotbah yangmalah membuatku makin terpojok dan makin merasa bersalah dan berdosa.

“Mari kita berdoa, supaya Tuhan mengampuni dosa anda.” Katanya saat mengakhiri kotbahnya.

“Ikuti saya berdoa.” Katanya lagi.

Mulutku mengikuti doa bapak pendeta itu, tapi hatikuentah kemana. Perasaan galau makin merajai hatiku, membuatku makin putus asa. Doapun tak lagi mampu menenangkan perasaanku, hatiku tetap gelisah. “Kenapa seorang hamba Tuhan malah justru ikut memojokkanku, bukankah seharusnya seorang pendeta itu sabar, penuh pegertian dan bukannya malah menghakimi seseorang yang tengah dilanda putus asa?” Tanyaku pada diri sendiri tanpa mampu menemukan jawabannya.

“Ah....aku hubungi Dian manager sekaligus sahabatku saja, mungkin sahabatku itu akan mampu mengiburku atau memberiku ide untuk membuat sebuah pernyataan pers.” Kataku dalam hati sambil memencet nomor Dian.

“Dian....” Panggilku ketika Dian menjawab telpku. Lalu dengan berurai airmata aku mulai curhat dengan dia.

“ Kamu terlalu penakut Ning, kamu kan bisa mengahadapi mereka dan sangkal pernyataan 3 orang itu.” Katanya dengan suara keras, tanpa mempedulikan perasaanku sama sekali.

“Tapi yang mereka tuduhkan itu semua benar Dian. Adiknya Hartono yang bernamaNando telah mengakhiri hidupnya dengan menegak racun serangga, gara-gara aku memutuskan hubungan. Aku bersalah pada Nando, Dian.

Cowok itu aku buat menjadi putus asa ketika aku meninggakannya begitu saja, kakaknya, ibunya yang waktu itu memintaku untuk menemui Nando yang sudah sekarat di Rumah Sakitpun tidak kugubris, padahal mereka meminta dengan memohon, mereka berharap dengan kehadiranku di rumah sakit akan mampu membuat Nando kembali bersemangat untuk hidup dan tersadar dari komanya. Tapi kamu tahu Dian? Akusama sekali tidak mempedulikan permintaan mereka dan merasa bahwa semua yang terjadi pada Nando bukanlah kesalahanku, aku begitu sombong, padahal mungkin saat itu keluarga Nando sedang sangat putus asa dan tak berpengharapan.” Kataku pada Dian sambil terus terisak.

Aku melanjutkan: “Apa yang dikatakan Roberto dan Patria juga benar, aku pernah berpacaran dengan mereka, padahal mereka sudah berkeluarga, aku sama sekali tidak memikirkan perasaan istri mereka, aku hanya menuruti kesenanganku sendiri.” Aku makin menangis. Kepalaku kutempelkan kelantai sambil terus memegang HP.

“Apakah Tuhan sedang menghukumkuDian? Apakah pertobatanku selama ini belum mampu membuatNYA mengampuniku?” Isakku makin keras. Dan rasa putus asa makin menderaku.

“Sudahlah Ning, kamu hadapi saja mereka. Katakan mereka telah membuat penyataan yang tidak benar. Kamu sedang naik daun saat ini, reputasimu juga bersih dan bagus, mungkin orang akan lebih percaya pada pernyataanmu daripada 3 orang yang mau numpang ngetop itu.Mereka hanya ingin memerasmu Ning” kata Dianpanjang lebar. Membuatku makin merasa bingung.

“Oh...Tuhan.....” Kataku tanpa mampu melanjutkan. Karena aku sudah tidak tahu kalimat apalagi yang harus aku ucapkan.

Mengikuti saran Dian, itu bukan sebuah tindakan yang benar, karena lambat laun kebohongan itu pasti akan terbongkar danjustru makin parahlah posisiku.

Mengakui semuanyapun juga bukan tidakan yang tepat karena karirku dipertaruhkan, Ningtyas yang terkenal lugu, baik, punya jiwa sosial tinggi itu ternyata hanyalah manusia tak berhati nurani. Pembunuh, perusak rumah tangga orang. Dan perlahan tapi pasti kontrak-kontrak kerja akan dibatalkan, lalu apa yang sudah aku bangun sejak SMP itu akan runtuh berantakan tinggal puing-puing kehancuran dan aku akan berdiri dengan lunglai meratapi semua yang telah berserakan dan  tentu tak akan bisa lagi aku rapikan.

Aku mengambil cermin kecil yang ada di dalam tasku. Kutatap wajahku di cermin itu. Mataku sudah bengkak, tapi aku masih belum mampu menghentikan tangisku.

Sampai tiba-tiba kudengar pintu rumahku diketuk seseorang.

“Deg.....!” Jatungku seolah berhenti berdetak itu pasti wartawan yang tak kenal lelah dan pantang menyerah untuk mengejarku dan menunggu pernyataan dari mulutku.

“Tapi bukankah pintupagar sudah aku gembok, apa mungkin ada wartawan yang nekat memanjat pagar?” Pikirku makin bergidik ngeri.

Ketukan di pintu makin keras terdengar, membuatku tak bisa terus berdiam diri. Sebelum berjalan keluar kamar aku sempatkan melirik jam mungil yang ada di meja riasku. Pukul 16.30, huh....ternyata sudah hampir seharian aku hanya dikamar saja, badanku terasa lemas, karena belum sesuap makananpun masuk ke mulutku.

Aku mengintipdari kaca kecil yang ada di pintu, sebelum aku membukanya. Ternyata mbak Par, pembantu sebelah rumahku. Aku membukakan pintu untuk mbak Par, sambil mataku celingukan kiri dan kanan. Rupanya suasana sepi, tidak ada seorang rekan wartawanpun yang berada diluar pagar rumahku. Mungkin mereka jenuh menungguku seharian, tapi aku tidak menampakkan batang hidungku sama sekali.

“Mbak Par?” Suaraku tercekat melihat mbak Par yang berlumuran darah.

“Apa yang terjadi mbak?” Tanyaku sambil memapahnya berdiri dan membimbingnya masuk kedalam rumah.

“Saya kepleset saat mengepel Neng.” Katanya, sambil terus memegangi kepalanya yang berdarah.

“Kita harus segera ke rumah sakit.” Kataku sambil menyambar celana panjang dan kunci mobil.

Kulit kepala mbak Par sobek, harus dijahit 8 jahitan. Tapi kata dokter tidak perlu rawat inap dan bisa dibawa pulang.

Rumahku dan rumah majikan mbak Par tidak terpisah tembok tinggi dan kami cukup akrab. Jadi mbak Par bisa dengan mudah menyeberang ke rumahku tanpa harus melewati pagar, oleh sebab itulah ketika dia jatuh tadi dia bisa langsung melompat ke rumahku.

“Kita kabari Bu Erli ya mbak?” Tawarku pada mbak Par yang malam itu sepulang kami dari rumah sakit.

“Iya Neng, beri kabar saja pada Ibu.”

Aku mengambil HP-ku menghidupkannya, membuat panggilan untuk Ibu Erli.

“Eh...Ning, ada apa?” Tanya bu Erli di ujung telepon.

“Sedang di mana bu?” Tanyaku setenang mungkin, tidak ingin membuat wanita tengah baya yang sekarang hidup sediri itu menjadi kuatir.

“Ibu sedang di Pakan Baru, ada turnamen Golf.”Jawab Bu Erli.

“Ehm....apakah telp saya mengganggu?” Tanyaku lagi.

“Tidak Ning, ada apa? Ibu sedang istirahat di kamar hotel,” Katanya.

“Begini bu, tadi sore waktu mbak Par sedang mengepel rumah, dia terpeleset, kepalanya membentur lantai dan mengalami luka sobek, sehingga harus dijahit sebanyak 8 jahitan. Tapi Ibu tidak usah kuatir, karena sekarang mbak Par saya bawa istirahat di rumah saya.” Kata saya dengan suara saya atur setenang mungkin, supaya Ibu Erli tidak panik. Tapi seberapa tenangpun saya bicara, Ibu Erli tetap merasa panik. Suara cemasnya terdengar jelas olehku.

“Terus bagaimana?” Tanyanya.

“Sabar Ibu, Ibu tetap di Pakan Baru saja sampai selesai acara Ibu, dan bila ibu ijinkan biar sementara mbak Par menginap di rumah saya dulu.” Kata saya berusaha menenangkannya.

“Oh...eh....e... ya...ya.” Kata bu Erli tanpa bisa menutupi rasa paniknya, dibarengi dengan menutup telepon.

Setelah menelepon bu Erli, baru terasa badanku lemas sekali. Aku mengambil sereal dan menyeduhnya dengan susu. Setelah itu aku terlelap. Sampai pagi itu...

Ketika aku menoton televisi, infotainment telah begitu banyak menceritakan kejadian yang menimpa mbak Par kemarin dan aku yang dengan sikap memberi pertolongan.

Berbagai komentar positif berdatangan bersamaan dengan beredarnya berita tersebut, sejenak berita tentang masa laluku tergantikan dengan kisah heroik aku menolong mbak Par. Ternyata kemarin waktu kulihat rumahku sepi, rekan-rekan wartawan tidak benar-benar pergi melainkan bersembunyi di tempat yang aman sambil terus memantau gerak-gerikku.

Akumenghela nafasku, ada kelegaan mengaliri dadaku. Bukannya aku bersyukur atas musibah yang menimpa mbak Par, namun aku percaya campur tangan TUHAN dalam hal ini sangat nyata. DIA menolongku dengan cara yang tak kupikirkan sama sekali.

DIA hadir menolongku lewat mbak PAR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun