(cerpen daur ulang)
Jangan membayangkan sosokku seperti pelacur pada umumnya, yaitu dengan pakaian sexi dan menggoda, aku berpenampilan sangat sopan dan tampak sangat religi, aku juga tidak akan bisa ditemukan di panti pijat atau di rumah bordil, carilah aku di rumah ibadah di sebuah gereja, karena aku aktifis di sana, dan aku juga ikut bergabung dengan anggota paduan suara dan selalu menyanyikan lagu-lagu demi kemuliaan Tuhan, tapi sebetulnya itu hanya caraku menutupi identitasku dimata komunitasku.
Tak seorangpun yang tahu bahwa aku seorang pelacur, kecuali aku dan Tuhan. Aku sangat rapat menyimpan profesiku ini. Dan aku juga tidak menjual diriku pada sembarang orang, aku sadar betul resiko ketularan penyakit kelamin dan lebih bahaya lagi penyakit aids. Aku hanya mau tidur dengan laki-laki baik-baik yang riwayat hidupnya bersih dan tergolong suami setia, tentu laki-laki itu harus laki-laki yang banyak uangnya dan tidak pelit, sehingga dia tidak akan segan-segan mengeluarkan isi dompetnya beberapa lembar untukku setelah puas menikmati pelayanannku.
Bagaimana aku menjerat korbanku? Begitu mungkin pertanyaan anda sekalian.
Aku akan mencari teman-teman lamaku di jejaring sosial yang sedang trend saat ini, seperti facebook, biasalah aku lalu berbagi kabar berita, kami bercerita tentang aktifitas kami dan aku dengan senang berbagi cerita tentang aktifitasku dan kisah hidupku yang aku ceritakan se-tragis mungkin, sehingga menimbulkan belas kasihan.
Aku akan bercerita bagaimana aku kehilangan suamiku dan bagaimana aku membesarkan Indira anak gadisku seorang diri. Lalu aku akan menceritakan bisnis yang sedang aku jalani, yaitu menjadi suplier kebutuhan kantor, dari teman-teman lamaku itu aku minta dicarikan peluang di perusahaan mereka atau teman-teman mereka, barangkali ada yang bisa memasukkan aku menjadi salah satu suplier di kantor mereka.
Dari perkenalan seperti ini, barulah aku bisa meneliti calon korbanku, bisa temanku yang mengenalkan aku atau bisa juga teman dari temanku yang akan bekerjasama denganku.
Biasanya obrolan ku awali dengan bertanya tentang kegiatannya, kesehariaannya, keluarganya, lalu akupun mulai bercerita tentang kehidupanku, perjuanganku membesarkan anak gadisku Indira, bagaimana bapaknya Indira meninggalkan kami, tentu saja aku bercerita dengan sedikit menitikkan air mata. Kalau laki-laki itu sepertinya mudah jatuh kasihan aku akan terus menangis sampai dia mengulurkan tangannya untuk memelukku dan selanjutnya aku akan membuatnya tak lagi mampu melepaskan aku. Obrolanpun kami lanjutkan ke kamar hotel, dan sebelum laki-laki itu merapikan bajunya, dia akan menyerahkan beberapa lembar rupiah berwarna merah, atau kalau aku sedang beruntung aku bisa mendapatkan beberapa lembar dolar.
"Untuk Indira." Begitu kata mereka, biasanya sambil menyerahkan upahku. Lalu aku akan menunduk malu menahan mau.
Begitulah kira-kira cara kerjaku.
Tapi bukan berarti aku selalu berhasil menjerat korbanku, pernah suatu ketika aku kembali berjumpa dengan teman masa remajaku di Face book, temanku ini berasal dari keluarga baik-baik dan berada, dan aku dengar dia juga sekarang menjadi seorang yang cukup berhasil dalam berkarir, dia mempunyai jabatan penting di sebuah BUMN dan punya keluarga yang bahagia, kehidupan rohaninyapun sangat bagus. Laki-laki seperti inilah yang sangat aku sukai untuk aku jadikan korban pemuas nafsu sekaligus sumber penghasilan.