Shelter Dukuh Atas, 15 Desember 2009, 17.00 WIB,
Di selasar panjang yang mengangkangi Jl Sudirman-Thamrin.
Derak pijak kaki berjalan tergesa dari dua arah, menafikan lalu lalang kendaraan di bawah shelter penyeberangan. Mimik-mimik muka menegang diburu waktu. Memburu saat pulang, memburu detak waktu yang terasa tak berkah lantaran diledek kemacetan kota Jakarta.
Sesekali lirikan mata pengguna Transjakarta menatap heran sosok perempuan muda berambut mayang yang tengah melamun sembari memandangi lalulintas di bawah jembatan. Namun tak lama berselang, dari arah timur, sosok lelaki paruh baya bertubuh gagah melangkah cepat dengan nafas terburu. Dikenakannya topi yang terkesan menyembunyikan wajahnya, ia pun mengenakan kacamata hitam. Ia menghampiri perempuan itu dan kemudian berdiri di sebelahnya.
"maafkan aku, Sayang. Aku terlambat. Jalanan macet parah. Apalagi di Rasuna Said, huhh .. rasa-rasanya butuh perjuangan ekstra," ucap Prama berseloroh. Senyumnya mengartikan permohonan maaf kepada perempuan di sampingnya, Marieta.
Namun perempuan berambut mayang itu mematung. Ia enggan menanggapi. Tatap matanya menerawang memandangi kepadatan arus lalulintas. Dan -Ia tetap tak bereaksi saat tangan Prama melingkari punggungnya.
"Marieta, kenapa kau cueki aku," Prama mengguncang pelan punggung Marieta. "Cantik, kau marah, Sayang ?" tanyanya kemudian.
Marieta lantas menghembuskan nafas panjang.
"aku menunggumu dua jam lebih, Pram. Aku hampir meninggalkan tempat ini," jawab Marieta kesal. Ia menilik sekilas raut Prama. Kecantikan perempuan itu tetap menonjol meski di saat marah.
"tapi kenapa ngambeknya parah seperti ini, Say ? kau cemburu ? aih-aih, aku tahu kau pasti cemburu," goda Prama.
"perasaan cemburu sudah kubunuh jauh-jauh hari," tukas Marieta kesal