Mohon tunggu...
Emil WE
Emil WE Mohon Tunggu... road and bridge engineer -

Seorang penikmat sastra, anggota forum diskusi sastra “Bengkel Imajinasi”, anggota Adventurers and Mountain Climbers (AMC 1969) Malang, kini tinggal di kampung kecil di Jawa Timur sehabis menekuni profesinya sebagai urban di Jakarta. Gemar menulis di alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Cermin Dua Jaman

28 Desember 2010   21:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sayup-sayup lagu Indonesia Raya berkumandang tak jelas dari sebuah radio transistor tua milik tukang parkir di depan gedung, bergemerasak. Merah-putih tertali layu di tiang pelataran, lesu. Sementara di dalam ruangan, sosok petugas berwajah ramah terus asyik membubuhkan stempel pos di pojok kanan-atas surat. Jetak ! Jetak ! tangannya terayun kuat sambil terus menyungging senyum.

Pada sebuah bangku kayu berbentuk memanjang, sosok lelaki keriput kering tersenyum kepada kawan di sampingnya. Wajahnya teduh, kelopak matanya menyipit, namun sorot matanya menyisakan gelora di usia tuanya. Kedua lelaki itu sedang menunggu antrean uang pensiun di sebuah kantor pos kecil yang nampak ringkih di pojok perempatan ibukota kecamatan.

"selamat, Cak. Enampuluh empat tahun sudah," kata lelaki keriput kering dengan tatapan hormat.
"hehehe .. tak terasa memang ... Alhamdulillah, Di. Sudah enampuluh empat tahun Tuhan memberikan bonus atas umur kita," lelaki berpostur tinggi berbadan tipis menimpali lelaki keriput kering. Ia tersenyum lebar. Dari kembangan senyumnya, terlihat jikalau deretan giginya tak kuat lagi melawan waktu. Hanya tinggal satu yang tersisa, menyelip di gusi depan sebelah kiri bawah. Sendirian.

"rasa-rasanya minggu pertama di bulan nopember selalu saja menggugah, Cak. Menyeretku memasuki jam-jam menegangkan," tatap mata Veteran Kasdi menyapu lembut Veteran Wagino. Ia kemudian mengusap keriput di wajahnya menggunakan telapak tangan.

"apa yang masih kau ingat, Di ?"
"semuanya, Cak" jawab Veteran Kasdi lembut
"semuanya ?!!"
"ya. Semuanya. Gaya bertempur tentara Gurkha dan Sekutu, Kecongkakan Mansergh, saat kita dipaksa bertahan di sektor selatan .. ah," lelaki keriput kering itu menggeleng pelan
"rasa-rasanya masih teringat saat kau selamatkan aku dari bidikan tentara Inggris di depan stasiun Gubeng. Kalau tidak .. mungkin .. ," bibir Veteran Kasdi bergetar. Wajahnya bermendung.

Kalimat Veteran Kasdi yang terhenti memaksa Veteran Wagino membuka ingatannya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

"kadang-kadang di bulan nopember, aku teringat kejadian di Hotel Yamato, Cak. Rasa-rasanya darahku berdesiran kalau teringat kejadian itu. Allahu Akbar .." Veteran Kasdi lagi-lagi mengusap wajah menggunakan telapak tangannya. Ia terharu.

"sekarang ini aku yakin kau pasti teringat Kadir dan Kohar .." celetuk Veteran Wagino setelahnya. Kata-katanya memantik kenangan Veteran Kasdi kepada kedua kakaknya.
"iya, Cak. Pasti," tatap mata Veteran Kasdi menunggu

"kedua kakakmu itu nadi lehernya sudah putus sejak lama .. tak punya rasa takut .. bahkan jauh-jauh hari sebelum pecah perang Surabaya .. saat batalyon kami memberontak di Blitar, puluhan Kempetai pecah kepalanya di bidik kedua kakakmu itu. Edan. Walau akhirnya kami terdesak dan menyingkir ke timur, kejadian itu bisa dipastikan menampar muka tentara Jepang,"

"setiba di desa Pasrujambe, di lereng Semeru sebelah selatan, sisa batalyon yang menyingkir bersama kami hanya tersisa 4 orang. Kami kemudian terus bergerak melingkari gunung Semeru menuju Gunung Lamongan, dari sana kami bergerak menuju Situbondo, disana kami bergabung dengan Kiai Sa'at. Kiai itu kemudian menyediakan tempat persembunyian yang sangat aman, sebuah terowongan bawah tanah di bawah masjid,"
"Allahu Akbar," Veteran Kasdi menggeleng pelan. Ia terharu.

"akhirnya setelah resolusi jihad keluar .. kami bersama rombongan kiai Sa'at bergerak menuju Surabaya, kami memilih bertempur di sektor utara dekat Jembatan Merah. Rupa-rupanya saat itulah Tuhan menghendaki Kohar syahid. Ia terkepung dan bertempur sampai ajalnya tiba. Kalau teringat kejadian itu aku masih bersedih ..tapi sekaligus bangga telah mengenak Kakakmu .. namun yang lebih mengharukan, kejadian itu malah memantik keberanian kami. Kiai Sa'at memerintahkan kami merangsek maju. Tentara Gurkha kami pukul mundur , sekutu pun kelimpungan terkencing-kencing .. akhirnya aku menyaksikan kejadian paling mengharukan .. Kadir setetes pun tak menitikkan airmata menyaksikan Kohar limbung bersimbah darah di depannya .. Kakakmu itu malah tersenyum .. ya .. ia malah tersenyum sambil memeluk tubuh Kohar. Dia malah bilang kepada kami agar ikhlas dan jangan bersedih, syahid telah menjadi jalan hidup Kohar,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun