Langkah ringkih seorang imam tua terdengar lirih di sepanjang rabat menuju kuburan Seminari Tinggi Interdiosesan St. Petrus Ritapiret. Dialah Rm. Frederikus da Lopez atau akrab disapa Rm. Pede. Rutinitas berdoa di makam Ritapiret merupakan sesuatu yang wajib ia laksanakan sesudah makan pagi. Sesampai di kubur, ia menundukkan kepala untuk berdoa. Mulutnya terlihat komat-kamit pertanda memanjatkan sejuta permohonan kepada Sang Khalik. Usai berdoa, ia kembali menundukkan kepala sebagai ungkapan perpisahan kepada para saudara yang diistirahatkan di pemakaman Ritapiret. "Itu adalah  rutinitas harian yang tidak boleh terlewatkan", ujar imam yang tahun ini merayakan 60 tahun imamat.
Doa Arwah: Tanda Keakraban Yang Tak Terputus
Sebagaimana kebanyakan orang Katolik, putra pasangan Thomas Germanus da Lopez dan Maria Edha Parera itu, merasa wajib mendoakan arwah-arwah orang beriman. Sebab arwah orang yang telah meninggal akan selamat bila didoakan oleh orang-orang yang masih hidup. Maka, selain mendoakan orang-orang yang dimakamkan di Ritapiret, ia juga mendoakan segenap keluarga maupun kenalannya. Tidak heran, di kamarnya terpampang foto-foto keluarga maupun kenalannya yang telah meninggal. "Di sini ada foto bapak-mama saya, keponakan, mama dari Rm. Patrik Guru, dan beberapa kenalan saya lainnya," jelas Rm. Pede saat ditemui di kamarnya pada hari Jumat, 06 Oktober 2023.
Bagi imam kelahiran Sikka 87 tahun silam itu, mendoakan orang meninggal adalah cara untuk menjalin keakraban yang sudah dimulai ketika masih hidup bersama di dunia. Maka, kematian bukan menjadi pisau yang memutuskan relasi keakraban yang dibangun dengan mesra semasa hidup bersama. "Sekalipun orang-orang yang kita kenal sudah meninggal, itu tidak berarti keakraban kita putus. Keakraban kita harus tetap bersambung. Mereka di dunia sebelah dan kita di dunia ini," tuturnya.
Romo Pede menerangkan bahwa beberapa imam yang dimakamkam di Ritapiret memiliki keakraban yang hangat dengannya. Mereka itu antara lain fundator Seminari Tinggi Interdiosesan Sto. Petrus Ritapiret, P. Yoseph Boumans, SVD, P. Leo M. Van Vliet, SVD dan Bruder Domitius M. Ratz, SVD. Kebersamaan dengan ketiga tokoh itu amat membekas dalam ingatan dan nubari Rm. Pede. P. Yoseph Boumans, SVD, kenang Rm. Pede, mempersiapkan segala sesuatu di Ritapiret untuk para frater projo. Pasalnya, para frater projo kala itu belum memiliki bangunan sendiri. Mereka masih bergabung dengan para frater SVD di Seminari Tinggi Sto Paulus Ledalero. Sang fundator ingin agar para frater projo dapat hijrah ke rumah formasi yang baru dengan nyaman. Kala itu, yang turut hijrah bersama Romo Pede ke Ritapiret ialah Mgr. Isaak Wilhelmus Doera dan Romo Egi Soru.
P. Leo M. Van Vliet, jelas Romo Pede, menjadi bapak pengakuannya ketika menjalankan pembinaan di Seminari Tinggi Sto Paulus Ledalero tahun 1956-1957. Selain itu, P. Leo M. Van Vliet, SVD juga seorang imam yang sangat rapi dan tertib dalam berbusana liturgis. Sedangkan Bruder Domitius M. Ratz, SVD, sang arsitek pembangunan Ritapiret, sangat berjasa bagi Romo Pede.Â
Sedikitnya ada dua hal yang sangat berkesan dari Bruder Domitius M. Ratz, SVD. Pertama, Bruder Domitius, SVD memberi motor NSU miliknya untuk Rm. Pede selama berkarya sebagai imam muda. Kedua, Bruder Domitius memberi Romo Pede sebuah botol kosong berlabel Tinto dengan daya tampung 5 liter. Botol itu Romo Pede berikan kepada keluarganya untuk menyimpam moke. Kebaikan tiga tokoh itu menjadi bukti kasih dan perhatian yang nyata bagi Romo Pede. Makanya, bagi Romo Pede, relasi dengan mereka mesti tetap berlanjut. "Kalau dalam kehidupan bersama ada perhatian antara kita, maka sesudah kematian mereka, perhatian itu harus tetap disambung melalui doa," tegasnya sambil tersenyum tipis.
Pawang Orang Hidup
Dalam suatu kesempatan, Mgr. Hubertus Leteng yang ketika itu menjadi praeses Ritapiret berujar demikian: "Romo Pede umur panjang karena berdoa untuk orang-orang yang sudah meninggal." Komentar itu hanya dibalas dengan seutas senyum oleh Romo Pede.Â
Terlepas dari itu, Romo Pede meyakini mereka yang telah meninggal juga menjadi pendoa bagi orang-orang yang hidup. Maka, Romo Pede menggelari orang-orang yang telah meninggal dengan sebutan "pawang". Ada pawang negara yang berdoa khusus untuk kesejahteraan negara antar lain Rm. Mangunwijaya dan Rm. Sanjoyo. Tak hanya itu, ada pula pawang untuk lembaga Christo Rei yaitu P. Klemens Parera, SVD dan P. Hunermunt, SVD. Selanjutnya, pawang bagi para frater Keuskupan Ruteng yakni P. Ambros Pedo, Rm. Linus Jambar dan Mgr. Hubertus Leteng. "Pawang itu bertugas mendoakan kita yang hidup. Bisa jadi dengan mendoakan mereka, kita dapat berkat umur panjang," tandas imam yang ditahbiskan Mgr. Gabriel Manek pada 15 Agustus 1963.
Wajib Berdoa