Mohon tunggu...
Emilia Nurul
Emilia Nurul Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

saya seorang mahasiswa, beberapa hal saya tertarik dengan menulis. hal yang saya senangi menulis cerpen, puisi, dan artikel ilmiah humaniora

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Feminisme dan Pembaruan Sosial dalam Islam: Menelusuri Makna dalam Buku Neng Dara Affiah

28 November 2024   10:04 Diperbarui: 28 November 2024   10:04 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Buku Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia karya Neng Dara Affiah yang di terbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023 menawarkan sebuah analisis yang mendalam terhadap berbagai aspek sosial dalam konteks masyarakat Muslim Indonesia. Dengan mengangkat tema tentang kemanusiaan dan perubahan sosial, buku ini mengeksplorasi topik-topik besar seperti cinta menurut perspektif Erich Fromm, sejarah Islam, perjuangan feminisme, dan peran perempuan dalam masyarakat Indonesia. Buku ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana pemikiran kemanusiaan dapat diterapkan dalam pembaruan sosial di Indonesia.

Penulis dalam membuka buku ini dengan membahas cinta orang tua terhadap anak, yang menurut Fromm memiliki dua karakteristik utama. Cinta ibu bersifat tanpa syarat, memberikan rasa aman, kehangatan, dan penerimaan penuh kepada anak, seperti rumah tempat seseorang ingin selalu Kembali sementara cinta ayah bersyarat. Sebagaimana yang tertulis dalam buku ini pada bagian satu “ aku mencintai kamu karena kamu memenuhi harapanku” (hal.14).

Penulis menggambarkan bagaimana konsep cinta kepada Tuhan telah mengalami transformasi seiring waktu, yang dimulai dengan penghormatan terhadap alam dan figur keibuan, lalu berkembang menjadi pemujaan terhadap figur ayah yang lebih otoritatif. Namun demikian, kerinduan manusia terhadap cinta keibuan tetap ada, yang tercermin dalam tradisi mistisisme serta dalam figur religius seperti Bunda Maria dalam agama Kristen.

Buku ini menawarkan bagaimana teori cinta yang diuraikan oleh Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving dapat dihubungkan dengan konteks budaya, spiritualitas, dan sejarah. Menurut Fromm, cinta bukan hanya sekadar perasaan, melainkan seni yang memerlukan pemahaman, dedikasi, dan pengembangan diri.

Setelah mengulas konsep cinta dalam perspektif psikologi, buku ini melanjutkan dengan membahas sejarah Islam yang menjadi konteks penting dalam memahami nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas. analisis mendalam tentang pluralitas Islam dari sudut pandang sejarah, teologi, dan politik. Penulis berusaha menggambarkan Islam sebagai sebuah peradaban yang dinamis, penulis menggambarkan kesatuan umat Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, di mana segala persoalan kehidupan dapat dirujuk langsung kepada beliau sebagai pemimpin spiritual dan sosial. Namun, setelah wafatnya Nabi, umat Islam mulai terpecah, terutama dalam menentukan siapa yang berhak menggantikannya sebagai pemimpin.

Pada masa Dinasti Umayyah, kekerasan fisik tercatat dalam peristiwa tragis di Karbala, di mana Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, dibunuh dengan kejam oleh pasukan Yazid bin Muawiyah. Pemenggalan kepala Husain yang dibawa ke istana dan dipermainkan menggambarkan kedalaman perpecahan antara kelompok Sunni dan Syiah, yang semakin mengukuhkan garis pemisah antara kedua kelompok tersebut dalam Islam. Peristiwa ini menjadi simbol konflik politik dan teologis yang terus membekas dalam sejarah Islam.

Dari kisah ini penulis menelusuri akar kekerasan ini, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan dampaknya yang masih terasa hingga kini. Kekerasan yang dipicu oleh perbedaan politik dan pemahaman agama, yang sudah ada sejak masa awal Islam, tampaknya masih terus mewarnai peristiwa-peristiwa kekerasan di dunia Islam, baik dalam bentuk terorisme, radikalisasi, maupun perselisihan sektarian. Di sisi lain, penulis juga menegaskan dalam bukunya bahwa Islam mengajarkan perdamaian dan keselamatan.

Namun, penulis juga menegaskan dalam bukunya bahwa Islam yang mengajarkan perdamaian dan keselamatan. Kesenjangan antara nilai ideal Islam dengan perilaku kekerasan yang terjadi di lapangan dan dalam sejarah umat Islam menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara ajaran dan praktik.

Menghubungkan pembahasan ini dengan pembahasan di atas terkait dengan kekerasan, peran gender, dan identitas dalam masyarakat, kita dapat melihat betapa perjuangan Kartini mencerminkan refleksi yang begitu mendalam dari dinamika sosial yang berakar pada ketidakadilan dan diskriminasi, baik dalam konteks budaya, agama, maupun politik.

Selama kehidupan Kartini, praktik-praktik budaya yang merugikan perempuan, seperti poligami, pemingitan, dan pembatasan pendidikan, sangat mengakar dalam masyarakat. Seperti yang kita lihat dalam perjuangan umat Islam yang terjebak dalam pola kekerasan intelektual maupun fisik, ketidakadilan yang dialami perempuan pada waktu itu menjadi bagian dari struktur sosial yang terlegitimasi oleh kekuasaan dan tradisi.

Kritik Kartini terhadap sistem patriarki yang mengakar ini, meskipun ia sendiri hidup dalam struktur tersebut, tetap relevan dan tak mengurangi pentingnya perjuangannya, tidak mengurangi relevansi perjuangannya. Kartini menyuarakan pentingnya pendidikan sebagai jalan untuk memberdayakan perempuan, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk memperbaiki nasib keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Sebagaimana yang ia tuliskan dalam surat-suratnya, ia percaya bahwa perubahan akan datang, meskipun harus melewati perjuangan yang panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun