11 Februari 1936
hari ini jadwal pengangkutan pala dan pelabuhan akan sangat ramai, aku beruntung bisa ikut paman saleh ke sana sebab di pelabuhan berita dari luar pulau tersebar lebih beragam. Saat karung-karung pala itu hampir selesai dipindahkan satu kapal Fommel Haut pun datang.
Orang-orang yang keluar dari sana cukup berbeda, contohnya lelaki berbaju rapi dan berkacamata itu. Tampak sekali rombongannya bukan dari darah Maluku. Pun saat kuperhatikan, beberapa serdadu juga mengawasi mereka dari kejauhan. "kembali, Banda Neira menampung pahlawan baru" gumamku dalam hati.
kini, berbulan-bulan telah berlalu tak sekalipun aku bertemu dengan sosok berkacamata itu, maklum aku hanya pekerja kebun pala. tetapi aku punya paman saleh!! ia sering mengantar barang dari desa ke desa. jadi sudah tentu ia lebih mumpuni untuk mencari berita terbaru. Katanya sosok berkacamata itu bernama Hatta dan tinggal di Desa Dwiwarna. menurut kabar lagi dia adalah sosok yang ramah dan tak segan berkumpul dengan pribumi. ya... walaupun para serdadu seringkali memperingati, katanya orang itu tahanan dan berbahaya sekali.
"dop, orang itu suka mengajar anak-anak membaca. bukunya banyak juga, cobalah kau ke sana" ucap paman yang kujawab dengan senyum masam.
dan ya!! pada akhirnya aku mengikuti sekolah sore yang digurui oleh pendatang itu, sosok tersebut memiliki karib dekat yang sama-sama golongan terdidik. mereka adalah pak Hatta dan pak Sjahril. Mereka sama-sama mengajari anak banda membaca dan menulis di kediamannya.
Bersama yang lain, aku sempat diajak mengecat perahu oleh pak Hatta, kami cat kapal itu dengan warna merah dan putih. Tak lupa setelahnya ia menjelaskan pula makna dan filosofinya. Namun satu waktu seorang serdadu belanda pernah menegur, sebab kami tidak membubuhkan warna biru di perahu yang kami cat itu. Tetapi. pak Hatta dengan karismanya menjawab "tuan sendiri tahu bukan? laut sudah berwarna biru". jawaban yang cerdik cemerlang!!.
Selain bersama pak Hatta, kami pun sering ikut berlayar dengan pak Sjahril ke pulau pisang. Ia mengajari kami sebuah lagu yang begitu dalam. Semakin lama belajar dari mereka entah bagaimana dari kedua sosok ini sudut pandangku semakin terbuka. Pembelaanku bukan lagi sebatas pada Banda Neira, tapi pada 'pribumi' Indonesia.
Pak Hatta ini aktif sekali bersosialisasi, kami sangat sering berdiskusi. Pak Hatta ini bagaikan jari-jemari Kasih Tuhan, ia menguntai kesadaran kami yang lama terburai. Kesadaran kami, rakyat yang terjajah kolonial. Penduduk pulau pala, pulau kaya yang direbutkan para pengerat dunia. Pulau pala, pulau megah yang menjadi saksi kebiadan manusia. Pulau pala, pulau pala, BANDA NEIRA!!.
Dan akhirnya aku bisa lebih tenang melihat penduduk banda mulai membuka mata, bahwa tanahnya yang indah nan kaya tak patut untuk dihinakan, dibudakkan, disengsarakan. walau memang kami hidup dengan cukup damai tapi dikendalikan penjajah tetap bukan hal yang layak
"Namaku Idop, aku salah satu darah dari buyut yang badannya dibuat terpisah-pisah oleh samurai para algojo di benteng Nassau dahulu. 1921, darah buyutku terserap tanah, tapi dendamnya mengalir dalam jasadku. sebagai anggota kelompok perlawanan kolonian aku harus berpura-pura menjadi pekerja pala, aku ini mata-mata. Dan melihat Pak Hatta perjuangan ini agak ringan terasa. darinya aku percaya, bahwa sebuah generasi besar akan tercipta di tanah banda. keyakinanku semakin tinggi bahwa tanah nan indah ini akan merdeka dan bebas lagi"