229
SEBELUM KUMENUA DAN LUPA
Mama, ingin kuabadikan semua kasih sayangmu dalam sebuah tulisan. Aku khawatir suatu hari ingatan ini surut ditelan masa. Aku takut Mama juga melupakan kenangan yang pernah kita lewati bersama.
BALITA
*Makan*
Mama, dengan sabar Mama menyuapiku makan. Mama rela menahan rasa lapar karena menyuapiku dulu hingga kenyang. Belum lagi aku suka mengulur waktu, malas membuka mulut. Betapa aku mengesalkan tiap menolak makan karena tak suka dengan sayuran yang mama masak. Aku terlalu pilih-pilih. Padahal, Mama berusaha agar aku mendapat gizi yang baik.
Selesai menyuapiku, giliran Mama makan. Aku malah mengganggumu. Mencari-cari perhatian, menangis. Bahkan Mama juga harus rela aktivitas makannya terganggu demi membersihkan ompolku. Tapi Mama tetap sabar.
*Mandi*
Mama yang memandikan saat aku belum bisa melakukannya sendiri. Mengajariku cara menyikat gigi. Aku takut saat harus keramas. Membayangkan air masuk ke mata, hidung, pedih. Mama yang membuatnya menyenangkan. Menyirami kepalaku dengan perlahan, tanpa harus merasakan pedih.
Tapi kadang aku nakal. Aku bermain sabun dalam bak mandi penuh air. Mencuci tangan yang kotor di bak mandi. Airnya jadi keruh. Jelas ini membuat Mama jengkel.
*Bermain*
Mama selalu menemaniku bermain seharian. Bermain bola bekel, congklak, petak umpet hingga kejar-kejaran. Kejadian yang tak pernah kulupakan, saat berumur empat tahun. Aku pernah membuatmu panik ketika kepalaku terjepit pagar besi. Itu salahku, Ma. Pakaian Superman itu membuatku jadi sok jagoan. Andai Mama tak datang di sana saat tangisku meledak, entah apa yang terjadi dengan pelipis dan mataku.
*Tidur*
Mama menemaniku tidur hingga terlelap. Mengajariku doa sebelum tidur. Memelukku ketika tiba-tiba suara tongkat tukang pijat keliling yang berdering membuatku takut. Ya, dulu aku sangat takut tukang pijat tunanetra yang setiap hari lewat di depan rumah. Tapi Mama tak pernah bosan menenangkanku.
*Impianku*
Mama, masih ingatkah? Aku bermimpi ingin punya mobil kuning besar. Aku merengek minta dibelikan. Bayanganku saat itu, pasti hebat punya mobil dengan ban besi yang besar. Warna kuningnya cerah. Semua mata memandang jika mobil ini lewat, jalanan jadi halus. Tapi sudah dewasa, mimpiku berhenti, tak bermimpi mempunyai mobil Stum. Malah aku tertawa jika mengenang impianku ini.
Terimakasih, Ma.. Telah membuat masa kecilku penuh warna. Tak sedikitpun merasa dirimu tak sayang padaku. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur kembali, Mama ada di sampingku. Mama rela kehilangan waktu untuk diri Mama sendiri. Rela tiap hari selalu disibukkan oleh semua kebutuhanku.
MASA SEKOLAH
*Aku yang Menjengkelkan*
Ma, aku sadar, aku ini anak Mama yang keras kepala. Aku sering melukai hati Mama tiap kali bersikeras dengan apa yang ingin kulakukan. Seperti saat mengamuk ingin gaun merah yang terpajang di sebuah toko. Aku ingat benar, harga baju itu dua puluh ribu rupiah. Tergolong mahal saat aku masih kelas satu SD. Tapi aku tak mau tahu, nangis meraung-raung, sandal kulempar ke dalam got. Mama rela mengambil sandal yang tenggelam dalam kubangan air kotor. Aku begitu merepotkanmu.
Ma, tahukah Mama? Aku suka ngedumel kalau Mama membangunkanku pagi-pagi. Mama itu makhluk cerewet. Mulut mama tidak akan berhenti berkicau jika aku tak segera mengerjakan perintahmu. Mama sering menyuruhku ini itu. Padahal perintahmu tak berat, hanya sekedar minta tolong membelikan beras ke warung, mencuci piring atau mengambilkan sesuatu. Sangat tak sebanding dengan pengorbananmu selama ini.
Mama, maaf, aku selalu merasa menjadi orang yang paling benar. Tak mau mendengar nasihatmu. Tak mau mendengar pendapatmu. Melakukan apapun semauku. Hingga membuatmu marah besar ketika aku pulang larut malam usai menonton konser band. Saat itu usiaku 17 tahun. Maafkan aku, Ma..
Mama, maaf, selalu marah jika Mama ikut campur urusanku. Lebih memilih jalan bersama teman-teman daripada habiskan waktu bersama Mama. Aku menganggap mama kuno, tak akan mengerti dengan kehidupan anak muda. Tak akan bisa mengikuti kehidupan remajaku yang pasti berbeda dengan zaman Mama dulu.
*Mamaku hebat*
Mama, bagiku segalanya. Bisa jadi apa saja. Menjelang lebaran, Mama membuatkan baju untukku. Hasilnya tak kalah dengan baju yang ada di toko hingga aku tak lagi merengek menginginkan gaun merah di toko. Bagiku baju buatanmu lebih bagus.
Mama, bagiku segalanya. Bisa jadi apa saja. Ketika aku ingin menampilkan sebuah tarian untuk acara kenaikan kelas di SD, Mama yang mengajarkanku menari. Membuatku Melenggak-lenggok bagai putri di atas panggung dengan percaya diri. Mama penari hebat.
Mama, bagiku segalanya. Bisa jadi apa saja. Jika rambutku mulai panjang, Mama yang mencukurnya pendek sesuai dengan keinginanku. Tiap pagi aku minta rambut ditata begitu begini, dan Mama selalu mampu menciptakan penampilan sesuai mauku. Hingga saat ini, rambutku belum pernah mencicipi gunting salon. Mama salonku.
Mama, bagiku segalanya. Bisa jadi apa saja. Saat aku merengek ingin mengikuti karnaval pakaian daerah, Mama yang meriasku. Dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tak sia-sia, walau tumitku akhirnya lecet karena sepatu selop yang kekecilan, tapi aku mendapat juara satu. Pasti karena juri terpukau dengan riasan pakaian Sunda yang kupakai. Ini semua karena Mama.. Hingga saat menikah, aku tak rela wajahku disentuh penata rias. Mama penata riasku.
Mama, bagiku segalanya. Bisa jadi apa saja. Teman-temanku pakai sepeda ke sekolah. Aku tak mau kalah, meminta Mama membelikannya. Mama bilang, Mama belum punya uang. Tapi usahamu luarbiasa untuk membahagiakanku. Sepeda lama di gudang disulap jadi sepeda baru. Batang besinya yang mulai berkarat, dibersihkan lalu dicat ulang. Bannya yang bocor Mama tambal dengan tangan Mama sendiri. Sungguh wanita luarbiasa.
Aku bangga punya Mama sepertimu. J
BERANJAK DEWASA
*Penyakitku*
Mama, aku masih ingat saat aku mengeluh sakit di tempat kost. Tak bisa bangun dari tempat tidur karena sakit di perutku. Maag akut membuatku meringis sepanjang sore. Aku menangis meneleponmu. Tak pernah menyangka, Mama akan rela menempuh jarak puluhan kilometer malam-malam sendirian. Naik turun bus kota. Tak peduli bahaya kejahatan yang bisa saja terjadi di malam hari. Mengingat Mama jarang sekali ke Jakarta.
Airmata menyembul saat Mama hadir di balik pintu kamar kost-ku. Ingin rasanya memelukmu tapi sayang tak sempat kulakukan saat itu. Pikiranku terpusat pada perut yang tak kunjung sembuh. Mama menyuapi makan saat aku bukan anak kecil lagi. Membantuku berjalan karena sakit yang menyiksa perut. Mama mengeloni tidur seperti aku kembali menjadi bayi.
*Kecerobohanku*
Mama, maaf, aku berkali-kali menghilangkan anting pemberianmu. Sudah kuhitung, jumlahnya tiga. Aku tak sengaja, Ma. Mama tak pernah marah. Hanya memberi nasehat berulang yang sudah kuhapal. Dan Mama membelikan yang baru.
Mama, aku ini benar-benar ceroboh. Saat kuliah, pernah tugas yang harus kukumpulkan tertinggal di rumah. Aku meminta mama mengantarkannya ke Jakarta. Lagi-lagi, Mama rela menempuh puluhan kilometer hanya untuk menyerahkannya padaku. Mama selalu ada untuk menolongku.
BEKERJA
Mama, maaf, aku memilih bekerja di luar kota. Meninggalkanmu untuk kedua kalinya setelah empat tahun kuliah di Ibu Kota. Bukan tak mau dekat denganmu. Tapi aku frustasi, berbulan-bulan menganggur padahal ijazah sudah di tangan. Cita-citaku mengabdi pada kota kelahiran kandas di tengah jalan. Beberapa sekolah menolakku bekerja sebagai guru di sana.
Maaf, lagi-lagi aku harus membuatmu mengeluarkan uang demi obsesiku. Menunjukkan pada semua orang bahwa aku bisa mendapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari mereka yang menolak lamaran. Kuminta uang satu juta rupiah untuk kursus percakapan bahasa Inggris.
Berbekal ijazah S1 dan sertifikat kursus, akhirnya aku mendapat pekerjaan menjadi guru untuk kelas bilingual di luar kota. Tapi aku harus berkorban, jauh denganmu.
MENIKAH
Mama, maaf... belum banyak baktiku padamu. Belum satu tahun bekerja, aku sudah dilamar teman kerja. Entah bagaimana rasanya mencurahkan isi hatiku. Di satu sisi aku sangat senang, targetku menikah di usia dua puluh tiga tercapai. Tapi aku juga sangat sedih. Suami membawaku hidup bersamanya saat baktiku baru seujung kuku. Apa yang sudah aku berikan padamu?
Mama, maaf, selama ini aku hanya memikirkan perasaanku sendiri. Tak pernah mengerti bahwa Mama juga ingin bersamaku. Tapi Mama menahan semua rasa untuk kebahagiaanku. Aku selalu tak ada. Aku hanya sibuk mengejar impianku.
HAMIL DAN MELAHIRKAN
Mama, ini juga mungkin yang Mama rasakan. Mual, pusing, tak enak makan ketika aku hadir dalam tubuhmu. Air mata menetes di pipi. Nasehatmu, aku harus menikmati setiap fase kehamilan ini. Jangan merasa berat, kasihan janin di perut. Luar biasa! Nasehat ini yang kupegang selama kehamilan. Mama saja tak keberatan saat mengandungku. Bagaimana aku bisa keberatan dengan janin dalam kandunganku.
Mama, mungkin ini juga yang Mama rasakan. Membawa perut besar kemanapun. Merindukan tidur tengkurap. Kaki bengkak karena lelah menopang berat tubuhmu yang kian melonjak. Nafas sesak karena aku menghabiskan ruang di perutmu, mendorong ke dada. Bukan hanya berbagi ruang, Mama juga rela membagi makanan untukku. Ruang gerakmu jadi terbatas. Belum lagi Mama harus direpotkan pantangan orang hamil yang kurasa hanya mitos.
Janin di perutku ingin segera hadir di dunia sebenarnya. Lagi-lagi yang kuingat Mama. Ini juga mungkin yang Mama rasakan dulu, ketika aku menjelang lahir ke bumi. Sakit sekali, Ma. Rasanya sepuluh kali lebih sakit dari PMS (Pre Menstruastion Syndrom) yang kualami setiap bulan.
Walau Mama tak ada saat kuperjuangkan hidup dan mati, tapi namamu selalu di hatiku. Nasehatmu mengiringi proses persalinan. Tenagaku sudah terkuras oleh rasa sakit. Seolah tak peduli pada nyawaku, dengan sisa energi kulahirkan janin ke bumi. Lelah dan bahagia bercampur jadi satu. Mungkin ini pula yang Mama rasakan dulu. Terimakasih Mama, telah melahirkanku ke dunia.
Pengorbanan seorang ibu ternyata belum selesai. Bayiku menangis minta disusui. Padahal aku sangat letih usai melahirkan. Tak kenal waktu, pagi siang sore hingga tengah malam ketika kuterjaga dalam mimpi, ia terbangun. Dengan penuh sabar, aku harus rela bangun untuk menyusui. Ini pula yang kau rasakan dulu.
Sungguh, menjadi ibu itu butuh kesabaran, keikhlasan. Dan dari tanganmu yang penuh kasih sayang, aku tumbuh,menjadi anak yang kini menuliskan secuil pengorbananmu.
Terimakasih Mamaku sayang... I LOVE U..
Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community
Jangan lupa juga untuk bergabung di group FB Fiksiana Community: http://www.facebook.com/groups/175201439229892/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H