Mohon tunggu...
Emil Fahmi Yakhya
Emil Fahmi Yakhya Mohon Tunggu... -

Extraverted, Intuitive, Thinker, Perceiver (ENTP).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Makalah Ilmiah Sebagai Syarat Lulus, Akankah Menjadi Inovasi Karya?

7 Februari 2012   12:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam seminggu terakhir, isu mengenai wajibnya seluruh mahasiswa di Indonesia membuat makalah yang masuk ke jurnal ilmiah menjadi perbincangan hangat di dunia maya. Isu ini  sendiri dilontarkan oleh Dirjen Dikti Kemdikbud, Pak Djoko Santoso.

Sejauh yang saya analisis, latar belakang dibuatnya kebijakan seperti ini sejatinya karena kurangnya karya ilmiah yang selama ini dihasilkan oleh mahasiswa Indonesia dan keinginan dari Pejabat Pendidikan untuk “tancap gas” mengejar negara yang lebih maju. Saya pribadi cukup setuju dengan langkah terobosan tersebut. Hal ini bisa meningkatkan karya ilmiah yang dihasilkan oleh mahasiswa Indonesia secara drastis.

Opini Pribadi Saya

Namun, ada beberapa hal yang mengganjal di pikiran saya. Saya pernah membuat makalah ilmiah pada beberapa mata kuliah. Tahap pembuatan makalah ini, menurut saya tidaklah begitu sulit. Bahkan saya merasa ujian semester jauh lebih sulit dibanding membuat makalah ilmiah. Saya merasa aneh bila banyak mahasiswa Indonesia yang merasa keberatan dengan pembuatan makalah ilmiah. Belom pernah mencoba membuat makalah ilmiah kok pada protes seakan-akan paling pintar ya? Justru hal yang mengganjal dan harus dikritisi dalam kebijakan ini menurut saya adalah tahap setelah kita menghasilkan sebuah makalah ilmiah.

Hal pertama yang ingin saya coba kritisi adalah daya tampung Jurnal Ilmiah di Indonesia. Sejauh ini bisa dikatakan negara kita cukup tertinggal dalam produktifitas menghasilkan karya. Dengan melihat kondisi ini, dapat terlihat bahwa daya tampung jurnal ilmiah yang terbit setiap tahun masih jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah mahasiswa baru setiap tahunnnya.

Poin pertama ini membuat saya bertanya-tanya, bagaimana nasib makalah mahasiswa yang tidak lolos ke jurnal ilmiah? Dan kemudian muncul juga pertanyaan selama ini jurnal ilmiah juga dialokasikan untuk S2, S3 bahkan akademisi lainnya. Bagaimana dengan nasib jurnal ilmiah mereka yang nantinya secara otomatis akan “termakan” oleh membludaknya makalah mahasiswa S1 yang masuk?

Kemudian hal kedua adalah kualitas makalah yang akan didaftarkan ke jurnal ilmiah. Saya melihat keinginan untuk berkarya yang dipaksakan tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan. Terkadang karya yang dihasilkan karena paksaan hanya memiliki kualitas standar (atau bahkan di bawahnya) demi memenuhi syarat kelulusan.

Menurut saya adalah sebuah hal yang ironis apabila latar belakang kebijakan ini untuk memicu produktifitas berkarya di Indonesia justru malah membuat banyaknya karya asal-asalan yang dibuat hanya untuk memenuhi standar kelulusan.

Jadi, Bagaimana Sikap saya terkait hal ini?

Terakhir, saya sendiri sebagai mahasiswa yang nantinya mungkin akan dikenakan kebijakan ini tidak terlalu masalah dengan beban tersebut. Saya memberikan sikap pro terhadap kebijakan ini. Namun, saya rasa ada banyak hal yang harus diperbaiki apabila pejabat pendidikan di Indonesia menginginkan tujuan utama kebijakan ini tercapai. Karena menurut saya, sejatinya kita masih tidak siap menyikapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun