Belasan tahun yang lalu ada seorang perempuan yang pernah bekerja pada kami sebagai pengasuh anak saya yang pada saat itu masih berusia 3 tahun. Kebetulan si Mbak ini memiliki anak bungsu dari tiga orang anaknya yang usianya sama dengan anak saya. Ketiga anaknya ditinggal di kampung, dirawat oleh ayahnya. Saya membayangkan kesulitan ataupun kesedihannya harus berpisah dengan anaknya, sementara mengasuh anak seumur yang mungkin akan selalu mengingatkannya kepada anaknya. Terkadang keluarganya berkunjung ke Jakarta, sehingga kita berkesempatan untuk bertemu dengan mereka. Kita juga berkenalan dengan anak pertamanya, seorang perempuan, yang selalu diceritakannya sebagai anak yang rajin belajar. Karena itu, si Mbak berkorban berpisah dengan anak-anaknya, agar dapat membiayai sekolah anaknya. Dia tentunya ingin agar anaknya lebih pintar darinya.
Tanpa terasa waktu terus berjalan, si Mbak sudah tidak bekerja di rumah kita, tapi kebetulan kita masih berhubungan dengan dia, karena dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah saudara yang kebetulan satu kompleks. Anak kami sudah beranjak besar, dan anak perempuannya yang rajin itu juga sudah menyelesaikan sekolahnya dan lulus dari SMA. Anak itu kemudian datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Namun tampaknya tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikannya, terutama dia harus bersaing dengan anak-anak seumur yang tumbuh dan besar di Jakarta, yang menikmati kualitas pendidikan yang lebih baik. Akhirnya anak tersebut bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mengikuti jejak ibunya. Dan sejarahpun berulang. Anak tersebut selanjutnya bertemu dengan seorang laki-laki tukang batu. Mereka menikah. Si suami tetap menjadi tukang batu, si istri menjadi pembantu rumah tangga. Mereka terpaksa harus pisah rumah dan hanya bertemu sekali seminggu, sampai akhirnya si istri mengandung dan melahirkan bayinya. Mereka tampaknya tidak dapat membesarkan anaknya di Jakarta karena tempat ibunya bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak tersedia cukup ruang untuk child care, sehingga akhirnya anak mereka ditinggal di kampung, dibesarkan oleh kakeknya. Sikluspun terjadi, apa yang dialami si ibu di masa kecilnya kembali dialami oleh si anak.
Bagi saya perjalanan hidup si mbak adalah sebuah kisah nyata tentang pengorbanan yang sia-sia dari seorang ibu. Juga sebuah kisah tentang kegagalan pendidikan untuk dapat merubah nasib atau meningkatkan kondisi sosial seseorang. Namun mungkin ada cara pandang yang lain dari si Mbak. Bagi si Mbak, menyekolahkan anak sampai tamat SMA merupakan suatu hasil dari pengorbanan yang tidak sia-sia, mengingat pendidikannya dulu yang mungkin hanya SD tidak tamat. Jadi ini seperti orang tua dengan ijazah S1 yang berhasil menyekolahkan anaknya sampai S3. Paling tidak si Mbak bisa berharap, generasi berikutnya dari keturunannya bisa mencapai sekolah yang lebih tinggi lagi, walaupun kembali mereka berkorban dengan tidak dapat selalu bersatu dalam satu keluarga.
Situasi ini mungkin juga merupakan sebuah kemenangan bagi si Mbak, karena berhasil membahagiakan anaknya yang senang belajar untuk dapat menikmati sekolah, walaupun hanya sampai SMA. Si anak mendapat kesempatan untuk membaca buku pelajaran, mengerjakan PR dan latihan, bertanya dan berdiskusi dengan guru dan teman-teman, belajar kesenian dan olah raga, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Si Mbak juga mungkin juga merasa bukanlah suatu kesia-siaan jika pada akhirnya anaknya menjadi pembantu rumah tangga juga. Karena banyak ditemui pola seorang anak yang mengikuti jejak karir dan pekerjaan orang tuanya. Banyak anak dokter yang akhirnya menjadi dokter juga, anak insinyur yang menjadi insinyur juga, anak pengusaha yang meneruskan usaha orang tuanya, dan seterusnya. Mungkin si Mbak malah merasa sia-sia jika anaknya tidak bekerja setelah disekolahkan.
Pada akhirnya, situasi ini mungkin akan dianggap sebagai suatu bagian dari perjalanan hidup anaknya yang belum diketahui arah selanjutnya, apalagi ujung dari perjalanan tersebut. Bagi mereka mungkin yang lebih penting adalah bagaimana mengisi kehidupan saat ini agar tidak sekedar memenuhi bumi yang semakin padat. Memberikan sedikit manfaat dan tidak merugikan orang lain, sambil mengupayakan kehidupan dan pendidikan yang lebih baik bagi cucu si Mbak. Hal ini mungkin lebih penting daripada sibuk melakukan evaluasi untung rugi apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Rasanya si Mbak sudah melakukan yang terbaik untuk anaknya dan keluarganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H