Kebetulan Jumat malam kemarin Jakarta cukup bersahabat. Jalan Rasuna Said Kuningan tidak terlihat padat.Lalu lintas bisa bergerak dengan lancar. Padasaat seperti itu Jakarta terlihat indah, dengan kerlap kerlip lampu dari gedung-gedung tinggi dan kendaraan yang lalu lalang.
Secara tidak sengaja saya mampir ke Pasar Festival. Niatnya membunuh waktu, duduk-duduk di foodcourt ditemani laptop, sembari menunggu sebuahjanji untuk pulang bersama.Rencana itu gagal karena saya lupa setiap Jumat malam di foodcourt ada pertunjukan musik. Dari kejauhan suara musik sudah terdengar. Ada Ireng Maulana band dan yang cukup mengejutkan ada Jacky yang bernyanyi di situ.
Saya teringat masa-masa itu, sekitar 30 tahun yang lalu. Era 80an, suatu masa di mana banyak orang bersepakat sebagai jaman keemasan musik dan hiburan. Suatu era di mana kita mulai berkenalan dan menyukai musik-musik jazzy. Jacky merupakan salah satu anak emas pada era itu. Kehadirannya bersama dengan Christ Kayhatu Utha Likumahuwa,Embong Rahardjo, Karim Suweileh, Mates, Jopie Item, Yance Manusama dan banyak artis lainnya menjadikan Green Pub Jakarta Theater sebagai tujuan utama untuk menikmati hiburan malam.
Kelebihan Jacky, ketika itu, adalah kemampuannya menyanyikan lagu-lagu Al Jarreau yang banyak menjadi hits ketika itu, tetapi sulit untuk dinyanyikan. Jacky-lah ketika itu yang mampu melantunkannya sehingga seakan-akan kita menikmati Al Jarreau live. Kebetulan penampilannya yang jangkung dan rambut yang kribo menyerupai penyanyi afroamerika, meminjam istilah yang digunakan pengamat musik Denny Sakrie, membuatnya menarik untuk ditonton. Karena penampilannya seperti itu pulalah namanya diselaraskan dari aslinya Zaki Bahasoan.
Pada tahun 1981 Jacky juga sempat ikut rekaman album Christ Kayhatu yang berjudul Nada dan Improvisasi dengan hit-nya yang berjudul Mungkinkah. Keberhasilan lagu tersebut membuat produser rekaman tertarik untuk membuat album solo Gairah Baru dengan dukungan musik dari Fariz RM dibantu oleh Oetje F Tekol, Harry Subardja, dan Karim Suweileh. Walaupun cukup berhasil, album ini rasanya menjadi satu-satunya album Jacky. Mungkin karena tidak ada lagu yang benar-benar meledak. Karir Jacky sebagai penyanyi rekaman tampaknya tidak seberhasil rekan-rekannya satu panggung, yaitu Utha Likumahua dan Mus Mujiono.
[caption id="attachment_98711" align="aligncenter" width="300" caption="sumber: wartajazz.com"][/caption]
Dengan berjalannya waktu, semakin banyak artis jazzy yang tampil, semakin banyak pub yang menampilkan musik-musik live, semakin banyak pula keragaman jenis musik yang ditawarkan ketika itu, dan juga meninggalnya Christ Kayhatu, menyebabkan Jacky pelan-pelan menghilang dari panggung musik. Dan Jumat kemarin ini merupakan keberuntungan bagi saya bisa bertemu dan menyaksikan kembali aksi panggung dari Jacky.
Hal yang mengejutkan bagi saya adalah penampilan Jacky sudah jauh berbeda. Hampir saya tidak mengenalinya. Jacky terlihat tua dan kurus. Kribonya sudah hilang dan rambutnyapun ditutupi oleh topi. Penampilannya yang bak penyanyi afroamerika di masa lalu berubah menjadi seorang pemusik gambus keturunan Arab.Penampilan Jacky ini sekaligus menyadarkan saya pada usia saya sendiri. Jika saya tidak menggunakan cermin selama 25 tahun, mungkin saya akan pingsan melihat penampilan saya saat ini. Kita telah sama-sama menjadi tua, Jacky.
Penampilan boleh berubah, tapi kemampuan bernyanyi Jacky masih seperti dulu. Dia masih mampu menyanyikan lagu Spain Al Jarreau yang sangat sulit itu, termasuk kemampuannya dengan cepat kembali mengikuti irama musik, pada saat terjadi kesalahan. Kebetulan pemain band Ireng Maulana memang jago-jago. Lagu tersebut berhasil diselesaikan dengan dahsyat. Jazz memang kodratnya adalah musik panggung, bukan musik rekaman, karena improvisasi merupakan suatu yang spontan, tidak bisa diatur dengan partitur.
Banyak perubahan lain yang saya temui malam itu. Foodcourt malam itu boleh dikatakan penuh, tapi tidak semuanya menonton Jacky dengan antusias, sebagaimana yang terjadi di masa lalu. Sebagian pengunjung memang orang-orang muda yang mungkin tidak pernah mengenal Jacky. Suasana foodcourt memang tidak sama dengan Green Pub. Sound system yang dipasang tidak dapat menggetarkan seluruh ruangan. Lampunyapun terang benderang, tidak diatur agar panggung terlihat lebih terang dari bagian lain di ruangan tersebut. Jika di Green Pub pengunjung datang untuk menonton Jacky, maka di foodcourt Jacky sekedar menjadi pengantar orang-orang yang makan, mengobrol ataupun browsing internet.
Jacky-pun sudah banyak berkompromi. Dia menyanyikan lagu pop seperti Endless Love, dan sepertinya juga siap menerima berbagai request lagu, terlihat dari kesiapannya membawa buku kumpulan lirik lagu. Selesai acara, tidak ada fans yang minta foto bareng atau mengajak ngobrol basa-basi. Penyanyi itupun pulang menghilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H