Mohon tunggu...
Emil Bachtiar
Emil Bachtiar Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Departures: Antara Pekerjaan yang Hina dan Istri yang Selalu Tersenyum

26 Desember 2009   03:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:46 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Departures adalah sebuah film Jepang yang memenangkan Oscar untuk Best Foreign Language Film 2009. Sebagaimana umumnya sebuah film yang bagus, Departures juga memberikan kesempatan untuk setiap penonton memberikan penafsiran yang berbeda. Ada banyak dilema dan konflik yang ditampilkan dalam film ini, seperti dilema untuk menerima pekerjaan yang hina, dilema untuk memilih pekerjaan dan istri, serta konflik antara anak dan bapak yang meninggalkannya karena tergoda dengan perempuan lain. Terdapat pula pesan-pesan mengenai makna kematian. Saya sendiri lebih tertarik melihat senyuman seorang istri yang berduka (hehe), yang menyebabkan saya ingin menceritakan film ini. Film dengan gambar-gambar indah ini mengisahkan tentang seorang muda yang bernama Daigo Kobayashi. Daigo adalah seorang pemain cello pada sebuah orkes simfoni di Tokyo. Orkes ini kekurangan penonton yang menyebabkan pemiliknya harus membubarkannya. Tanpa pekerjaan, Daigo merasa tidak mampu membayar cicilan cello-nya yang sangat mahal, sehingga ia memutuskan untuk berhenti menjadi pemain musik dan menjual cello-nya Ketika hal ini disampaikan ke Mika, istrinya, Daigo memperoleh senyuman yang mendukung keputusannya. Hal ini membuat sedih Daigo karena dia menjanjikan dengan permainan cello-nya dia akan mengajak Mika berkeliling dunia. Daigo kemudian membuat keputusan yang kedua, yaitu kembali ke kampung halaman di Yamagata, di mana mereka dapat tinggal di rumah tua warisan ibu Daigo, yang selama ini dibiarkan kosong. Ketika keputusan ini disampaikan kepada Mika, istrinya langsung menyetujui, dengan tersenyum. Dan pindahlah mereka. Daigo segera mencari kerja dan melihat iklan lowongan pekerjaan di koran yang, menurut tafsirannya, dipasang oleh sebuah perusahaan agen perjalanan yang mengurus keberangkatan (departures). Sesampainya di kantor untuk wawancara, Daigo baru menyadari bahwa perusahaan tersebut bergerak di bidang penyiapan jenazah sampai dimasukkan ke peti mati. Iklan tersebut memang sengaja dibuat salah cetak untuk menjebak calon pegawai agar melamar. Masyarakat Jepang menganggap rendah pekerjaan komersial yang berhubungan dengan membantu orang yang sedang kemalangan.Mungkin dianggap sebagai memanfaatkan kesusahan orang lain untuk kepentingan si pemberi jasa. Daigopun terjebak dalam situasi yang sulit. Tanpa wawancara panjang lebar, dia diterima bekerja (karena satu-satunya kandidat) dan ditawari gaji yang jauh lebih besar dari yang diharapkannya. Daigo ragu. Dia tidak suka pekerjaannya (selain pekerjaan tersebut hina, dia bahkan tidak pernah melihat jenazah seumur hidupnya, termasuk jenazah ibunya yang pada saat meninggal Daigo sedang berada di luar negeri) tapi gaji yang ditawarkan berkali-kali lipat dari jumlah yang dibayangkan dan langsung diberikan uang mukanya pada saat itu juga. Akhirnya pekerjaan tersebut dia terima, setelah diiming-imingi untuk mencoba dulu dan boleh berhenti jika tidak merasa cocok. Daigo merayakan keberhasilannya diterima bekerja dengan membawa sukiyaki untuk makan malam, yang membuat senyuman istrinya semakin lebar. Tapi dia tidak berterus terang pada istrinya mengenai pekerjaannya.............. ....... Tugas pertama sebagai model orang mati untuk video promosi perusahaan sudah terasa berat. Namun yang sangat mengguncang Daigo adalah tugas keduanya, yaitu merias mayat yang baru ditemukan setelah dua minggu meninggal. Daigo sangat sangat terguncang. Rasanya dia sudah tidak sanggup melanjutkan kerjanya. Dia hanya bisa terduduk, termenung.............Sampai kemudian bossnya datang menjemput untuk pelaksanaan tugas selanjutnya. Pada pelaksanaan tugas ketiga inilah, Daigo menemukan suatu kemuliaan di balik pekerjaan yang dihina orang ini. Dia melihat bagaimana boss-nya merias jenazah secara berhati-hati dan bagaikan sebuah tarian. Dia melihat suatu campuran antara upacara yang khidmat dan pertunjukan seni yang dilakukan di hadapan keluarga yang ditinggalkan. Mereka dapat melihat betapa jenazah orang yang dicintai diperlakukan secara berhati-hati dan penuh penghormatan, dengan hasil riasan yang begitu indah, yang meninggalkan kenangan terakhir yang indah. Makna dari periasan jenazah ini adalah mempersiapkan orang yang meninggal untuk berangkat ke kehidupan yang berikutnya. Daigo juga menyaksikan betapa suami yang ditinggalkan sangat berterima kasih kepada boss-nya karena dia tidak pernah melihat istrinya secantik itu semasa hidupnya. Tugas-tugas selanjutnya dilaksanakan dengan lancar. Termasuk panggilan tugas malam hari yang harus dilaksanakan sendiri. Namun panggilan telpon malam hari membuat istrinya curiga dan melakukan investigasi, sehingga pada saat Daigo pulang ke rumah, dia menemukan istrinya tidak tersenyum. Istrinya membuat pengakuan bahwa sebetulnya dia telah hancur berkeping-keping pada saat Daigo berhenti menjadi pemain cello dan memutuskan pulang kampung. Namun dia dapat bertahan dan memberikan dukungan (dengan senyumannya). Tetapi, sekarang dia sudah tidak sanggup lagi. Dia meminta Daigo meninggalkan pekerjaannya. Dia meminta Daigo memilih pekerjaan atau istrinya. Daigo terdiam, tidak menjawab, dan istrinya memutuskan untuk meninggalkan Daigo. Hari-hari berikutnya Daigo kembali sibuk dengan pekerjaannya. Banyak orang meninggal yang harus dirias dan dia menemukan berbagai pengalaman kedukaan, di samping dia juga mengalami penghinaan dari temannya yang mengetahui pekerjaannya. Sampai suatu hari, pada saat pulang, Daigo menemukan istrinya sudah kembali. Sambil tersenyum gembira istrinya memberitahu bahwa dia hamil. Dengan senyumnya pula istrinya secara halus menanyakan apa yang harus dijelaskan kepada anak mereka mengenai pekerjaan bapaknya. Namun mereka tidak sempat diskusi, karena kemudian ada berita duka cita, bahwa perempuan pemilik pemandian umum, ibu dari temannya yang sebelumnya telah menghina, meninggal. Daigo yang melakukan upacara periasan jenazah, yang menimbulkan kekaguman dan penghargaan, tidak hanya dari temannya, tetapi juga dari istrinya yang hadir pada upacara tersebut. Istrinya menyadari betapa penting pekerjaan suaminya yang dianggap hina itu, dan betapa baiknya (profesionalnya) suaminya telah melaksanakan pekerjaannya........................ Menceritakan film Departures membuat pikiran saya terpental dengan kebiasaan-kebiasaan yang saya alami pada saat berkunjung ke kerabat atau kenalan yang sedang menghadapi musibah kematian. Pengalaman saya ini berkaitan dengan suasana duka yang terjadi pada orang Islam. Saya merasakan ada dunia baik di rumah duka maupun di kuburan. Pada rumah duka, ada suasana khidmat dalam duka dengan suara ayat suci yang dibacakan di dekat jenazah. Biasanya anggota keluarga dekat, terutama perempuan, berkumpul di situ. Para tamu mendatangi mereka untuk mengucapkan belasungkawa dan kemudian berdoa di hadapan jenazah. Setelah itu tamu keluar, bertemu dengan saudara atau kenalan yang sudah lama tidak bertemu dan terjadilah reuni yang hangat, penuh dengan tawa (sebagaimana layaknya suasana reuni). Selanjutnya hal yang serupa juga terjadi di kuburan. Ada sekelompok orang yang berdesak-desakan di dekat lubang kuburan, terkadang mendorong anggota keluarga dekat, untuk melihat (menonton) upacara detik-detik masuknya jenazah ke lubang kuburan. Dalam berdesak-desakan, terpaksa kuburan-kuburan tetangga terinjak. Lalu, sebagian pengunjung yang tidak dapat tempat di depan, menyingkir agak menjauh dari tempat penguburan, mengobrol dan merokok serta terkadang ketawa-ketiwi. Setelah upacara penguburan selesai, para pengunjung berpisah dengan berat hati. Biasanya sering terdengar “wah kalau gak gini (maksudnya: kalau tidak ada yang meninggal), kita gak ketemuan ya”. Lalu dijawab “Iya, sampai ketemu lagi deh (maksudnya: kalau ada yang meninggal lagi)” sambil berpikir dalam hati, giliran siapa nih berikutnya. Kalau menonton film Departures akan terasa perbedaan suasana duka orang Jepang dengan suasana yang saya ceritakan di atas. Mungkin ada yang tahu bagaimana sebetulnya adab (terutama dalam agama Islam) dalam melayat dan mengantar jenazah ke kubur. sumber foto: http://rthktheworks.wordpress.com/2009/03/25/movie-review-departures/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun