Ketika Presiden SBY mengangkat menteri-menteri perwakilan Parpol dengan CV dan track records yang tidak meyakinkan, saya memprediksi pengangkatan tersebut tidak akan berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah. Prediksi ini berdasarkan asumsi bahwa mesin birokrasi kita sudah berjalan dengan teratur, sehingga siapapun menteri yang memimpin satu kementerian, menteri tersebut tidak bisa banyak mempengaruhi jalannya mesin birokrasi.
Ternyata saya salah. Birokrasi kita sangat tergantung dan dipengaruhi oleh pemimpinnya. Artinya, mesin birokrasi belum berjalan dengan teratur. Padahal menurut BKN saat ini ada sekitar 4,5 juta pegawai negeri sipil yang bekerja pada birokrasi. Pertumbuhan jumlah pegawai negeri dalam beberapa tahun terakhir relatif sangat tinggi. Jumlah PNS pada tahun 2003 adalah 3,6 juta. Jumlah ini sempat turun di tahun 2004 menjadi 3,5 juta, tapi kemudian meningkat kembali dengan puncaknya di tahun 2009, yaitu tumbuh 10% dari 4,1 juta menjadi 4,5 juta orang. Ternyata belakangan ini Pemerintah terus melakukan rekrutmen PNS, berbeda dengan kebijakan di masa lalu yang selalu mengupayakan zero growth. Bisa dibayangkan luas gedung kantor dan peralatannya yang harus disediakan untuk menampung tambahan 1 juta pegawai.
Selain menambah jumlah orang, Pemerintah juga secara terus menerus mengupayakan peningkatan gaji PNS. Presiden SBY pada pidato penyampaian RUU APBN 2010 di forum rapat paripurna DPR RI pada tanggal 3 Agustus 2009 menyatakan bahwa selama masa kepemimpinannya telah berkali-kali terjadi kenaikan gaji. Pendapatan PNS golongan terendah telah dapat ditingkatkan 2,5 kali selama periode 2004-2009, dari Rp. 674 ribu di tahun 2004 menjadi Rp. 1,7 juta di tahun 2009. Pemerintahan SBY juga merintis tradisi pemberian gaji bulan ke 13. Tujuan kenaikan pendapatan ini adalah untuk memperbaiki kinerja birokrasi dan peningkatan kualitas layanan publik.
Kenaikan ini tentunya berdampak kepada pengeluaran Pemerintah. Berdasarkan angka pada RAPBN 2010, jumlah belanja pegawai adalah Rp. 161 T, naik 21% dari belanja tahun lalu. Proporsi belanja pegawai terhadap total pengeluaran RAPBN adalah 16% dan merupakan pengeluaran terbesar. Pengeluaran lain yang terkait dengan penyelenggaraan birokrasi adalah belanja barang sebesar Rp. 100 T. Sehingga seluruh pengeluaran untuk penyelenggaraan birokrasi adalah sebesar 25% dari total RAPBN.Sisa RAPBN yang 75% dialokasikan untuk subsidi, bayar utang dan bunga, dan dialokasikan ke daerah, termasuk untuk membayar tunjangan guru dan dosen yang sudah bersertifikasi.
Dengan jumlah SDM yang semakin meningkat dan organisasi yang semakin besar berikut konsekuensi biaya yang semakin tinggi, kita sebagai rakyat mungkin sepakat bahwa kualitas layanan terhadap rakyat tidak banyak berubah alias masih buruk. Bahkan hanya dalam tempo beberapa bulan ini kita menyaksikan berbagai masalah terjadi dengan penyelesaian yang lambat, termasuk berbagai kasus korupsi dan mafia, ledakan gas elpiji dan kehidupan yang semakin susah karena harga-harga yang meroket. UKP4 juga memberikan angka-angka merah pada rapor-rapor para menteri.
Kenapa mesin birokrasi kita yang berkapasitas besar ini tidak efektif?Ada beberapa sebab yang menyebabkan ketidakberdayaan mesin birokrasi ini. Pertama, birokrasi sudah lama dimanfaatkan oleh sebagai lapangan pekerjaan.Angka pengangguran kita masih sangat tinggi, yaitu 8,46% dari total angkatan kerja sebesar 111,95 juta orang atau sekitar 9,39 juta orang pada bulan Agustus 2008. Sektor formal, termasuk birokrasi, hanya menyerap sekitar 25% dari angkatan kerja, sehingga sisanya yaitu sebesar 65% bekerja pada sektor informal. Penambahan jumlah PNS ini mungkin sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan. Agar tidak menganggur, diciptakanlah berbagai kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah, yang pada akhirnya menambah panjang proses dan lama waktu pelayanan. Para notaris bercerita bahwa sebelum ada Sisminbakum dibutuhkan waktu 6 bulan untuk pengesahan akte notaris menjadi berita acara negara. Dan proses ini sekarang hanya membutuhkan waktu 7 hari. Jumlah orang yang bertambah banyak ini juga menimbulkan kerumitan organisasi yang mengakibatkan beban kerja serasa bertambah tapi produktivitas menurun.
Kedua, penerimaan PNS di masa lalu sarat dengan nepotisme. PNS-PNS yang diterima melalui nepotisme ini memiliki kualitas yang lebih rendah (kalau lebih tinggi mereka tidak perlu lewat jalur nepotisme) dan pada saat bekerja sulit memberikan punishment kepada mereka. PNS-PNS nepotisme ini menciptakan budaya dan etos kerja yang buruk pada birokrasi. PNS-PNS yang berpotensi dan rajin akhirnya bersikap apatis dan masa bodoh. Social control di birokrasi menjadi hilang.Hal inilah yang menjelaskan adanya Gayus dan teman-temannya di tengah-tengah pegawai Ditjen Pajak yang mayoritas ingin bekerja dengan bersih. Pegawai-pegawai yang bersih ini tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap rekannya yang “kotor” untuk menjaga lembaga tempat mereka bekerja, sehingga mereka semua menjadi korban reputasi buruk atas prilaku sebagian kecil dari mereka.
Ketiga, gaji PNS di masa lalu relatif sangat kecil dan berjarak jauh dengan rekan-rekannya di swasta. Belum lagi dengan berbagai potongan yang mengurangi pendapatan yang diterima. Kecilnya gaji menyebabkan banyak SDM yang berpotensi tidak tertarik untuk bekerja di birokrasi. Kualitas SDM yang bekerja di birokrasi lebih rendah daripada mereka yang bekerja di swasta. Pendapatan yang rendah ini berusaha ditambal melalui penciptaan program-program kerja yang membutuhkan tim-tim berikut honor dan perjalanan dinasnya. Program-program kerja ini banyak yang sekedar diada-adakan tanpa memberikan nilai tambah. Gaji yang kecil ini juga menjadi rasionalisasi bagi PNS untuk melakukan korupsi, mengobyek dan tidak disiplin masuk kerja. Walaupun gaji mereka sudah dinaikkan mental sebagai pegawai bergaji kecil tetap menempel sehingga mereka meneruskan upaya-upaya peningkatan pendapatan. Dan besar kemungkinan, pendapatan yang diperoleh dari korupsi ataupun mengobyek masih jauh lebih besar dari kenaikan pendapatan yang diperoleh.
Seluruh permasalahan ini diupayakan untuk diselesaikan dengan suatu program besar yang disebut Reformasi Birokrasi. Banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan, misalnya sistem kerja dan sistem Manajemen SDM, namun kelihatannya prosesnya berjalan tertatih-tatih. Akibatnya kita menjadi saksi terjadinya kenaikan renumerasi tanpa dibarengi perbaikan sistem yang tuntas, menghasilkan Gayus dan kawan-kawannya. Sulit sekali membayangkan bagaimana suatu kepemimpinan yang CV yang tidak mengesankan dan birokrasi yang tidak berdaya ini diharapkan untuk melaksanakan sendiri program Reformasi Birokrasi. Organisasi mereka sudah terlalu besar dan jumlah orang semakin banyak untuk direformasi. Belum lagi adanya kendala dan hambatan dari pihak-pihak yang dirugikan dengan adanya reformasi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H