Mohon tunggu...
Emil Bachtiar
Emil Bachtiar Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bersaing sampai mati: Belajar dari Singapura

9 November 2010   13:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:44 1350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_315405" align="alignleft" width="189" caption="sumber: http://curhat-via-buku.blogspot.com/2010/10/after-orchard.html"][/caption]

Menjadi pemenang dalam persaingan global merupakan impian dari tingkat negara sampai dengan tingkat individu.Diyakini bahwa kemenangan dalam globalisasi akan memberikan kemakmuran, karena setiap (kelompok) orang dan negara dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangan di mana jika bekerjasama saling melengkapi akan meningkatkan kemakmuran bagi semua orang. Karena itu, Pemerintah aktif terlibat dalam organisasi-organisasi perdagangan bebas dan membuat perjanjian dengan berbagai negara untuk sama-sama membuka pasarnya. Banyak cerita mengenai keberhasilan produsen Indonesia menembus pasar Amerika dan Eropa. Banyak pula cerita tentang orang-orang Indonesia yang bekerja di perusahaan multinasional di manca negara. Lembaga-lembaga pendidikan berlomba-lomba menghasilkan lulusan yang dapat bersaing dalam pasar global. Sekolah-sekolah internasional dan rintisan berstandar internasional menjamur, karena banyak orang tua juga berupaya untuk menyiapkan anak-anaknya menjadi manusia global, walaupun kemungkinan pembedaannya hanya dari kemampuan berbahasa Inggris.

Margareta Astaman adalah salah seorang mahasiswa asal Indonesiayang berhasil mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Singapura untuk kuliah jurnalistik di Nanyang Technology University (NTU). Selama kuliah ia tidak sekedar belajar dari buku dan kelas, tetapi juga dari kehidupan masyarakat di negara yang menjadi salah satu pemenang dan pusat globalisasi. Sebagian hasil pembelajarannya ini dibagikan melalui blog yang kemudian dicetak menjadi buku yang menarik dengan judul “After Orchard’. Pada bukunya yang enak dibaca dan tajam analisisnya, Margareta menceritakan segi positif dan negatif, kegembiraan dan penderitaannya selama kuliah di Singapura. Dari beberapa topik pada bukunya, kita dapat belajar bagaimana menjadi pemenang persaingan global, tanpa harus kunjungan studi banding.

Singapura dinobatkan oleh konsultan AT Kearney sebagai negara yang paling terglobalisasi, dengan karakteristik terbuka, kompetitif dan inovatif. Padahal, negara ini hanyalah sebuah pulau kecil yang tidak memiliki kekayaan alam dengan lima juta orang yang tinggal berdesak-desakan.Ada dua yang menjadi modal utama majunya negara ini, yaitu lokasi yang strategis sebagai pelabuhan internasional dan kemampuan bersyukur yang diajarkan oleh para pemimpinnya. Dengan modal yang terbatas hanya pada lokasi, negara ini memanfaatkan segala yang dimilikinya untukmenjadi salah satu pusat ekonomi global. Pelabuhannya merupakan salah satu dari lima pelabuhan tersibuk di dunia. Singapura juga merupakan salah satu dari empat pusat keuangan dunia terbesar, bersama-sama dengan London, New York dan Tokyo. 42% dari penduduk Singapura adalah orang asing (orang global). Sebagian dari mereka bekerja di perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan investasi langsung di negara tersebut. Sebagian lagi belajar di universitas-universitas bekerja sama dengan universitas terkemuka di Amerika dan Eropa, dan sebagian staf pengajarnya merupakan orang asing pula. Dengan kegiatan perdagangan dan pelayanan internasional, Singapura berhasil menjadi salah satu pengumpul cadangan devisa terbesar di dunia. Singapura adalah negara yang berhasil memanfaatkan sepenuhnya globalisasi.

Sebagai negara yang menyandarkan kehidupannya pada globalisasi, SIngapura sangat merasakan dampak dari krisis keuangan global beberapa waktu yang lalu. Namun hanya dalam tempo dua tahun, Singapura dapat keluar dari krisis dan membalikkan keadaan menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 10%, cukup jauh meninggalkan Indonesia yang digadang-gadangkan sebagai negara yang berhasil selamat dari krisis global dan memiliki masa depan yang cerah.

Hidup adalah persaingan

Kebiasaan bersaing merupakan kebiasaan yang sudah ditanamkan sejak anak masih kecil. Sistem pendidikan di SD membagi kelas menjadi EM1, EM2, dan EM3, berdasarkan prestasi murid. EM1 untuk anak yang pintar, EM2 untuk yang sedang, dan EM3 untuk yang bodoh. Biasanya hanya murid yang berasal dari EM1 dan EM2 yang dapat masuk kelas akselerasi pada saat masuk SMP, sedangkan EM3 masuk ke kelas normal. Hanya lulusan kelas akselerasi dan satu lulusan terbaik kelas normal yang dapat masuk ke Junior College (JC) dan memiliki peluang besar untuk melanjutkan ke universitas. Peringkat berikutnya masuk ke politeknik dan hanya lulusan terbaiknya yangbisa ke universitas. Sisanya masuk ke ITE, suatu sekolah kejuruan yang merupakan pendidikan terminal. Lulusannya tidak dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah lulus mereka bekerja di bidang yang ditentukan pada saat mengambil ITE tersebut., seumur hidupnya.

Semua murid SD tentunya mengejar untuk masuk keEM1. Sejak dini mereka harus bersaing dengan teman-teman (musuh) seangkatannya. Persaingan bahkan sudah dimulai pada jam kedatangan sekolah. Sekolah dimulai pada jam 08.00 tapi para murid sudah terbiasa ada di sekolah sejak jam 5.30 pagi. Sebetulnya hal ini tidak mempengaruhi penilaian guru, tapi pada anak-anak kecil itu sudah tertanam semangat “gancheong” atau ketergesaan, jangan kalah cepat dengan murid lainnya.

Selain pendidikan sekolah formal, berbagai bekal untuk bersaing harus disiapkan. Sejak dini. Lebih cepat lebih baik. Margie pernah membaca sebuah liputan mengenai seorang anak berusia 4 tahun telah didaftarkan enam macam kursus: kumon (agar cepat pandai berhitung), piano (agar otak kiri-kanan seimbang), mengarang (agar lulus General Papers di JC), bahasa Inggris (bahasa pergaulan), bahasa Mandarin (sebagai kiblat dunia), dan balet (melatih gerak motorik).

Berhasil masuk universitas hanyalah satu kemenangan dari persaingan. Universitas merupakan arena persaingan dan perjuangan berikutnya. Untuk meningkatkan daya saing mahasiswa,Pemerintah Singapuramemberikan bea siswa kepada siswa-siswa pintar yang berasal dari Cina, India dan Indonesia. Dengan kehadiran talent baru ini, diharapkan persaingan akan semakin sengit. Siswa-siswa asing ini melakukan berbagai upaya untuk memperoleh nilai tambahan, termasuk tidur di perpustakaan dan mencari kerja di kampus, pada saat mahasiswa Singapura menikmati kegiatan-kegiatan hiburan kemahasiswaan.Semua upaya ini dilakukan dengan penuh rahasia agar yang lain tidak punya kesempatan yang sama. Informasi adalah salah satu sumber keunggulan.

Setelah lulus universitas, bekerja di salah satu kantor di Raffles Centermerupakan target berikutnya. Raffles Center merupakan pusat perkantoran dari perusahaan-perusahaan global. Kerja keras adalah bentuk persaingan berikutnya. Jam kerja umumnya adalah 8.30 sampai 19.00, tapi umumnya para pekerja baru pulang jam 21.00. Dan untuk cepat dipromosikan harusmenunjukkan kemampuan untuk bekerja keras, pulang jam 03.00 pagi setiap harinya dan mendewakan pekerjaan di atas kehidupan dan segalanya.

Menjadi pemenang dalam persaingan ini tentu ada imbalannya, yaitu yang dikenal dengan 5 C (condominium, car, cash, credit card, dan country club membership). Dengan memiliki kelima C ini makan seseorang dianggap berhasil. Selain itu, ada perayaan-perayaan kecil atas kemenangan, dalam bentuk kemewahan makan enak dan berbelanja barang bermerek. Makan dan belanja.

Namun bagi orang Singapura, bukan sekedar imbalan yang mereka kejar. Mereka lebih berusaha untuk menghindari kegagalan. Di negara ini tidak ada tempat untuk orang yang gagal, karena jika kegagalan diberikan toleransi, maka semangat untuk menang dalam persaingan bisa berkurang. Tidak ada kesempatan kedua untuk orang-orang yang gagal. Kegagalan bukanlah keberhasilan yang tertunda. Kegagalan adalah kematian, hilangnya masa depan. Sementara itu kemenangan tidak lama dapat dirayakan karena arena persaingan berikutnya menunggu. Ada yang menang dan ada yang kalah. Sehingga tersaring menjadi pemenang sejati adalahorang-orang terbaik yang bisa membawa negeri menjadi pemenang global. Survival of the fittest.

Hidup di lingkungan yang mengharuskan orang untuk selalu bersaing menciptakan budaya kiasu. Sebetulnya kiasu memiliki arti takut kalah. Tapi orang Singapura lebih mengartikan kiasu sebagai suatu sifat ambisius, suka bersaing,tidak pernah mau kalah dan tangkas mencari keuntungan untuk diri sendiri. Persaingan menjadi bagian dari darah daging. Hampir seluruh aspek kehidupan menjadi arena persaingan, termasuk berebut tiket gratis nonton parade kemerdekaan atau bersaing untuk mendapatkan meja di foodcourt, dan dalam berbagai permainan, seperti monopoli.

Kegagalan sebagai kematian menyebabkan munculnya sindroma kiasi, yang artinya fear of death. Kiasi dicerminkan dengan sikap yang terlalu takut mengambil risiko, sekecil apapun yang dapat menyebabkan kegagalan. Termasuk takut untuk bermimpi, karena bermimpi adalah mengharapkan sesuatu yang tinggi dan hampir tidak mungkin untuk diwujudkan. Risiko kegagalan terlalu besar. Orang Singapura menjadi sangat realistis. Cita-cita dapat dikorbankan, tugas sehina apapun dapat dikerjakan, etika dapat dikompromikan, selama stabilitas ekonomi dan keamanan jalan menuju keberhasilan terjaga.

Budaya persaingan yang diciptakan oleh pemerintah menimbulkan efek samping. Tidak semua orang menjadi pemenang dan tidak semua orang pula ingin hidupnya diteror persaingan. Tingkat pembunuhan pada diri sendiri di Singapura relatif tinggi. Pada tahun 2006 terdapat 416 kasus bunuh diri, atau dengan kata lain setiap hari paling tidak ada satu orang yang bunuh diri, dan kadang-kadang lebih dari satu. Jumlah ini meningkat 21% dari angka bunuh diri di tahun 2003. Peningkatan ini berkat kontribusi pelajar yang semakin banyak bunuh diri. Seorang teman Margareta, bercerita bahwa di JC tempat ia sekolah setiap bulannya ada satu kasus bunuh diri, baik dengan melompat di selat Singapura dekat sekolah atau dari gedung sekolah dan tempat tinggal mereka. Upaya lain untuk bunuh diri yang juga banyak dilakukan oleh warga Singapura adalah dengan melompat ke rel MRT dan minum obat tidur.

Hidup adalah perhitungan

Kehidupan dengan persaingan yang ketat memaksa orang Singapura untuk harus memiliki perhitungan yang ketat untung rugi atas sesuatu tindakan yang dilakukan, termasuk pilihan kombinasi paket yang paling hemat di gerai cepat saji, perhitungan dampak keterlambatan 1 menit jadwal MRT, dan berbagai aspek kehidupan. Apalagi untuk masalah uang. Sen per sen sangat diperhitungkan. Kesempatan undian atau promosi yang memberikan hadian goodybag, free parking ticket, atau bentuk-bentuk gratisan lainnya akan diserbu dan membentuk antrian yang panjang. Dan semua perhitungan dapat ditranslasi dalam bentuk uang. It’s all about the money, kata Margareta. Inilah perwujudan dari economic animal yang sempurna.

Dengan perhitungan ekonomi yang ketat, orang Singapura merasa tidak ada manfaatnya untuk bersilaturahmi dan mempertahankan pertemanan dengan orang-orang yang diprediksi tidak akan memberikan manfaat baginya di masa depan. Orang Singapura juga merasa rugi untuk menolong orang lain. Jangankan menolong orang yang pingsan di MRT. Sekedar untuk memberitahu lokasi sebuah gedung kepada orang yang kebingunganpun tidak mereka lakukan. Mungkin bagi mereka adalah kesalahan orang yang pingsan atau tersesat, tidak menjaga kesehatan dan membawa peta. Padahal pertolongan tersebut sekedar menyisihkan sedikit waktu. Apalagi bentuk-bentuk pertolongan dalam bentuk uang.

Dalam sistem kehidupan di Singapura, orang harus bertanggung jawab dan mandiri tanpa bantuan orang lain. Prinsip dasarnya adalah tolonglah diri sendiri sebelum mampu menolong orang lain. Jika semua orang dapat menolong dirinya sendiri, pada akhirnya tercipta masyarakat yang tidak memerlukan sistem tolong menolong. Selain itu, kemudahan untuk memperoleh pertolongan akan melemahkan daya juang dan daya saing. Itulah aspek kemanusiaan dari economic animal.

Untuk dapat hidup tanpa pertolongan orang lain maka setiap orang harus punya perencanaan dan perhitungan yang baik atas keputusan dan tindakan yang akan dilakukan. Semuanya harus dipikirkan dua tiga langkah di depan dan setiap detil harus dipertimbangkan. Tidak masuk akal bagi orang Singapura untuk hidup secara spontan, mengalir dan penuh kejutan. Setiap orang sudah harus mampu untuk melihat masa depan dirinya. Setiap orang harus punya blue print tentang dirinya. Kegagalan hanya terjadi dari perencanaan yang tidak akurat atau pelaksanaan rencana yang tidak disiplin. Semuanya akibat kesalahan pada diri sendiri, tidak ada alasan ataupun dalih. Hanya ada hukuman yang pantas agar di kemudian hari tidak melakukan kesalahan yang sama.

Hidup adalah perjuangan

Orang Singapura menyadari bahwa menjadi pemain global membutuhkan perjuangan yang berat. Untuk mempersiapkan para pemenang global, proses pendidikan haruslah lebih berat dibandingkan kehidupan nyata. Sehingga dapat dihasilkan lulusan yang tangguh, tahan banting, dan siap memenangkan berbagai pertarungan.

Margareta mengalami proses pendidikan yang bagaikan teror. Beban kuliah sangat berat. Sering ia merasa malas bangun pagi karena harus menghadapi penderitaan melaksanakan tugas. Temannya sampai harus tidur di kardus agar tidurnya tidak terlalu nyenyak dan secepatnya dapat bangun. Tidur adalah salah satu kegiatan yang dapat mengganggu pencapaian cita-cita. Menikmati tidur dapat menjadi sumber kegagalan.

Menjadi mahasiswa juga harus siap menghadapi penghinaan dan caci maki dari dosennya. Mereka harus siap menghadapi ketidak-mengertian dosennya bahwa ada mahasiswa yang begitu bodohnya dengan tingkat kebodohan yang tidak masuk akal. Mereka harus bisa menghadapi tekanan dan menembus batas kemampuan yang mereka miliki agar tidak mengalami kegagalan di sisa hidupnya. Kelulusan kuliah adalah kesiapan untuk menghadapi beban kerja sebesar apapun dan perlakuan dari atasan seburuk apapun. Mereka disiapkan menjadi lulusan yang berdaya juang tinggi.

Berjuang tidak mengenal titik batas. Setiap orang harus siaga menghadapi berbagai situasi pertempuran. Sayangnya tidak semua orang mampu melewati masa penggemblengan. Mahasiswa yang tidak kuat akan memilih bunuh diri ataupun memecahkan kaca ruang kelas dengan membenturkan kepalanya. Sebagian mahasiswa pasti pernah berpikiran untuk membebaskan diri daripenderitaan hidupnya. Sebagian lagi terpaksa harus putus sekolah akibat menderita depresi.

Akhirnya......................

Akhirnya, buku After Orchard dengan ceritanya yang ringan pada akhirnya memberikan suatu realita kepada kita. Jika kita masih suka berleyeh-leyeh dan berleha-leha menikmati hidup yang nyaman, menikmati sinar matahari dan kicauan burung di pagi hari, menjalankan kehidupan yang longgar dan mengalir,bersosialisasi dan bersilaturahmi dengan kerabat dan tetangga, dan masih suka hidup dalam suasana tolong menolong, maka, maaf saja, kita masih termasuk orang pinggiran globalisasi dan lebih baik melupakan iming-iming ataupun harapan untuk menikmati kemakmuran sebagai pemain global.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun