Beberapa hari yang lalu saya melihat suatu pemandangan yang aneh, paling tidak menurut saya, yaitu seorang pengemis laki-laki menggendong seorang anaknya dikain dengan alat musik kecrekannya dari botol air mineral. Dan dia tidak menyanyi, hanya menggoyangkan alat musiknya, mendatangi mobil satu per satu yang menunggu lampu merah di perempatan TB Simatupang Pondok Labu. Â Dan tidak ada satu mobilpun yang memberikan uang.
Jelas ada kesalahan besar dari pengemis itu. Pertama, Â kita sudah terbiasa memiliki pandangan bahwa yang mengasuh dan menggendong anak adalah perempuan (mungkin ibu atau kakaknya). Kedua, pengemis yang membawa anak (yang entah kenapa biasanya selalu tidur) tujuannya untuk memancing rasa iba. Bayangkan seorang perempuan dengan anak yang cukup besar digendong-gendong berkeliling dari satu mobil ke mobil lainnya. Sedangkan, laki-laki dianggap biasa saja untuk membawa beban yang berat, sehingga gendongannya tidak menimbulkan rasa iba. Jelas, pengemis tersebut salah menerapkan model bisnis, sekedar ingin ikut-ikut ibu-ibu pengemis.
Kegiatan mengemis mengalami perkembangan yang cukup pesat, seiring dengan berkembangnya kreativitas dan ketatnya persaingan antar pengemis. Awalnya, kebanyakan pengemis adalah orang cacat. Namun kemudian, banyak pengemis yang berpura-pura cacat, dengan menyembunyikan tangan atau kakinya di balik pakaiannya. Akibatnya banyak orang yang kehilangan kepercayaan kepada pengemis. Pengemis cacat berupaya mengatasi krisis kepercayaan ini dengan membuka bajunya, menunjukkan bahwa ia benar-benar cacat. Namun hal ini tidak sepenuhnya berhasil. Banyak orang yang tidak nyaman melihat kecacatan dipertontonkan. Ada beberapa variasi mengemis lainnya, seperti pengemis yang buta digendong oleh temannya, pengemis ngesot. Hal yang terakhir ini berat dilakukan di jalan raya, karena mereka terganggu dengan motor-motor yang menyelip di antara mobil. Akhirnya mereka lebih banyak mengemis di bus kota ataupun KRL ekonomi. Sekarang ini ada lagi fenomena di mana para tunanetra berkeliling berjualan krupuk. Mereka bukan pengemis, tapi pedagang biasa. Namun tentunya banyak yang membeli karena rasa iba.
Pengemis anak-anak cenderung lebih menyentuh perasaan orang untuk memberikan uang. Namun banyak juga yang tidak menyukainya, terutama jika mereka mengemis di jalan, yang membahayakan jiwa mereka. Akhir-akhir ini banyak anak-anak yang sudah tidak lagi mengemis, tapi menjual cobek. Mereka cukup duduk di pinggir jalan menjajakan cobeknya, sambil terkantuk-kantuk, menarik perhatian dan menimbulkan rasa iba.
Bagi pengemis yang tidak cacat, ada inovasi dengan menggunakan karton yang bertuliskan kesulitan yang dihadapi. Penampilannya memberikan kesan yang ambigu, antara bisu atau agak terkebelakang.
Sementara itu, kebanyakan ibu-ibu sekarang ini  mengemis dengan menggendong anaknyadan adapula yang melengkapi dirinya dengan alat musik kecrekan. Mereka itu menggabungkan antara mengemis dan mengamen. Dan yang paling lengkap adalah melakukan keduanya, menggendong anak sembari mengkecrek-kecrek.
Menghadapi fenomena pengemis yang merangkap pengamen, maka pengamenpun juga menjadi pengemis, dengan mendatangi mobil-mobil. Bernyanyi di depan jendela mobil yang tertutup, yang biasanya tidak terdengar oleh penumpang mobil. Biasanya pengendara mobil memberikan uang bukan sebagai apresiasi atas hiburan yang diberikan, melainkan sekedar memberi. Â Â Pengamen-pengemis yang lebih merupakan pengamen biasanya membawa alat musik, terutama gitar. Sedangkan pengamen-pengemis yang lebih merupakan pengemis biasanya hanya menggunakan kecrekan ataupun sekedar tepuk tangan.
Mungkin yang paling berat adalah pengemis merangkap pemalak, sebagaimana yang sering terjadi di bis kota. Sebelum atau sesudah bernyanyi, mereka biasanya berpidato. Minta dihargai karena memilih profesi menjadi pengamen, bukan menjadi penjahat. Dan jika kita tidak menghargai upayanya, mereka dapat terjerumus ke dunia kriminal. Dan jika kejahatan meningkat, maka itu merupakan tanggung jawab para penumpang bus yang tidak menghargai pengamen.
Mengemis sudah bagaikan sebuah bisnis. Para pengemis berinovasi untuk menciptakan berbagai strategi untuk menarik rasa kasihan dari para dermawan. Dengan cepat pula, biasanya mereka mengadopsi best practice dan strategi-strategi yang ampuh.
Arti dari semua cerita ini adalah mengemis telah menjadi suatu usaha. Para pengemis adalah enterpreneur atau wirausaha, yang menggunakan segala kreativitas dan strategi untuk merebut hati para dermawan dan memenangkan persaingan antar pengemis. Mereka bukan fakir miskin yang wajib kita bantu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H