Ini sebetulnya sebuah cerita tentang peristiwa yang terjadi sekitar setahun yang lalu. Ketika itu saya secara kebetulan mendapat kesempatan melihat beberapa mahasiswa yang menjalankan bisnis MLM melakukan “pedekate” kepadaprospeknya yang merupakan yuniornya di sebuah ruang kafe di Salemba. Kebetulan fakultas tempat para mahasiswa tersebut kuliah masih menyelenggarakan orientasi mahasiswa baru. Mahasiswa baru masih mengenakan jaket kuning dan mengumpulkan tandatangan seniornya.
Ceritanya, seorang mahasiswi baru diperkenalkan oleh temannya sesama mahasiswi baru yang baru saja bergabung di bisnis ini kepada seorang seniornya. Seniornya ini juga mahasiswi, yang sudah menunggu mereka di kafe bersama rekannya, seorang mahasiswa yang tampaknya lebih senior lagi dari fakultas lain. Awalnya mahasiswi baru ini sekedar meminta tandatangan. Setelah selesai memberikan tandatangan dan berkenalan basa-basi, si mahasiswi senior mulai memperkenalkan bisnisnya. Sebetulnya si mahasiswi baru sudah ingin pulang, tapi berhasil ditahan oleh si senior.
Kebetulan MLM ini memiliki alat bantu yang cukup efektif, sehingga dengan cepat si mahasiswi baru tertarik untuk mendengarkannya.Kebetulan si mahasiswi senior juga pintar sekali memberikan penjelasan secara menarik. Dia menjelaskan mengenai bisnis franchise, Robert Kiyosaki, peluang bisnis tanpa modal besar, dan pendiriMLMini yang mendapat penghargaan dari lembaga-lembaga internasional karena telah banyak mengubah nasib orang. Namun hal yang paling mengena di hati si yunior adalah ketika dikatakan bahwa si senior terjun ke bisnis ini tidak untuk mendapatkan uang, melainkan untuk menolong orang lain agar bisa memperbaiki nasibnya. Karena itu, si mahasiswi senior misalnya me-rekrut supir taksi, pembantu dan orang-orang lain yang dirasakan lemah secara ekonomi. Tapi di lain pihak, si mahasiswi baru sepertinya sudah punya pengetahuan awal yang negatif mengenaiMLMdi mana menurut dia orang-orang yang terlibat diMLMpada akhirnya hanya sibuk mencari (mengejar) prospek downline, bukan menawarkan produk.Jadi walaupun dia tertarik, tapi dia juga masih ragu-ragu.
Selanjutnya, di acara penutupan, si mahasiswi baru diundang untuk menghadiri suatu pertemuan yang akan diadakan keesokan harinya. Si mahasiswi baru menyatakan tidak bisa hadir karena siangnya dia harus mengikuti pertandingan volley di Depok dan setelah itu harus belajar untuk Ujian Tengah Semester (UTS) Agama. Sepertinya padaMLMini sudah menjadi prosedur baku bahwa setiap pedekate harus segera ditindak-lanjuti dengan menghadiri pertemuan. Maka berubahlah suatu motivasi bisnis yang ingin menolong orang lain dengan sedikit pemaksaan untuk menghadiri pertemuan. Pertama, si mahasiswi senior menceritakan pengalamannya bahwa UTS Agama sangat mudah, kebetulan dosennya baik. Artinya si mahasiswi baru tidak perlu belajar banyak untuk mengikuti UTS agama. Dia bisa menggunakan waktunya untuk mengikuti pertemuan. Masalah selanjutnya adalah pertemuan diadakan di sekitar Salemba sementara pertandingan diadakan di Depok. Si mahasiswi senior kembali mendorong, bahwa ada kereta api ekspress pada jam 17.00 dari Depok. Sehingga secara keseluruhan tidak ada alasan bagi mahasiswi baru untuk tidak ikut pertemuan.
Pada saat saya meninggalkan kafe, sepertinya pembicaraan antar mereka belum selesai. Saya kasihan dengan mahasiswi baru itu. Pertama, dia dimasukkan ke dalam situasi dengan posisi yang sangat lemah. Di hadapannya ada seorang mahasiswi senior yang sebelumnya telah berbaik hati memberikan tandatangan pada buku orientasinya. Sebagai mahasiswi baru tentunya ada rasa takut dengan seniornya, karena kebetulan masih dalam masa orientasi. Apalagi dalam pertemuan kemarin mahasiswi baru ini sendirian berhadapan dengan dua orang senior. Saya membayangkan sangat sulit bagi mahasiswi baru ini untuk menilai secara objektif bisnis ini atau berkata tidak untuk tawaran bisnis ini, jika ternyata dia tidak tertarik.
Kedua, saya kasihan bahwa ada upaya pemaksaan bagi mahasiswi itu untuk menghadiri pertemuan, bahkan dengan mengorbankan UTS-nya.
Ketiga, mahasiswi baru tersebut diberikan suatu CD untuk mempelajari bisnis itu dan diminta untuk bertemu lagi dengan seniornya ini untuk menanyakan apa saja yang dia tidak mengerti atau ragu-ragu terhadap bisnis ini. Artinya si mahasiswi baru ini, seandainya sulit untuk secara tegas menolak bergabung, sulit untuk melepaskan diri dari si mahasiswa senior. Bahkan secara psikologis, suatu penolakan dapat menyebabkan dia menghadapi suasana kampus yang menjadi kurang menyenangkan.
Ingin saya membantu si mahasiswi baru tersebut, paling tidak berupaya menyamakan posisinya dengan posisi seniornya. Tapi tentu saja hal itu tidak dapat dilakukan. Namun yang kembali terngiang di kuping saya adalah suatu bisnis yang begitu baiknya dengan tujuan menolong orang lain, memberikan pendapatan sehingga tidak menyusahkan orang tua, dan dilaksanakan dengan mudah dalam suasana kerjasama dan tolong menolong berubah menjadi upaya pemaksaan seperti itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H