Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

WTP: “Menembus Batas Hambatan Kultural”

28 Juli 2010   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

WTP: "Menembus Batas Hambatan Kultural"

Oleh: Emil E. Elip

Harian Serambi 30/6/2010 lalu menurunkan berita kecil, yang sesungguhnya merupakan perkara besar, berjudul "Sabang Kembali Dapat WTP" untuk tahun 2009, dimana tahun 2008 juga telah mengantongi predikat ini. Jadi setidaknnya sudah enam kabupaten/kota di Propinsi Aceh yang berhasil meraih WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), yakni Aceh Tengah, Lhokseumawe, Banda Aceh, Langsa, Pidie Jaya dan Sabang (lihat juga Serambi 5/9/2009). Mengapa predikat WTP dari BPK-RI perwakilan Aceh ini merupakan perkara besar?!

Dalam konteks Aceh predikat WTP ini menjadi perkara besar karena tiga ranah alasan, yaitu: Pertama, sistem keuangan daerah pernah dibuat "kalang kabut" karena keluarnya tiga peraturan Pusat dalam rentang waktu amat pendek. Belum paham yang satu sudah muncul yang baru. Baru dibaca-baca hendak dicoba diterapkan yang baru ini, eh...datang yang terbaru!! Tahun 2006 muncul Permendagri no. 26 tentang Pedoman Penyusunan APBD, kemudian muncul Permendagri No. 13 Tahun 2007, dan diperbaharui lagi dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Aparatur di daerah terpaksa melaksanakan sistem keuangan "campur aduk" lantaran intepretasi yang berbeda-beda atas tiga pedoman keuangan tersebut.

Carut marut ini ditambah lagi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 mengenai Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah, yang memaksa pemerintah daerah secepat-cepatnya merombak struktur organisasi, termasuk memusatkan segala urusan keuangan dan asset daerah di bawah satu instansi yang disebut Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD).

Kedua, Propinsi Aceh belum lama menata pemerintahannya menuju good-governance dalam situasi keamanan yang lebih stabil, namun sudah mampu beberapa kabupaten/kota-nya meraih predikat keuangan daerah cukup prestisius. Ketiga, dalam konteks Aceh yang secara sosio-kultural amat kental ikatan-ikatan kekerabatan serta relasi primordial-paternalistiknya, tentu membutuhkan "energi" yang luar biasa besar guna mencapai WTP.

Tulisan pendek ini ingin mereintepretasi kembali capaian WTP oleh beberapa kabuaten/kota di Aceh bukan dalam ranah ekonomi-akuntansi, namun ingin masuk kedalam tema-tema analisa sosio-kultural guna memperkaya konteks pembelajaran kita.

Melompati Sekat Primordial-Paternalistik

Dari sudut bahasa ekonomi-akuntansi penilaian WTP tersebut hendak melihat performa akuntabilitas dan transparansi sebuah pemerintahan kabupaten/kota menerapkan sistem keuangannya: Tepat waktukah dia; Sesuai kaidah peraturankah dia; Adakah temuan ke arah korupsi; Transparankah dia; dll. Yah...secara teknis sesungguhnya sederhana saja dan umumnya di daerah sudah memiliki format yang computerise. Namun jika ingin ditilik dari sudut konteks sosio-kultural, masalah "keuangan" tidaklah sesederhana itu!

Pada awal-awal penerapan tata kelola keungan yang baik pasti muncul penolakan atau perlawanan. Tentu saja penolakan tersebut tidak mungkin terungkap secara verbal.Namun, persis pada ranah "penolakan" inilah maka mewujudkan performa pengelolaan keuangan yang baik ternyata bukan sekadar menegakkan Qanun Pengelolaan Keuangan Daerah, standardisasi harga barang, penerapan software keuangan, atau ketersediaan bendaharawan serta akuntan handal. Dengan kata lain ada tema sosio-kultural yang mesti diperbincangkan bahkan kalau perlu sekat hambatan yang ada harus "ditembus".

Menerapkan performa pengelolaan keuangan yang baik di pemerintahan lokal memerlukan energi yang luar biasa besar. Energi yang terus bergerak terfokus dilandasi leadership dan political will kuat, untuk melompati sifat sektoral instansi yang egonya minta ampun, dan lebih-lebih lagi menembus sekat-sekat hambatan dasar kultural di tingkat kesadaran individu serta masyarakat. Seperti kita semua tahu bahwa primordial-paternalistik adalah satu ciri sifat dasar budaya bangsa kita, termasuk di masyarakat Aceh. Ringkasnya, sifat budaya ini ialah kecenderungan memberikan penghormatan atau bentuk-bentuk prevelese lain terhadap orang/pihak yang dianggap "dituakan" atau secara ikatan kekerabatan dianggap "lebih tinggi", dan disisi lain juga mengutamakan relasi ikatan "keluarga" (bisa suku, marga, silsilah, dll) atau "kelompok" (bisa ideologi agama, asal usul daerah, partai, dll).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun