Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial

13 Maret 2014   05:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 2826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Desa, UU Desa 2014, dan Perubahan Sosial

Oleh: Emil E. Elip

Sudah ratusan tahun sejak jaman penjajahan Belanda, “desa” menjadi ajang pemikiran, arena eksplorasi dan eksploitasi, ajang perebutan, pergolakan politik, dll. Sebagian para ahli resah tidak rela jika desa dianggap replikasi dan bagian dari kekuasaan negara, sebagian ahli lain terutama ahli teknokrasi pembangunan sangat bersemangat bahwa desa merupakan bagian dari negara NKRI.

Sebagian ahli yang tidak rela jika desa dianggap bagian dari negara secara struktural mengambil alasan bahwa pada jaman Belanda desa-desa sudah diakui otonominya oleh Belanda, bahkan adat istiadatnya dibiarkan berkembang. Kita harus akui bahwa para birokrat Belanda yang dikirimkan ke Indonesia pada penjajahan dulu adalah para sarjana yang sangat ahli dalam studi-studi sosial. Mereka paham betul dan sangat tepat memotret secara antropologis maupun sosiologis sendi-sendi kebudayaan masyarakat Indonesia di desa-desa, dan karena itu mereka tahu betul bagaimana caranya “melemahkan” dan memecah belah antara rakyat jelata, para priyayi keraton/raja, serta para elit adat dan agama.

Agar “kehausan” para penjajah Belanda menguasai aset-aset di tingkat grassroot ini bisa terjadi secara langsung, dan tidak direcoki oleh para raja yang kekuasaannya tidak terbatas, maka “desa” harus sungguh-sungguh mereka pahami dan nampaknya mereka bisa menemukan kekuatan entitas desa sebagai teritorial maupun otonomi. Oleh karena itu kemudian dihembuskan desa sebagai entitas otonom dan bermartabat, agar memiliki kekuatan melawan raja mereka. Jika sebuah desa tak mampu ditahklukkan secara sosiologis, maka yang dilakukan adalah sebaliknya yaitu pusat kekuasaan raja yang didekati agar para raja lokal menekan desa dan rakyatnya sendiri. Ini bisa dilakukan karena para sarjana Belanda tersebut pun sangat paham kultur para priyayi kerajaan beserta simbol-simbol budaya kekuasaannya.

“Kepongahan” kita adalah apa yang sudah ditemukan oleh Belanda itu kita anggap “bagai pahlawan” bahwa Belanda-pun menghormati adat istiadat dan otonomi desa. Para sarjana “pongah” ini kemudian membayangkan suatu kondisi dimana negara dan pemerintah dewasa ini seyogyanya dapat meniru sikap pemerintah Belanda atas otonomi dan kekhasan desa.

Memberhentikan Sejarah Desa

Membayangkan desa-desasaat ini seperti desa-desa di jaman penjajahan Belanda 350 sampai 400 tahun yang lalu sungguh sebuah kecenderungan yang “menghentikan sejarah”. Hal yang tidak bisa dihentikan adalah bahwa sejarah terus berjalan, seiring perubahan yang cepat ataupun lambat datang dari luar sebuah komunitas maupun desa. Kebudayaan sebuah komunitas hanya memiliki dua pilihan, yaitu menghindari sejarah atau mengikuti sejarah perubahan yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Nampaknya sangat sedikit komunitas yang menyurutkan diri dari pertahutan relasi dengan dunia luar yang lebih luas.

Komunitas-komunitas adat tersebut yang menjauhkan diri dari arus sejarah modern, misalnya saja komunitas Badui (dalam), sekali lagi hanya sangat sedikit. Eksklusifisme mereka justru sama sekali tidak bersinggungan dengan negara dalam urusan yang disebut “desa” baik secara teritori maupun tatakelolanya. Komunitas-komunitas adat yang tidak eksklusif, yang sudah bertautan dengan komunitas-komunitas terorganisir dalam sebuah sistem yang disebut desa, inilah yang sering menjadi perdebatan yang pelik seakan-akan menumbuhkan banyak persoalan.

Bagaimanapun sebuah komunitas masyarakat tentu memiliki “eksistensi kultural” yang mereka yakini. Berhadapan dengan komunitas dunia luar maka tumbuh dua persoalan, Pertama, masyarakat dunia luar tidak mengetahui cara menghormati adat-budaya mereka dan disisi lain komunitas adat tersebut tetap ingin dihormati eksistensinya. Sesungguhnya ini hanya masalah pendidikan atas keberagaman yang sayang pemerintah sama sekali gagal mendidik masyarakatnya mengenai “penghormatan atas keberagaman”. Sementara itu para “pengembara dunia politik” yang kebanyakan pongah juga, memanfaatkan sentimen etnis, kelompok, dan golongan tersebut untuk mengais-ngais suara menggalanag kekuatan masa.

Bagi saya konflik antar komunitas adat dan komunitas masyarakat disekitarnya adalah hal biasa. Dia merupakan bagian dari “sintesa dan antitesa” sosiologis. Konflik merupakan perjalanan sejarah suatu komunitas untuk “meng-ada” dan melakukan kompromi-kompromi solutif, asalkan tidak ada pihak ketiga yang mau memanfaatkannya. Setiap komunitas akan membangun “pandangan”-nya sendiri atas perbedaan, kemudian membangun pembelajarannya sendiri atas kejadian-kejadian yang dialaminya, selanjutnya dari pembelajaran itu akan membangun konstruksi solusi dalam bentuk tata nilai baru termasuk tata nilai dalam relasinya dengan dunia luar.

Jika setiap komunitas masyarakat tidak memiliki kemampun mengkonstruksikan sejarah pengalaman hidupnya, maka komunitas-komunitas tersebuta akan punah dengan sendirinya saling membunuh. Setiap individu pada prinsipnya ingin hidup aman dan damai, begitu pula setiap komunitas yang merupakan kumpulan dari individu yang membangun “pandangan hidup” yang sama.

Konflik yang berkepanjangan dan semakin tajam dikarenakan adanya pihak ketiga yang berupaya mengambil keuntungan dari komunitas-komunitas yang sedang berkonflik, entah konflik berbau agama, berlatar belakang etnis, konflik tapal batas, dll. Ranah konflik tersebut termasuk juga pada level para cendekiawan yang pongah, cendekiawan yang berfikir konvensional-romantis dengan penganut paham modern-absolut, yang ingin menghormati adat dengan cara menghentikan sejarahnya, dan macam-macam lain. Perubahan-perubahan kebijakan yang paling ideal biasanya menjadi sasaran “arena” perdebatan itu, sehingga belum sampai sebuah kebijakan tuntas dilaksanakan dan dikaji lessons-learned-nya arus perdebatan sudah bergulir sebegitu rupa seakan-akan perdebatan itulah solusi terbaik.

Desa Dalam Teori-Teori Perubahan Sosial

Sesungguhnya yang sedang kita upayakan dengan pembuatan udang-undang adalah untuk sebuah “perubahan”. Tentu saja dengan maksud untuk menuju perubahan yang lebih baik. Namun sebelumnya mari kita menelusuri “apa makna perubahan” itu, teori-teori apa yang telah menjelaskan tentang perubahan yang sudah terjadi dan atau diprediksikan akan terjadi di dalam masyarakat. Ada dua ranah besar perubahan yang akan dibahas di sini, yaitu “perubahan sosial” (social change) dan “perubahan kebudayaan” (cultural change). Apa hubungan antar keduanya, apa dimensi pada masing-masing “perubahan” tersebut, dan akhirnya mari kota coba menghubungan antara perubahan yang diharapkan melalui UU no 6 Tahun 2014 Tentang Desa (UU Desa 2014) yang baru dengan kedua jenis perubahan tersebut.

Apakah “Masyarakat” (Society) Itu?

Dampak yang diharapkan dari diberlakukannya UU Desa 2014 adalah suatu perubahan yang lebih baik di dalam masyarakat, dalam hal ini masyarakat di level grassroots, desa. Oleh karena itu perlu didiskusikan di awal apa makna “masyarakat” yang dibayangkan oleh UU Desa 2014 tersebut --tentu dalam hal ini adalah persepsi yang dianut oleh para penyusun UU Desa 2014 tersebut tentang konsep masyarakat. Secara umum para ahli sosial dan perubahan masyarakat menganut dua jenis konsepsi tentang masyarakat, yaitu static perspective dan dynamic perspective. Static perspective mengasumsikan bahwa masyarakat itu bergerak atau berubah secara statis (pelan) sesuai dengan struktur sosial yang dimiliki. Sementara perpective dynamic berasumsi bahwa masyarakat akan selalu bergerak atau berubah secara dinamis, tergantung besar kecilnya faktor eksternal yang ber-”relasi” dengan masyarakat bersangkutan.

Masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling ber-relasi melalui seperangkat tata-nilai yang disepakati dan dipahami bersama, sebagai ikatan kehidupan. Sebagai sebuah “sekumpulan orang-orang” maka bisa dibedakan dengan jelas antara “masyarakat (society)” dengan “kumpulan massa” (group of mass), dan komunitas (community). Dua peristilah yang terakhir muncul untuk merujuk kepada “budaya pop” (pop-culture) yang berkembang dewasa ini. Maka segera bisa kita bedakan antara “masyarakat desa” dengan “masyarakat perkotaan”, dimana masyarakat perkotaan jelas lebih menyerupai group of mass dan atau community. Kumpulan massa sesungguhnya bukan kumpulan manusia (human) dalam pengertian konsepsi masyarakat. Di dalam kumpulan massa atau komunitas-komunitas populer tidak terbentuk “civilization” seperti yang terjadi dalam society.

Berbasis pada tiga pemberdaan terpapar di atas, maka dalam konteks masyarakat millenium dewasa ini jelaslah kita tidak bisa lagi menyamaratakan apa yang disebut “desa” sebagai kumpulan manusia. Apa yang saya maksudkan adalah bahwa saat ini ada desa-desa yang masih memiliki roh “civilization”, namun ada banyak desa (bahakan cenderung makin bertambah dari waktu ke waktu) yang sudah sangat tipis roh “civilization”-nya. Desa-desa diperkotaan atau yang saat ini banyak beralih fungsi disebut “kelurahan”, dan desa-desa yang terletak dipinggiran perkotaan dimana sendi-sendiri kehidupan perkotaan serta budaya populer telah merasuk, lebih cenderung ke aras “mass-community”.

Di dalam UU Desa 2014 disebutkan “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia….” (BAB 1 KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 5). Istilah-istilah seperti kesatuan masyarakat hukum, hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya, merupakan sebuah bangunan cultutal yang terejawantahkan dalam sub socio-cultural yang disebut civilization.

Merupakan pekerjaan rumah yang amat besar, yang menurut saya mau tidak mau harus dilakukan, adalah menganalisa dan memilah-milah dari puluhan ribu desa di Indonesia kedalam mana desa yang masih bercirikan “society-village civilization”, desa yang bercirikan antara “society-village civilization dan village mass-community” serta desa-desa yang sungguh sudah menjadi “village mass-community”. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka sesungguhnya UU Desa 2014 yang baru disahkan tidak dilandasi dengan social and cultural theory yang sungguh dipersiapkan dengan matang untuk menjawab “perubahan sosial”. Tentu UU Desa 2014 tersebut diawali dengan Naskah Akademik yang menjadi bangunan pemikirannya, namun semua jalinan pemikiran yang ada didalamnya bersumber utama dari teori-teori berbasis developmentalist.

Apa yang secara lebih luas sedang kita perbincangkan di atas adalah tentang desa yang sudah berbeda-beda sendi-sendi sosialnya satu sama lain, serta alasan-alasan teoritis yang mengasumsikannya, adalah suatu hal yang sudah disinggung di awal, yaitu tentang konsepsi perubahan sosial (social-change) yang akan kita bahas berikut ini.

Antara Gemeinschaft dan Gesellsfschaft

Sebuah konsepsi yang mirip dengan konsep community dan society, dan yang cukup akrab di telinga masyarakat akademis di Indonesia mengenai teori-teori klasik tentang masyarakat adalah konsep Gesellschaft (society) dan Gemeinsshaft (community). Kedua konsep ini berbasis pada premis-premis adaptasi masyarakat terhadap “lingkungan”. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dalam arti lebih luas seperti lingkungan ekologi, konflik yang terjadi didalam masyarakat sendiri, relasi-relasi dengan dunia luas masyarakat, dll.

Berdasarkan premis “kemampuan adaptasi” itu maka di dalam masyarakat Gesellschaft (society) diidentifikasi dimana segala perubahan masyarakat dan pembangunan yang terjadi dari proses adaptasi hanya pada level individu. Sementara berlawanan dengan itu, di dalam masyarakat Gemeinsshaft (community) perubahan masyarakat dan pembangunan terjadi pada level kultural (dalam pengertian tidak hanya terjadi langsung dalam level individu saja). Itu sebabnya maka Gesellschaft lebih bercirikan individualistic, condong ke bentuk mastyarakat perkotaan, dimana relasi internalnya diikat oleh apa yang disebut “peraturan” dan bukan perangkat pandangan tata-nilai nilai tertentu. Berbeda dengan hal tersebut, Gemeinsshaft lebih condong kepada masyarakat yang “komunal”. Deferensiasi mungkin tetap ada dalam cara hidup masyarakatnya, namun mereka masih terikat dengan sebuah kode-kode tata-nilai yang dianut bersama pada level ideologi yang disebut “kebudayaan” (culture).

Dari segi konsep “adaptasi perubahan” masyarakat Gesellschaft cenderung lebih cepat menerima kemungkinan ide perubahan asalkan individu di dalam masyarakat tersebut dapat mentolerer bahwa perubahan tersebut dipandang memiliki justification cost “menguntungkan”. Sebaliknya tidak serta merta demikian proses perubahan di dalam Gemeinsscaht. Ide perubahan baru mungkin bisa diterima secara positif oleh seorang individu di dalam masyarakat Gemeinscahft, namun belum tentu dengan sendirinya akan di-recognizing menjadi peraturan bersama yang disepakati karena ide-ide tersebut harus berhadapan dengan bangunan cultural tata-nilai yang ada.

Jadi apa maknanya jika konsepsi Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft yang sudah dipaparkan di atas dikaitkan dengan introdusir UU Desa 2014 yang baru? Yang Pertama, jelas, bahwa UU Desa 2014 tersebut mau tidak mau berimplikasikan “menyamaratakan” konsepsi Gemeinschaft, Community, Gesellscaft, dan Society.

Kedua, konsep Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat dan sosial budaya masyarakat setempat…” (seperti tertuang di dalam UU Desa 2014), sangat memikin kerancuan karena pada kenyataannya tidak semua desa di Indonesia bisa didefinisikan semacam itu. Atau dengan kata lain, konsep tersebut sungguh “menutup mata” terhadap kenyataan bahwa di masyarakat kita terdeferiansi seperti Gemeinschaft, Society-Village Civilization, Village Mass-Community, dan Gesellschaft. Konsep desa seperti tertuang di UU Desa 2014 tersebut dilandasi pandangan romantik-konvensional.

Premis-Premis Perubahan Sosial

Pertanyaan intinya jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru saja disahkan Desember 2013 lalu adalah, teori-teori perubahan sosial apa yang dipakai melandasi diluncurkan UU Desa 2014 dan teori perubahan sosial seperti apa yang menjadi potulat perubahan sosial di masa datang dengan diberlakukannya UU Desa 2014 tersebut.

Dengan diterbitkannya UU Desa 2014 sesungguhnya yang sedang dikerjakan adalah “melakukan perubahan” untuk “desa” khususnya untuk kemakmuran masyarakat desa. Bahwa untuk kemakmuran masyarakat desa tersebut perlu dirancang sistem organisasi desa yang lebih baik, peraturan pemelihan kepala dan perangkat desa yang lebih baik, pendekatan pembangunan tentang desa secara lebih baik, pengaturan relasi antara desa dengan supra desa lebih baik, penganggaran budget untuk desa secara lebih baik, semuanya memang benar harus diatur. Meskipun demikian, dalam artian bahwa semuanya itu ditujukan untuk “hal yang lebih baik” tentang desa, bisa saja “perubahan” yang diharapkan meleset dari yang diperkirakan karena latar belakang pemikiran teoritis yang kurang matang apalagi hanya didorong oleh “ketergesa-gesaan”.

Secara teoritis-epistemologi ada dua konsep yang dibayangkan mengenai model perubahan, yaitu model perubahan statis dan model perubahan dinamis. Perubahan masyarakat yang statis tidak berarti bahwa masyarakat tersebut tidak mengalamai perubahan. Model perubahan masyarakat statis bermula dari para ilmuwan yang menganggap bahwa masyarakat akan berubah dengan sendirinya karena memang begitulah filosofi dasar kehidupan “manusia”. Cepat atau lambat manusia, begitu juga masyarakat, akan berubah sesuai berkembangan kehidupan dan sosialitasnya. Sementara model perubahan dinamis berasumsi bahwa masyarakat bisa dikondisikan untuk cepat berubah asalkan akses-akses untuk perubahan disediakan sedemian rupa, baik dari sudut ekonomi, keorganisasiannya, dan nilai-nilai yang ditawarkan kepada suatu masyarakat.

Model perubahan (social change) yang statis diasumsikan oleh karena perubahan tersebut akan berhadapan dengan “bangunan kultur” yang biasanya lamban untuk berubah. Sementara model perubahan dinamis diasumsi bahwa perubahan tersebut akan mempengaruhi level sosial (relasi kesepakatan-kesepatan antar individu atau kelompok), dan tidak pada level kultural.

Bagaimana sebuah “materi” perubahan atau ide-ide perubahan –-misalnya dalam hal ini adalah ide-ide yang ada di dalam substansi UU Desa 2014 yang baru-- berproses dalam mendorong perubahan di masyarakat? Salah satu teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan hal tersebut beserta implikasi-impliksinya dalam konteks social-change dan cultural-change adalah teori tentang Justificfation-Cost, External Dissonance, dan Internal Dissonance, yang diungkapkan oleh François Facchini dan Mickaël Melki.

Kebudayaan, oleh François Facchini dan Mickaël Melki, dedefinisikan sebagai “…is a set of customary beliefs and values that ethnic, religious, and social groups transmit fairly unchanged from generation to generation and that is organized by an ideology. Ideology is the intellectual dimension of culture. It justifies its set of beliefs, values and norms”. Agar bisa terjadi perubahan sosial dan atau perubahan kebudayaan, Facchini dan Melki menganjurkan sebuah analisa terkait dengan Internal Dissonance, External Dissonance, dan Justification Cost oleh karena adanya kondisi dissonance tersebut.

Internal Dissonance adalah situasi atau kondisi di dalam internal masyarakat itu sendiri yang memunculkan potensi-potensi untuk terjadinya perubahan. Beberapa contohnya antara lain adalah perubahan sosioekomomi-demografi, yang diakibatkan dari bertambahnya jumlah penduduk dalam masyarakat bersangkutan. Contoh berikutnya adalah tentang inkonsistensi nilai-nilai akibat perubahan sosio-ekonomi demografi. Perubahan sosial dan kemudian selanjutnya adalah perubahan kebudayaam, hanya bisa terjadi jika terjadi inkonsistensi nilai secara komunal di dalam masyarakat. Apa yang dirasakan di dalam hidup realitas sehari-hari sudah tidak cocok lagi dengan nilai-nilai yang dianut atau dianjurkan dalam instrumen kebudayaannya.

Pada sisi yang lain, External Dissonance adalah kondisi-kondisi dari luar masyarakat yang mempengaruhi terjadinya inkonsistensi nilai bagi masyarakat bersangkutan. Misalnya saja pengaruh teknologi, sistem informasi yang semakin terbuka, perang, nilai-nilai demokratisasi, pola konsumsi, dll. Aspek-aspek Internal dan Eksternal Dissonance tidak bisa dengan sendiri gampang mendorong sebuah perubahan sosial dan atau perubahan kebudayaan di suatu masyarakat.

Facchini dan Melki menelaah adanya apa yang disebut “justification cost” yang harus dipertimbangkan oleh individu-individu di dalam masyarakat tersebut dalam menyerap kondisi pengaruh internal maupun eksternal dissonance tersebut. Mengenai justification cost tersebut Facchini dan Melki menjelaskan sebagai berikut when culture becomes problematic that it will be tested, otherwise stated, that individuals will seek to get rid of it because it doesnt seem to be sufficiently justified to be acceptable. Prohibitive justification costs explain deviant behaviour, e.g. changes of ideology…

Ketika kondisi-kondisi internal and eksternal dissonance datang bertubi-tubi maka akan (bisa saja) menumbuhkan “inkonsistensi” berbagai perangkat nilai-nilai kesepakatan yang sudah ada di dalam masyarakat. Inkonsistensi tersebut bisa ditemukan oleh sebagian kecil individu atau oleh sebagian besar individu di dalam masyarakat bersangkuta. Jika hanya sedikit individu yang mengalami inkonsistensi nilai maka sangat sedikit atau kecil justification cost-nya untuk mendorong terjadinya sebuah perubahan sosial apalagi perubahan kebudayaan. Jika sebagian besar dari masyarakat tersebut menemukan kondisi inkonsistensi maka besar justification cost-nya bahwa masyarakat (secara bersama-sama dalam jumlah memadai) mencari nilai-nilai baru yang lebih mampu menjawab kondisi mereka.

Kondisi inkonsistensi yang selanjutnya menumbuhkan kondisi inkoherensi nilai-nilai di dalam masyarakat tersebut adalah masalah “mental”. Seperti kata Facchini dan Melki, …Incoherence and the life of thoughts are mental events. These events are not visible but prepare the ideological change. They do not necessarily lead to concrete deviant actions but participate in the formation of a larger and larger gap between the constructed social reality and individual reality, imagination and logic of each individual.

Jika dikaitkan dengan UU Desa 2014 yang baru, maka UU Desa 2014 tersebut merupakan bagian dari kondisi external dissonance, sebuah kondisi dari luar yang dipersiapankan oleh para ahli sosial, akademisi, dan atau para teknokrat pembangunan. Mampukah substansi-substansi di dalam UU Desa 2014 tersebut mampu menumbuhkan kondisi “inkonsistensi dan inkoherensi” nilai di dalam masyarakat desa itu sendiri tentang konsepsi desa. Jika oleh karena introdusir UU Desa 2014 tersebut mampu menumbuhkan harapan baru bagi masyarakat pada saat masyarakat mengalami “inkonsistensi dan inkoherensi” nilai, maka substansi-substansi UU Desa 2014 tentu akan mendorong perubahan sosial yang mendasar di desa, dan bahkan tidak mungkin akan menjadi budaya baru tentang desa di masa datang.

Persoalannya bisa saja UU Desa 2014 yang baru tersebut terlaksana di desa tidak lebih sebagai “perubahan peraturan” baru, yang sama sekali tidak menyentuh gerakana-gerakan ide untuk perubahan sosial. Jika introdusir UU Desa 2014 tersebut hanya dipahami dan apalagi hanya menguntungkan para perangkat desa dan elit desa, maka sesungguhnya dia tidak menumbuhkan gejala “inkonsistensi dan inkoherensi nilai” di dalam masyarakat. Jika demikian maka terlalu kecil justification cost-nya dipertimbangkan oleh sebagian besar individu masyarakat (sebagian besar anggota masyarakat) disetujui sebagai awal gerakan perubahan sosial. Disinilah letak institutionalize aspect dari sebuah perubahan sosial.

Hebatnya UU Desa 2014 tersebut akan diikuti dengan sebuah “kucuran dana” yang sangat besar, yang katakanlah disebut dana pembangunan desa, yang besarnya bisa mencapai 1 Milyar per desa. Bisakah dia mendorong justification cost agar masyarakat (sebagian besar masyarakat) mampu dan mau mempertimbangkannya sebagai tahap-tahap dalam perubahan sosial desa? Jawabannya adalah “belum tentu”. Model serupa dengan UU Desa 2014 dan “uang” sesungguhnya sudah dimulai dengan program PPK (program pengembangan kecamatan) yang kemudian dilanjutkan PNPM Mandiri. Sudah sekitar 15 tahun PPK dikembangkan diikuti dengan kucuran dana yang tidak sedikit untuk desa. Sebuah konsep “institusional” kelembagaan pembangunan diperkenalkan melalui konsep yang disebut “pembangunan partisipatif”. Hasilnya secara garis besar, tidak ada perubahan sosial apalagi perubahan kebudayaan yang signifikan di desa-desa sasaran program tersebut di dalam beberapa konsep penting seperti “pemberdayaan”, “partisipasi”, dan “kemandirian”.

Dengan demikian yang ingin dikatakan di sini adalah UU Desa 2014 yang baru beserta “services-lips” yang menyertainya dengan dana pembangunan desa hampir mencapai 1 Milyar, tidak menjamin akan terjadinya kemandirian desa dan otonomi desa. Asumsi saya secara filosofi-perubahan adalah, karena sesunggunya “kucuran uang” itu yang ditawarkan agar ide perubahan sosial desa bisa berjalan. Kita tidak pernah merancang filosofi yang sebaliknya dari itu untuk pembangunan di rakyat kita. “Uang” yang besar yang selalu menyertai policy-policy untuk pembangunan dan kemandirian rakyat telah menjadi justification cost yang kontradiktif untuk perubahan sosial dan kebudayaan.

Bangsa Yang Cerewet

Indonesia disinyalir merupakan negara dengan jumlah perundang-undangan terbanyak didunia. Para teknokrat pembangunan dan birokrat mungkin berbangga hati dengan itu. Bahwa seakan-akan kita amat pandai mengurus tatakelola bangsa, masyarakat, dan pembangunan. Beragama saja diatur. Perkawinan diatur. Memberikan santunan diatur. Namun disisi lain hal itu bisa diintepretasikan bahwa kita adalah negara yang “amat keropos” dalam ideologi berbangsa, bermasyarakat, berbhineka, dan bermasyarakat.

Dan tentang “desa” kita telah membuat peraturan lebih banyak sejak pertama kali Belanda mengatur tentang desa. Pada zaman penjajahan Belanda terdapat peraturan perundang-undangan mengenai desa yaitu Inlandshe Gemeente Ordonantie yang berlaku untuk Jawa dan Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten yang berlaku untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Lama setelah itu baru pada tahun 1965 terbit UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Orde Baru kembali mengeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai desa yang ditandai dengan terbitnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan ini kemudian berubah lagi seiring dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan seiring dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hanya dalam 10 tahun kemudian perundangan tentang desa ini dirubah lagi dengan disahkannya UU Desa 2014 oleh DPR akhir tahun 2014 lalu.

Jadi, sejak 1965 sampai 2014 telah dibuat 5 kali perundangan tentang desa, yang rata-rata satu perundangan yang sama berumur tidak lebih dari 15 tahu. Artinya apa: memang kita “terlalu cerewet!”. Arti lain lagi adalah, kita tidak mampu mengenali dan memahami secara benar gerak sosiologis dan antropologis kondisi pedesaan kita. Kita jelas tidak mampu mengenalikarena terlalu banyak dan tamak bangsa dan negara kita “ingin mengatur desa”. Terlalu banyak hal tentang kehidupan masyarakat desa yang ingin kita atur, karena disisi lain kita terlalu takut bahwa masyarakat desa kita menjadi “berubah”. Terlalu banyak alasan ideal bersifat teoritis dan moral-ideologis yang ingin kita bayangkan terjadi dengan desa. Sementara sebagai kumpulan manusia, komunitas desa terus “berjalan ke depan” menerjang modernitas, berelasi dengan wacana kehidupan lebih luas, mengadopsi teknologi, dll.

Akhirnya sudah menjadi jelas bahwa yang namanya “adat” kita salah mempersepsikannya. Akhirnya tentang adat itu mau kita atur-atur, sebisa mungkin dimasukkan dalam model susunan logis peraturan negara. Dan nampak jelas sekali bahwa ketika “dinamika adat” itu didudukkan dalam tata-peraturan negara maka sangat sedikit yang bisa kita atur. Sampai kapanpun kita tidak pernah bisa mengaur adat dalam peraturan negara secara memuaskan. Sebab secara filosofis adat itu adalah kehidupan. Dia dinamis bergerak menyejarah sesuai perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Akhirnya toh…jika sidang pembaca menyimak dan meresapi pasal-pasal di dalam UU Desa 2014 yang disyahkan Desember 2013 lalu, sesungguhnya kita hanya mengatur desa menjadi memiliki arah desa yang organisatoris-modern. Tentang adat tidak disinggung banyak dalam perundangan itu, dan sekedar disublimasi menjadi “lembaga adat”.

Dinegara seperti Jepang, tidak pernah adat diatur dalam lembaran negara. Negera hanya menghormat adat sejauh dia masih dibutuhkan oleh para komunitas-komunitas yang masih menjaga adatnya. Hal ini tentu kita tidak bisa mengatakan bahwa negara Jepang dan masyarakatnya tidak menghormati adat yang berlaku dikomunitas-komunitas masyarakat yang berbhineka-ragamnya juga. Yang dilakukan oleh negara Jepang bersama para cendekiawan sosialnya mencoba melakukan “reservasi” adat dan kebudayaannya dengan merekonstruksi nilai-nilai adatnya dan menstransformasikannya dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan kehidupan modern. Dan itu nampaknya berhasil sejak Restorasi Meiji. Akibatnya sampai sekarang wacana tentang “adat harus dijaga melalui perundangan negara” tidak perlu dijadikan wacana cerewet yang dibahas kesana-kemari di Jepang.

Mereplikasi Negara di Desa

Sistem birokrasi desa berbeda dengan sistem birokrasi negara, seperti ditegaskan di dalam Naskah Akademik UU Desa 2014. Birokrasi negara didisain dan dikelola teknokratis dan modern dari sisi rekrutmen, pembinaan, penggajian (remunerasi), organisasi, tatakerja, tupoksi, dan lain-lain. Birokrasi Desa didisain dan dikelola dengan sistem campuran antara pendekatan tradisional dengan pendekatan modern (teknokratis), tetapi pendekatan teknokratis tidak bisa berjalan secara maksimal antara lain karena gangguan pendekatan tradisonal.

Penjelasan-penjelasan di Naskah Akademik UU Desa 2014 tersebut membuktikan ada perbedaan yang bermula dari “sejarah”, bahwa desa memang berbeda dari negara. Sistem teknokrasi pengelolaan negara tidak bisa diterapkan dalam sistem sosial birokrasi desa. Jika ditelaah UU Desa 2014 dalam sistem tatapemerintahan desa terlihat dengan jelas bahwa desa mau dibentuk menyerupai sistem teknokrasi negara. Berikut ini pernyataan-pernyataan di dalam UU Desa 2014 yang mengarah ke teknokrasi tatanegara tersebut:

Isu 1: Perangkat desa digaji oleh negara

§Pasal 34 ayat (1): Sekretaris desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan…

§Pasal 37 ayat (1): Kepala desa dan perangkat desa diberikan penghasilan tretap setiap bulannya dan atau tunjangan.

Penggajian terhadap kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat desa (yang dahulu disebut pamong desa) adalah sesuatu yang baik untuk memberikan kepastian penghasilan atas kerja mereka. Tetapi harus disadari bahwa “penggajian” itu merupakan tindakan yang kontra-produktif dengan prinsip otonomi desa masa lalu yang tidak mengenal penggajian karena kerja mereka dianggap “pengabdian”.

Yang ingin dikatakan disini bahwa penggajian terhadap perangkat desa tersebut tidak memiliki alasan filosofis-sosiologis desa sebagai entitas otonom. Sepetinya penggajian ini hanya didasarkan pada alasan hak sebagai orang yang sudah bekerja, orang yang sudah mendapatkan SK (Surat Keputusan) pengangkatan sebagai kepala desa, sekretaris desa, dan atau perangkat desa. Dia tidak ubahnya seperti “pegawai-pegawai” lain disebuah instansi pemerintah dan swasta.

Sekali lagi ingin ditegaskan disini bahwa UU Desa 2014 yang baru telah, katakanlah, mengijinkan bahwa mereka diberi imbalan oleh negara. Implikasi sosiologis-strukturalnya adalah sangat mungkin para perangkat desa itu tetap dan memiliki kecenderungan besar mengabdi kepada negara, bukan kepada rakyat meski di pasa-pasal lain diatur peran dan tugas mereka sebagai pamong rakyat.

Isu 2: Atribut dan Rekrutment Perangkat Seperti Negara

§Paragraf 8, Pasal 38: Kepala desa dan perangkat desa dalam melaksanakan tugasnya menggunakan atribut dan pakaian dinas.

§BAB VI Pemilihan Kepala Desa, Pasal 41 sampai Pasal 47…menjelaskan bahwa prosedur rekrutmen kepala desa mirip dengan pemilihan gunernur dan bupati.

Menarik untuk disimak bahwa UU Desa 2014 menganjurkan, atau mungkin setengah mewajibkan yang akan diatur oleh regulasi daerah masing-masing, bahwa perangkat desa harus memakai atribut dan pakaian dinas sebagai perangkat desa. Maka sudah relatif 50% bahwa jiwa mereka tidak terpisahkan dari “neragara: digaji oleh negara, dan memakai atribut dan pakaian dinas. Dengan demikian tegas pula dikatakan bahwa dalam hal atribut ini UU Desa 2014 yang baru sama saja dengan UU Desa 2014 sebelumnya.

Mengenai arena pemilihan kepala desa bisa dipastikan akan mirip-mirip saja dengan pemilihan kepala desa sebelumnya yang diatur dalam perundangan desa yang lama, yang telah membuktikan sebagai “arena tempur” partai-partai politik, arena tempur kelompok-kelompok tertentu, yang ujung-ujungnya rakyat sesungguhnya sumir memaknai apa arti leadership di desa. Model lama yang diberi baju baru dalam rekrutmen kepala dan perangkat desa ini, membuka peluang pemborosan atas nama pendidikan politik-demokratisasi di desa. Faksi-faksi dan kelompok yang terpecah belah masih akan terjadi. Demo-demo kontra-produktif atas nama pemilihan yang demokratis tentu diyakini tetap berlangsung. Kepala desa tumbuh dengan modal awal “mengutang” yang sangat besar, yang harus dibayar sepanjang dia menjadi penguasa desa meski harus dikemas dalam model kekuasaan terbagi (Trias Politika Desa-Pemerintah Desa, BPD, Masyarakat).

Dengan kasus-kasus empiris semacam ini, sesungguhnya tidak ada hal baru melalui UU Desa 2014 baru ini, karena akan terulang kembali. Artinya kita sedang “memperumit diri” dengan formula-verbal peraturan/perundangan, yang disisi lain kita tidak sadar bahwa permasalahan utama adalah “lemahnya pendidikan” demokratisasi dan tatakelola pemerintahan desa. Selalu saja kita mudah melayangkan pendapat jikalau desa mau otonomi, demokratis, transparan, partisipatif maka perundangannya harus dirubah!

Isu 3: Tidak Ada Kekuasaan Tunggal-Tiga Pilar Kekuasaan

§BAB VII Badan Permusyawaratan Desa, Pasal 48 sampai Pasal 54 yang mengatur peran dan fungsi BPD.

§BAB VII Musyawarah Desa, Pasal55, ayat (1) sampai ayat (5) tentang musyawarah desa.

§Bagian Kedua Lembaga Adat, Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2): pemerintah daerah dapat menetapkan berbagai kebiajakan…sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat.

Tidak ada kekuasaan tunggal di desa. Pemerintahan desa akan dibagi dalam 3 pembagian kekuasaan yaitu Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan Masyarakat. Model ini mirip dengan sistem negara: Pemerintah/Eksekutif, DPR/Legislatif, dan Rakyat. Tentu semua dengan tingkat peran dan kerumitan yang berbeda tetapi prinsipnya sama saja. Dengan kata lain sesungguhnya sedang diproses “Model Desa-Negara”. Agak aneh, dan merupakan cara berpkir yang tidak konsisten, jika ada orang yang menyangkal bahwa kita sedang memperoses “model desa-negara” melalui UU Desa 2014 yang baru ini ataupun UU Desa 2014 sebelumnya.

Di Bali sampai dengan NTT dikenal dua entitas desa, yaitu Desa Adat dan Desa Dinas. Desa adat adalah desa yang digerakkan dengan entitas filofis ahak asal-usul yang telah lama ada, sementara desa dinas menggambarkan desan sebagai entitas baru bentukan Orde Baru lengkap dengan perangkat kepala desa. Banyak kasus pembangunan menggambarkan bahwa partisipasi masyarakat tidak bergerak jika tidak melalui restu dan perintah kepala-kepala adat.

UU Desa 2014 yang baru nampaknya “ambigu” mensikapi dua problematika antropologis-sosiologis terhadap dua bentuk desa tersebut. Ingin ditegaskan disini bahwa di UU Desa 2014 baru, di dalam pasal-pasal yang mengaturnya, tidak sekalipun mencantumkan kata “Desa Adat”, yang ada adalah “Lembaga Adat”. Dengan pernyataan semacam ini maka sesungguhnya perdebatan eksistensi “desa adat” dan “desa” harus sudah selesai. Maka konsekuensinya adalah (1) Jika ada desa adat yang mempu dan memiliki instrumen mirip dengan desa (desa modern seperti dihenbuskan melalui UU Desa 2014 baru), maka desa adat tersebut bisa dipakai sebagai desa; dan (2) Jika desa adat yang ada tidak memenuhi pelaksanaan sebagai instrumen desa modern, maka desa adat yang ada diakui saja sebagai “lembaga adat” yang dikuatkan dengan peraturan darah untuk dihormati adat istiadat yang ada yang secara entitas tidak boleh bersandingan dengan “desa” sebagaimana dimaksud dalam UU Desa 2014 baru.

Jangan Jauhkan Desa Dari Negara

Membuat desa lebih otonom dalm mengurus dan mengelola pembangunan dan sendi kehidupan sosial termasuk menghormatan-penghormatan terhadap adat yang ada, adalah merupakan kebijakan yang baik. Tetapi segala upaya untuk memasukkan ideologi untuk membebas-jauhkan desa dari kehidupan tatakelola negara (NKRI), merupakan kegiatan “kelblinger” baik dalam ranah praktis maupun ranah teoritis.

Yang salah sejak jaman Orde Baru dalam praktik-praktik tata kelola negara dalam relasinya dengan desa adalah cara-cara kita mengisi substansi pembangunan yang berkaitan dengan desa, baik dari sudut siapa sesungguhnya yang bertanggungjawab membina pembangunan desa, siapa sesunggunya yang bertanggungjawab membina pengembangan kapasitas pemerintah desa, lemahnya pengawasan terhadap dana-dana yang sesungguhnya diperuntukkan bagi desa, korupsi yang meraja lela, dsb.

Sementara pemerintah yang sebelum-sebelumnya “bebal” untuk belajar memperbaiki diri dalam relasi mengisi substansi pembangunan bagi desa, wacana-wacana idealitik oposisi terlanjur berkembang begitu rupa seakan-akan telah tersusun perundangan baru yang lebih “ces-pleng” untuk membangun desa. Dan sayangnya, terus saja begitu terjadi berulang-ulang. Lalu berkembanglah wacana ekstrim-kritis yang menganjurkan desa dibuat semi-absolut-otonom yang “dijauhkan” dari urusan tata birokratis negara. Desa hendak dibuat semacam “teritorial-steril” dari tatakelola negara yang sudah dianggap bobrok. Desa ingin dianggap “self-governing community”, mengurus dirinya sendiri, otonom, berhadapan dengan negara, menjadi seperti “negara” di dalam “negara”.

Alasan idelogi-teoritisnya yaitu: (1) desa lebih dahulu ada dibanding negara (Republik Indonesia); (2) desa sejak dahulu kala telah mempu memerankan “self-governing community”; (3) Desa lebih dulu mempunyai teritorial, dan negara hanya mengklaim saja atas nama sistem ketatanegaraan; (4) Desa terbungkus kehidupan adat, dan bagaikan agama dia adalah hak pribadi (private) masyarakat desa yang harus dihormati. Wajah desa bagaikan “mulut besar” yang menganga semi-otonom diseluruh wilayah Indonesia, yang saya rasa tak ada perundangan manapun yang mampu dibuat untuk cukup kuat “menghadapi globalisasi”.

Di dalam negara yang belum dewasa benar mengatur tatakelola pemerintahan antara daerah, di dalam negara yang rapur sentimen pembangunan antar daerah, didalam negara yang mudah sekali dipicu konflik lantara konsolidasi sosiologisnya belum matang benar, di dalam negara yang mungkin masih “imajiner” tentang kebhinekaan-persatuan-dan kebangsaannya ini, maka “mulut besar” desa semi-otonom itu akan mudah minta suap gurita multinasional globalisasi.

Maka yang ingin ditegaskan disini adalah, jangan mengadu kepada “mamakmu” dan menyesal, mengapa ideologi desa semi otonom itu terlanjur digulirkan dan kini cepat atau lembat menjadi makanan empuk kapitalisme-global. Sayapun yakin tidak akan mampu negara mengaturnya lagi, memproteksi desa-desa kita agar tanggung menghadapi globalisasi. Negara, yang didalamnya berisi birokrat-birokrat yang sebagian besar masih tamak ini, mungkin justru berkong-kalikong dengan korporasi-global untuk mengunyah-unyah desa. UU Desa 2014 yang baru memang mengatur dan menganjurkan agar NKRI menaungi desa-desa tersebut. Apa itu artinya! Bayangkan bagaimana negara mampu mengatur ratusan ribu desa di Indonesia yang di “pantatnya” sudah terlalu tergesa-geda dipasang bom waktu melaju semi-otonom. Para cendekiawan pongah yang pernah disebutkan seblumnya tadi sangat fasih membahas dan menganjurkan “konsolidasi partai” demi menata demokratisasi, tetapi nampaknya agak kedodoran untu merumuskan maknanya “konsolidasi desa-desa”. Sudah lebih dari setengah abad kita “sisip-pikir” membangun tata kelola negara, dan kini bagai gelombang Tusunami datang dengan ratusan ribu desa yang siap menganga semi-otonom. Saya tidak habis pikir, model negara mana yang sedang ditiru-kembangkan oleh para sarjana-sarjana pongah itu. Ataukan mereka sedang membuat “laboratorium oplosan percobaan” ngotak-atik tatakelola negara sampai desa yang hanya berlandaskan atas rasa kecewa, dengan campuran macam-macam formula ideologi.

Jangan-jangan hanyalah “Desa Oplosan” nanti yang terbentuk. Lagu instans asal rame dan hingar bingar, yang tidak tahu lagi akar kesejarahannya dimana.

Membagi Kue Yang Disebut APBN

Alokasi Dana Desa (ADD) besarannya sekitar 100 juta sampai 250 juta yang diberikan kepada desa untuk kegiatan pembangunan. Besarnya memang bervariasi antar desa yang satu dengan desa yang lain tergantung kekuatan anggaran daerah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ADD itu peruntukannya amburadul, tidak terarah, dan bahkan tidak banyak kepala desa yang “menilep” lenyap uang itu. Dibalik masalah ADD itu sebenarnya ada masalah yang lebih banyak baik secara praktis, sampai masalah idealisme pembangunan, serta masalah kekeliuran berasumsi tentang desa.

Pertama, kapasitas pemerintah desa masih rendah untuk diberi tanggungjawab “mengelola” ADD menjadi instrumen support pembangunan desa. Apa makna “uang bagi kaum miskin”, apa arti pembangunan di desa, apa arti partisipasi, apa arti keberpihakan terhadap kaum miskin, ketampilan mengelola uang, dan macam-macam lain tidak ada di dalam diri para perangkat desa. Lalu mengapa dikeluarkan perundangan mengenai ADD?! Para cendekiawan pongah menelorkan gagasan: dari pada uang itu dikorupsi di tingkat pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten lebih baik diberikan ke desa supaya aparat desa belajar mengelola uang dan pembangunan.

Itu alur pikir utamanya. Tentu saja sebelum diputuskan perundangan ADD itu didahului dengan seminar, lokakarya, ajang perdebatan teoritis di hotel-hotel dan dengan dakik-dakik argumentasi teoritis hak-hak kaum miskin. Dibayangkan bahwa kapasitas pemerintah desa dan masyarakat desa itu perkara gampang, yang penting “uang” sudah ada di desa. Ternyata uang itu yang semakin membodohkan desa dan justru menumbuhkan problematikan yang meluas.

Kedua, Indonesia memiliki puluhan ribu desa. Luas teriorial desa jauh berbeda-beda. Jumlah penduduk berbeda-beda antara desa satu dengan desa lain. Perkembangan “kebutuhan” masyarakat desanya secara sosiologis sangat beragam. Sementara itu di dalam tata kelola birokrasinya semua sibuk dengan negosiasi anggaran, dan hanya bisa dihitung dengan jari para birokrat yang peduli dengan desa. Ada GAP yang menganga luas antara desa sebagai institusi di tingkar grassroots dengan pemerintah level kabupaten, apalagi provinsi dan negara. Maka jika sebuah perundang disusun secara tergesa-gesa, apalagi ketergesaan itu dilandasi dengan sikap emosional karena “sakit hati” atau terlalu jengkel melihat keburukan sistem tatakelola birokrasi pemerintahan, maka niatan bagus apapun untuk membuat perundangan itu hasilnya tetap akan tidak maksimal. Yang dimaksud “tidak maksimal” adalah bahwa ranah pemikiran yang tertuang didalam perundangan tidak akan mampu menangkap “semua sudut dinamika” yang akan berkembang di persoalan sosiak yang sedang atau akan diatur.

Ketiga, yang sifatnya ideologis berbangsa dan bernegara, di seantero Indonesia masih keddodoran untuk tidak mengatakan sangat lemah. Memang secara historis bangsa kita pernah disatukan melalui pernahklukkan oleh Gajah Mada-Majapahit dan kemudian dia mengangkat sumpah Palapa. Tetapi yang disebut persatuan ataupun kesatuan waktu ajaman Majapahit itu sepertinya “imajiner” sifanta. Bersatu karena dalam tekanan “kekuatan kemiliteran Majapahit”.

Sampai dengan penjajah Belanda masuk, kesatuan yang pernah disebut pada sumpah Palapa itu tidak membuktikan wujud yang serius: “persatuan itu secara histiris tidak pernah mengada”. Masuknya Belanda mengkocar-kacirkan lagi sumir makna persatuan bangsa Nusantara itu. Hanya sampai ketika Soekarno-Hatta membacakan Proklamasi “atas nama” bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, benarkah kita sesungguhnya telah bersatu secara ideologis dan praktik-praktik sebagai bangsa yang satu? Persatuan ini kiranya amat sumir, amat lemah. Hanya dalam ranah “persepsi”, ranah komsepsi, ranah keinginan-imajinatif, sesungguhnya persatuan itu bekerja. Secara praktik tatapemerintahan Pusat – daerah, kerja sama antar daerah, dalam ranah sistem organisasi pembangunan sebagai bangsa yang satu maka pengalaman kita masih sangat sedikit. Itu sebabnya bangsa ini rentan dan teramat sangat mudah digoyang konflik, apapaun jenis konfliknya.

Isu-isu yang muncul seputar dana yang akan dikucurkan untuk desa akibat dari disyahkannya UU Desa 2014 pada Desember 2013 lalu, jumlahnya fantastis karena akan diambil prosentase tertentu dari APBN dan dari prosentase itu akan dibagikan kepada desa. Kira-kira satu desa bisa memperoleh alokasi 1 Milyar rupiah lebih. Bisakah kita menjamin bahwa kasus-kasus seperti yang terjadi didalam ADD tidak terulang kembali? Tidakkah itu berarti kita sedang memanjakan desa dengan uang? Jika pikiran para ahli, sarja, dan cendekiawan pongah itu memakai alasan “tidak apa-apalah dari pada uang itu dikorupsi oleh birokrat?...lantas kapan lagi kita akan memberikan hak masyarakat atas pembangunan”, maka sesungguhnya kita sedang berhadapan dengan para sarjana yang hanya “sakit hati”, lebih buruk lagi kita sedang menghadapi sarjana-sarjana pongah yang tidak paham “phylosopy of social change”.

Ooo….gampang diatasi. Akan diberikan pengembangan kapasitas kepada perangkat desa untuk mengelola dana itu…”. Orang yang membangun program atau kebiajakan dengan sakit hati, digerakkan oleh nafsu tertentu yang berorientasi agar idealismenya tercapai. Dan nafsu itu mengakibatkan kelemahan-kelemahan realistik yang ada di dalam masyarakat harus dianggap hal sepele, dan tidak perlu ditanggapi. Sepintar apapaun, atau bahkan para sarjana itu alumnus dari universitas-universitas ternama di luar negeri, nafsu-ideologis akan tetap menjadi kelemahan dasar inherent pada diri individu manusia (sang sarjana). Tentu saja kekuatan pemikran para sarjana pongah ini kian hari kian banyak lantaran jumlah mereka semakin bertambah. Salah satu kelemahan lagi di dalam karakteristik masyarakat kita adalah, “kebenaran” itu adalah dibentuk oleh kekuatan terbesar, penganut pemikiran terbanyak, bahkan tentu pemberi “uang” terbanyak. Bahwa “kebenaran yang sesungguhnya” terkadang hanya ada pada segelintir orang, sudah tidak dipercaya lagi.

Sistematika ontologis para sarjana yang pongah itu tak mampu lagi membayangkan sedalam apa kerusakan yang akan terjadi di desa dengan memagang uang satu Milyar rupiah dan seberapa cepat pengembangan kapasitas mampu menutupi luka-luka kerusakan itu. Mari kita pikirkan dalam linier waktu, jika UU Desa 2014 yang disahkan Desember 2013 itu efektif dilaksanakan pada katakanlah tahun 2016, maka uang 1 Milyar untuk setiap desa itu kemungkinan besar akan terkucurkan di 2017. Lalu seberapa cepat kita mampu memberikan “pengembangan kapasitas” kepada puluhan ribu desa di Indonesia? Pengembangan kapasitas pada tahap 1 pasti belum bisa efektif mampu diterapkan, dan itupun satu pemerintahan desa mungkin hanya terwakili satu atau dua orang saja. Disisi lain seberapa banyak pelatih dan institusi pelatihan tersedia untuk melatih ratusan ribu perangkat desa agar desa relatif secara dasar sacara mampu mengelola uang satu Milyar?

Jika dibayangkan saja baru dalam kurun 4 atau 5 tahun sejumlah perangkat desa di seluruh pulahan ribu desa di Indonesia baru secara relatif efektif mampu mengelola dana desa satu Milyar tersebut, pertanyaannya kita tidak pernah bisa membayangkan seberapa besar kerusakan, kekacauan, konflik kepentingan, dan berbagai persoalan lain yang tumbuh di desa akibat adanya uang satu Milyar tersebut. Berbagai permasalahan tersebut bisa saja justru menjadi amat kontra-produktif dari bayangan semula tentang otonomi dan dan kesejahteraan. Siapa yang akan bertanggungjawab memperbaiki persoalan-persoalan sebagai sisa-sisa “di piring” akibat diluncurkannya UU Desa 2014 Desember 2013 itu? Mari kita lihat sejauh manakah dan siapakah yang berwenang “membina” desa dalam jajaran tatakelola institusi negara kita selama ini? Jakawannya adalah tidak jelas!

P e n u t u p

Saya ingin menutup paper kecil ini dengan nuansa yang lebih optimis dibanding paparan-paparan saya di atas yang cenderung skeptis. Tentu saja dengan maksud bahwa saya juga ingin melihat masyarakat desa menjadi lebih otonom, mandiri, memiliki partisipasi murni dalam menjalankan pembangunan lokal maupun regional, serta jangan sampai masyarakat desa hanya menjadi ajang para “petualang idealisme” yang tidak mempertimbangkan hancurnya bangunan-bangunan sosial masyarkat desa.

Pertama, saya berharap para sidang pembaca meyakini bahwa masyarakat adalah “bangunan sosial yang menyejarah”. Mereka adalah kelompok sosial yang hanya bisa belajar baik dari proses sejarah yang tepat dan kontinum. Mereka membutuhkan internalisasi yang cukup dan matang agar menjadi potensi perubahan sosial mendasar. Berdasarkan itu maka saya ingin, UU Desa 2014 yang baru saja diintrodusir ini tidak berubah dalam 10 tahun mendatang oleh para “petualang idealisme” baru. Segala kebijakan yang ditujukan kepada desa, yang selalu berubah dalam setiap 10 tahun, tidak akan memberikan perubahan apa-apa di desa, selain juga kebijakan-kebijakan seperti itu hanya menghabiskan uang negara.

Kedua, titik “paling kritis” tentang UU Desa 2014 tersebut bukan terletak pada substansi materi undang-undangnya, tetapi justru pada gejala-gejala negatif yang tidak mampu kita duga dengan diberikannya dana sebesar 1 Milyar kepada desa, sebagai implikasi dari pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut. Persiapan antisipatif sosial seperti apa yang bisa kita siapkan untuk salah satu desa di kabupaten baru pemekaran dan kecamatan baru pemekaran di ujung Halmahera Utara nun jauh di sana, ketika nanti mereka menerima dana sebesar 1 Milyar. Yang saya maksudkan adalah ekses-ekses negatif dengan adanya dana 1 Milyar tersebut terjadi jauh lebih cepat dibanding kemampuan UU Desa 2014 mengorganisir dan menginternalisasi pengetahuan dan pranata-pranata baru di dalam masyarakat. Kita dengan mudah mengatakan: “…ooo tentu saja pelatihan-pelatihan tentang tatakelola desa yg demokratis, penataan keuangan desa, transparansi dan akuntabilitas akan dilatihkan…”. Uang akan menumbuhkan inkonsistensi dan inkoherensi pranata dan relasi sosial desa yang kontraproduktif dengan ide-ide kebaikan dalam UU Desa 2014. Logika ontologisnya adalah “akibat masuknya UU Desa 2014” justru menguatkan kesadaran realitas masyarakat bahwa “penguasa” semakin berkuasa dan yang “tidak berkuasa” tetap dalam kondisi lemah. Uang menjadi tidak punya makna.

Ketiga, perubahan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat desa terkait dengan diberlakukannya UU Desa 2014 harus menjadi “agenda utama” kegiatan. Pengucuran besaran dana harus dilakukan secara bertahap (mulai dari sedikit menuju lebih banyak) sesuai dengan perkembangan kapasitas dan ukuran justification cost yang terjadi di dalam masyarakat desa bersangkutan. Samarata tentang dana desa merupakan pendekatan dan pemikiran “paling bodoh” dalam konteks merancang sebuah perubahan sosial dan kebudayaan di desa. Jika prinsip sama rata yang dikedepankan, diiringi kemampuan peningkatan kapasitas yang lamban, maka sesungguhnya tidak lain sedang dilaksanakan “Proyek UU Desa 2014”. Semuanya tidak akan menghasilkan apa-apa selain keterpurukan desa menjadi lebih “tidak berdaya” dan “tidak mandiri”. [¡]

Refferensi Bacaan:

“Evolutionary Theories of Cultural Change: An Empirical Perspective”,

Richard R. Nelson. Columbia University, Version: January18, 2005

Gandhi’s Theory of Society and Our Times”, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. © World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com

“Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach”, François Facchini, Mickaël Melki -Centre d'Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011.

“Linking Social Change and Developmental Change: Shifting Pathways of Human Development”, Patricia M. Greenfield. University of California, Los Angeles.

“Theories of Social Change”, Diana Leat, January 2005: International Network on Strategic Planning (INSP): Bertelsmann Foundation, Germany.

“The Evolutionary Theories of Marx and Engels”, Stephen K. Sandorson, March 1998. Working Paper Series no. 38, Institute of Social Studies. Indiana University of Pennsylvania.

UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Tentang Penulis:

Penulis adalah alumnus Antropologi UGM. Pendiri dan Board of Advisory di Lembaga Nawakamal (Yogyakarta), sebuah LSM yang bergerak di penguatan livelihood perdesaan, sejak 1993. Sering terlibat dalam berbagai penelitian sosial dan budaya di berbagai wilayah di Indonesia. Pernah bekerja di Program Pemberdayaan Masyarakat Adat (IRE, Yogyakarta: 2004-2006); Capacity Building-Aceh Local Government Program (GTZ, 2007-2010), Tenaga Ahli Monev di National Management Consultant (NMC)-P2DTK (2011), dan Tenaga Ahli Monev & Analisa Program di Sekretariat Project Implementing Unit (PIU) KPDT (Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal), 2012-2014. Kontak: emilianuselip@gmail.com

Gandhi’s Theory of Society and Our Times”, By: A. K. Saran Source: Studies in Comparative Religion, Vol. 3, No. 4. © World Wisdom, Inc. www.studiesincomparativereligion.com

“Lingking Social Change and Development Change: Shifting Pathway in Development Change”: Patricia M. Greenfield, University of California-Los Angeles: © 2009 American Psychological Association/ 2009, Vol. 45, No. 2, 401–418.

Menganalisis teori-teori sosial yang dipakai menjadi penting sebab teori-teori yang tepat berguna untuk memprediksi kearah mana dan seperti apa kondisi sosial yang diharapkan akan terjadi di masa depan dengan diterapkannya UU Desa 2014. Jelas atau tidaknya asumsi teoritik sesungguhnya kita akan tahu apakah UU Desa 2014 ini diluncurkan oleh karena dorongan tertentu yang tidak terarah (untuk tidak mengtatakan emosional): dorongan kekecewaan, dorongan political akseptabilitas, atau juga dorongan kekecewaan atas lemahnya rezim-burokrasi yang sedang berjalan.

Lihat “Ideology and Cultural Change: A Theoritical Approach”, oleh François Facchini, Mickaël Melki -Centre d'Economie de la Sorbonne, Paris 1, France; 2011. SEMINAR SEPIO JUNE 21, MSE (PARIS 1, FRANCE) and Association for the Study of Religion, Economics & Culture, ASREC Annual Meeting, April 7 – 10, 2011 Hyatt Regency, Crystal City (Washington DC).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun