Jika kita mau cermati lebih mendalam dari sudut kebudayaan, khususnya kebudayaan bertani, maka perlu disadari bahwa masyarakat di provinsi Maluku Utara berbasis pada budaya bertani perkebunan pala, kelapa, kakao, dan atau cengkeh. Pola budaya teknologi pertaniaan perkebunan bersifat tahunan, tidak bekerja dengan jadual ketat harian atau mingguan. Pada musim-musim longgar waktu, di dalam pola perkebunan mereka, mereka mengisi waktu dengan bekerja sebagai tukang kayu, tukang batu, nelayan/menangkap ikan, atau kerja serabutan lain di kota terdekat.
Saya sangat beruntung berkesampatan mengunjungi beberapa kabupaten di provinsi ini secara berkala sejak September sampai November 2016 dengan membantu sebuah kajian tentang pengembangan sektor pertanian siklus pendek untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kerawanan pangan, yang digagas oleh Kementerian Pertanian. Kelompok jenis pertanian siklus pendek yaitu padi, jagung, sayur-mayur, bawang, umbi-umbian, dll yang berumur pendek. Semua jenis tanaman ini adalah pola budaya pertanian yang ratusan tahun sudah dikenal di Jawa, dan relatif baru dikenal oleh masyarakat Maluku Utara. Jika perkembangan budaya pertanian jenis ini boleh kita bagi 3 tahap, yaitu Basic, Develop, dan Advance, maka masyarakat Maluku Utara boleh dikata baru bergerak di tingkat basic pada umumnya dan sebagian sudah menuju develop. Meski sama-sama berbasis pada tanah, budaya pola bertani perkebunan memang jauh berbeda dengan budaya pola bertani tanaman siklus pendek dan palawija.
Sebagai sebuah kerja “kebudayaan”, sesungguhnya tidak bisa di push atau didorong begitu cepat untuk segera dapat berubah cepat mengadopsi kapasitas pertanian sebagaimana sudah terjadi di Jawa dewasa ini. Relasi masyarakat Maluku Utara dengan tanah adalah relasi yang masih sangat “longgar”. Sementara relasi semacm ini di Jawa sudah sangat “tertekan”, amat inten, tidak boleh sejengkal pun tanah tidak termanfaatkan dalam sekuen ruang maupun waktu. Maka sosialisasi kapasitas teknis pertanian hendaknya dilakukan tahap demi tahap. Pengorganisasian budaya bertani dan budaya pasca panen, harus didampingi dengan sabar namun melekat. Lebih penting lagi membuka cakrawala dan jejaring pemasaran hasil panen pertanian siklus pendek, harus merangkul dan menjadi concern semua pihak. Dan di dalam aktivitas pemasaran komoditi itu, apalagi ini komoditi siklus pendek dengan resiko kerusakan tinggi, maka infrastruktur pasar, transportasi, dan moda konektivitas antar wilayah harus pada kondisi relatif baik. Ini gayung bersambut dengan harapan Bapak Jokowi, membangun toll-laut, membuka luas konektivitas, dan menyediakan lebih banyak akses transportasi.
***
Alhamdullilah...program pengembangan pertanian siklus pendek itu telah mampu memberikan dasar pijakan yang relatif kuat dalam arah yang benar, meskipun pengembangan pembangunannya perlu terus didampingi. Program ini secara konsepsi adalah baik, memiliki relasi logic dengan agenda Nawacita dan prioritas-prioritas Bapak Jokowi. Saya yakin kalau program ini masih diberi kesempatan sampai masa akhir jabatan Bapak Jokowi, masyarakat Maluku Utara akan cukup cepat terhindar dari kerawanan pangan bahkan mampu memberi peluang penghasilan dari pemasaran komoditas pertanian siklus pendek. Pemasaran komoditas ini harus mendapatkan perhatian pemerintah, sebab bisnis bahan pangan menyangkut kepentingan masyarakat banyak ini harus dikendalikan oleh pemerintah agar harganya tidak fluktuatif baik dari sudut kebutuhan saprodi pertanian dan juga harga jual produk komoditas.
Bagi saya memperluas akses transportasi dan konektivitas antar wilayah tetap harus dijaga agar efek ekonomisnya menguntungkan rakyat kebanyakan. Jangan sampai pembangunan jenis ini akhir hanya “orang berduit atau pemodal” yang mampu memanfaatkannya untuk mengakumulasi keuntungan, sementara rakyat kebanyakan tetap tidak bergerak secara tingkat kesejahteraan ekonomi. Barang harus bergerak cepat. Namun dia tetap terkendali. Semua level masyarakat mampu mengambil tingkat keuntungan sesuai peran masing-masing.
***
Saya harus menyebar kuesioner untuk keperluan kajian itu ke seluruh kabupaten di Maluku Utara. Tidak mungkin saya lakukan dengan tim saya yang hanya 2 orang karena butuh waktu lebih lama. Saya disarankan untuk berposisi di Ternate, lalu kusioner-kuesioner itu dikirim via speed-boat ke seluruh kabupaten yang penting alamat kontak di daerah cukup jelas. Barang kuesioner itu akan bergerak via speed-boat saja sampai atau speed-boat dan sedikit jalan darat. Jika beruntung, saran dari beberapa orang itu, sore Alhamdullilah sudah bisa ditangan kontak yang Anda miliki dan besok paginya sudah bisa disebar oleh enumerator. Begitu simpel orang-orang itu menyarankan. Tetap saja saya khawatir karena resiko pergerakan kuesioner itu --lewat laut lewat darat tanpa khawalan-- tetap nyata didepan mata saya. Tetapi tidak ada pilihan lain, dan saya mau mencoba percaya kepada intuisi lokal ini. Gila!!! Ternyata relatif berjalan dengan lancar.
Ibu-ibu dan bapak-bapak PNS yang bersama saya di speed-boat, minimal harus mengeluarkan uang Rp. 150.000,- untuk memenuhi tugasnya sebagai pegawai setiap hari. Biaya pp speed-boat Duha-Duha (Ternate) ke Jailolo (Kab. Halmahera Barat) Rp. 100.000, naik angkot pp dari pelabuhan ke kantor dan makan siang katakan Rp. 50.000,. Biaya sebulan untuk ini saja bisa kita perkirakan cukup besar. Jika biaya komoditas-komoditas pangan sehari-hari seperti beras, sayuran, cabai, gula, bahan lauk-pauk, dll tidak bisa ditekan menjadi murah oleh sebab sarana transportasi yang mahal, maka betapa berat hidup mereka. Hidup yang berat ini masih harus dibebani oleh jarak laut yang luas untuk dapat mengontrol dan mengetahui bagaimana anak-anak mereka yang sedang bersekolah.
Memang hidup harus terus bergerak. Tetapi penjelasan saya di atas yang nampaknya lebih berupa kekhawatiran-kekhawatiran, mungkin dilatarbelakangi oleh karena saya berasal dari budaya daratan dengan insfrastruktur transportasi relatif mapan. Mungkin ini berbeda dengan saudara-saudara kita di Maluku Utara, yang hidup dari basis budaya lautan dengan moda transportasi terbatas serta beresiko tinggi. Mungkin hati mereka menjadi lebih tegar. Para perempuan menjadi pengantre speed-boat di dermaga dibarisan paling depan ketika sore hari saatnya pulang kantor. Terbaca di gesture tubuh mereka bahwa mereka ingin segera bisa tiba di rumah. Untuk apa kalau tidak untuk bertemu dengan anak-anak mereka yang sudah mereka tinggal kerja sejak pagi buta. Mereka harus rela berdesak-desak dengan para pedagang dan barang-barang dagangannya di dalam speed-boat.
Sore hari antara pukul 16.00 sampai 18.00 adalah waktunya air laut mulai pasang. Saya merasakan speed-boat berjalan relatif berat dibanding tadi pagi ketika menyeberang ke Jailolo. Air laut nampak menjadi lebih banyak, berat, dan tinggi. Angin bertiup lebih kencang. Dalam deraan ketergesa-gesaan itu saya melihat ada speed-boat yang menyediakan pelampung merah, tetapi ada banyak juga speed-boat tidak menyediakan pelampung. Sore itu menjelang mahrib, saya termasuk duduk berdesak-desakan di dalam speed-boat yang tidak menyediakan pelampung. “Kalau menunggu kapal yang ada pelampungnya, jam berapa saya bisa sampai rumah!!”, kata beberapa bapak dan ibu menyahut bersama ketika saya memberanikan diri bertanya mengapa kapal ini tidak menyediakan pelampung. Saya marah dalam hati!! Tetapi saya juga kagum tanpa alasan dengan situasi dan orang-orang ini.