Mohon tunggu...
Mh. Djuniar Margani
Mh. Djuniar Margani Mohon Tunggu... -

Lelaki yang bernama lengkap Muhammad Djuniar Margani dan biasa disapa Bang Djun ini adalah seorang data analyst juga evaluator, di samping sebagai motivator pada berbagai event pemberdayaan guru yang dilakukan oleh LP3SEP (Lembaga Pengkajian, Pengembangan, dan Pelatihan Sistem Evaluasi Pendidikan). Di samping itu, ia juga seorang ghostwriter dan konsultan independen untuk riset S1, S2, dan S3. Dari istrinya, R.A. Juli Winarno, Bang Djun dikaruniai empat orang amanah ilahiyat (Inal, Nisa, Dienel dan Ucha), dua orang cucu (Keisha dan Khansa), dan menantu (Wulan).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tuhan Masih Hidup

25 Februari 2010   02:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:45 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pengantar:

Hari ini saya coba sajikan BAGIAN KE-DELAPAN dari serangkaian kisah yang saya tulis sebagai bagian utuh dari naskah Novel saya yang bertajuk “Tuhan Masih Hidup,” awalnya dengan penuh keraguan di tengah atmosfer wacana tentang hal-ihwal SARA yang tak berkesudahan. Beruntung ada dua orang dari dunia sastra yang menyemangati saya. Pertama Prof. Ismail Marahimin, dosen FIB-UI dan kedua, Korrie Layun Rampan, salah seorang guru menulis saya. Keduanya berujar, “Tak ada persinggungan SARA di karya ini, hanya judulnya saja yang menggoda, Tuhan Masih Hidup.”

Nah, Kompasianer yang Budiman, selamat menikmati….

———————————————————

       “Tolong….Tolooonggg!”Sebagian orang yang lelap tertidur di barak pengungsian itu serentak terjaga.Dari salah satu sudut ruangan itu sumber suara berasal.Dua orang petugas kesehatan menuju ke sana. Astagfirullah.Apa yang terjadi? Bukankah itu Zaleha dan ibunya?

       Apa yang menjadi kekhawatiran Zaleha benar-benar terjadi.Tengah malam ketika udara begitu dinginnya, Ibunya tersedak.Napasnya memburu.Oksigen yang berwarna biru di tabung kaca kecil itu memang tinggal beberapa senti saja dari alas tabung.Zaleha terkejut dan panik. Saat itulah tanpa sadar ia berteriak-teriak minta tolong.

       Pertolongan darurat diberikan. Keputusan pun diambil.Ibu Zaleha harus diberangkatkan ke rumah sakit.Malam itu juga.Segera saja tandu disiapkan.

       Sejurus kemudian raung sirene ambulan terdengar, seakan jerit yang memilukan.Meninggalkan barak pengungsian itu.Zaleha ikut menemani.Tanpa bekal dan dengan pakaian seadanya. Jilbabnya pun bahkan terkesan lusuh.Warna putihnya sudah pudar. Sepanjang perjalanan Zaleha hanya tertunduk.Tak lepas-lepasnya ia terus memegangi tangan ibunya. Ia tak kuasa menatap wajah ibunya.

       Zaleha hanya dapat memohon.Berharap Tuhan masih memberi hidup bagi ibunya.Ibunyalah kini tautan hidupnya.“Ya, Allah.Jangan pisahkan kami,” lirih doa Zaleha dalam kalbunya.

       Perjalanan malam itu sungguh sangat menegangkan.Menurut siaran radio yang dapat ditangkap oleh pesawat radio yang ada di dekat sopir ambulan, kerusuhan semakin meluas.Melibatkan daerah-daerah yang lainnya.Untung saja ambulan itu mengambil jalur yang benar.Mereka melewati wilayah kelompok komunitas Muslim.Koran-koran menyebutnya kelompok putih.Meski begitu, penjagaan yang berlapis-lapis harus mereka lalui.

       Tepat azan Subuh, itu pun didengar Zaleha lewat radio, mereka tiba di rumah sakit.Lebih mirip Puskemas, rumah sakit di pusat kota Tobelo ini.Lampu-lampu jalan masih menyala di remang pagi itu. Wilayah ini menjadi wilayah netral.Aparat kepolisian dan tentara ada di mana-mana.

       Segera tubuh Ibu Zaleha dipindahkan ke kereta dorong.Seorang suster di rumah sakit itu ganti memegangi tabung oksigen kecil tadi.Zaleha mengikuti di sisi kiri kereta dorong itu.Menuju bangsal perawatan.

       Setelah melewati gerbang utama, mereka berbelok ke kanan.Lorong rumah sakit itu teramat panjang.Di perempatan lorong, hampir saja kereta dorong itu bertabrakan dengan seorang pemuda yang duduk di kursi roda.Kepalanya dibalut verban putih.Darah masih merembes dari balik balutan verban itu.Seorang tenaga medis laki-laki berseragam biru-biru mendorong kursi roda itu ke arah yang berlawanan.

       Zaleha terkesiap.Pemuda itu seperti ia kenal.Ya, Zaleha memastikan bahwa ia mengenalnya. Tapi mereka melaju cepat. Zaleha masih sempat melihat kalau pemuda di kursi roda itu masuk ke ruangan khusus rontgen.

       Ibu Zaleha dirawat di ruang “Kelana”.Alhamdulillah, Tuhan masih memberinya kesempatan.Tabung oksigen besar siap sedia di sisi tempat tidurnya.Sebuah selang bening terpasang melintang di ujung hidung ibunya.Ujung yang lain dari selang itu dihubungkan ke tabung oksigen besar tadi.

       Tangan letih Zaleha membelai mesra kepala ibunya.Keringat membasahi rambut lebat ibunya itu.Ia masih tertidur.Namun napasnya kini sudah lebih teratur.Pelan-pelan Zaleha menarik selimut hijau itu agar tubuh ibunya tidak kedinginan.Tak kurang-kurangnya ia mengucap syukur.

 

 

***

 

       Telah lima hari ini, ibu Zaleha dirawat.Dokter sudah memperbolehkannya duduk.Makanannya pun tidak lagi bubur.Sedang Zaleha, atas pertolongan tim Palang Merah Indonesia (PMI) mendapatkan beberapa potong pakaian.Juga kebutuhan logistiknya.“Alhamdulillah,” Zaleha tak henti-hentinya bersyukur.

       Usai sarapan pagi, atas izin dokter jaga, Zaleha diperbolehkan membawa ibunya berjalan-jalan.Tentu dengan kursi roda.Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu Zaleha.Ia akan coba cari tahu, di bangsal mana pemuda yang dulu berpapasan itu dirawat.

       Zaleha mendorong kursi roda itu.Ibunya berpegangan erat pada lengan Zaleha.Wajahnya tampak berbinar.

       “Bagaimana, Bu?”

       “Alhamdulillah, rasanya Ibu ingin segera pulang!” Jawab ibunya dengan sukacita.

       “Pulang ke mana, Bu?Ke pengungsian?”Zaleha mengingatkan.

       “Ya, ampun. Ibu jadi lupa. Iya, ya…. Kita pulang kemana, Leha?”

       “Sudahlah, Bu.Sementara biarlah Ibu di sini dulu.Lagi pula ini semua ‘kan menjadi tanggungan pemerintah daerah,” Zaleha menenangkan Ibunya.Namun, tiba-tiba wajah Ibunya menampakkan raut kesedihan.

       “Ada apa, Bu?”

       “Ah, nggak.”

       “Ibu kok kelihatan sedih?”

       “Ibu jadi ingat kakakmu, adikmu, juga Ayahmu!”

       “Sudahlah, Bu.Andai Allah mengizinkan, kita akan berkumpul kembali,” ujar Zaleha sambil merengkuh bahu ibunya.Zaleha pun menciumi mesra kepala ibunya.

       “Sekarang, mau kau bawa kemana Ibumu ini, Leha?”

       Zaleha pun menceritakan peristiwa ketika mereka berpapasan dengan seorang pemuda di rumah sakit itu.Tentu saja ibunya tidak ingat apa-apa ketika itu.Bukankah ibunya waktu itu tertidur lelap?

       “Engkau yakin, Leha?”Tanya Ibu Zaleha, ketika ia menyebut sebuah nama.Nama yang terus diingat-ingatnya.Dan praktis mengingatkannya dengan masa lalu.Masa-masa indah, damai dan tenteram dulu itu.

“Selamat pagi, Suster!” sapa Zaleha ketika tiba di muka ruang jaga.

       “Selamat pagi.Ada yang dapat kami bantu?” jawab suster itu.

       “Hm. Anu…. Saya ingin menanyakan sesuatu?”Zaleha agak gugup.Ia berharap benarlah dia pemuda itu.

       “Silakan.”

       “Saya ingin tahu apa ada pasien yang luka kepalanya?”

       “Kenapa.Apa hubungannya dengan adik?” tanya suster.

       “Nggh….Tapi ada ‘kan, Suster?”

       Belum lagi ia menjawab pertanyaan suster, Zaleha malah balik bertanya.Untunglah suster itu sangat sabar melayani.

       “Banyak. Ini daftarnya.Silakan cek sendiri,” jawab suster itu sambil menyodorkan sebuah buku tebal.

Zaleha mencek daftar itu bagian demi bagian.Terutama daftar jenis cidera atau luka.Pada daftar luka di kepala, terdapat ada satu, dua, …, sepuluh nama pasien.Zaleha cepat menghitung angka nomornya. Dibacanya daftar sepuluh nama itu.Satu per satu.Tiba di urutan ke tujuh, jarinya berhenti.Pada urutan nomor 7 tertulis, “Fredrick.Urutan nomor 8 terbaca, “Fredrick M”.Zaleha terkejut.Cepat ditutup buku itu.Diserahkan kembali pada suster jaga tadi.

       “Ketemu yang dicari,” tanya suster itu.

       “Alhamdulillah!Tapi di mana ruang perawatan cidera kepala, Sus?”

       Suster membuka-buka beberapa lembaran kertas.

       “Di ruangan Melati 1 dan Melati 2,” kata suster itu tanpa menoleh.

       “Terima kasih, Sus!”

       Zaleha segera memutar arah kursi roda ibunya.Sebentar saja, Ibu dan anaknya itu sudah melaju.Menyusuri lorong-lorong. Makin cepat.

       Zaleha terus mengamati papan petunjuk ruang perawatan.

       “Nah, di sana itu ruang Melatinya, Bu!”Telunjuk Zaleha mengarah ke kanan.

       Sepanjang lorong menuju ruang Melati, jantung Zaleha berdetak keras.Andai benar pemuda itu Fredrick, andai bukan?Apalagi ada dua Fredrick.Pintu bangsal ruang Melati itu semakin dekat.Hati Zaleha tak keruan.

       Rupanya ruang Melati 1 dan Melati 2 berhadap-hadapan.Zaleha memilih untuk masuk ke ruang Melati 1 lebih dulu.Di pintunya menggantung papan nama kecil.Bertuliskan nama-nama pasien yang dirawat di situ.Nama Fredrick ada di urutan 9.Artinya, menempati tempat tidur nomor 9.Tapi, nama Fredrick M tidak ada di situ.

       Cepat-cepat Zaleha mendorong kursi roda Ibunya ke ruang Melati 2.Matanya terus tertuju pada papan kecil yang bentuknya sama.Syukurlah!Disitu tertulis nama Fredrick M pada urutan 11.

       Lalu, Zaleha membuka pintu ruang Melati 2.Pelan-pelan.Takut-takut mengganggu istirahat pasien-pasien di dalamnya.Kursi roda Ibunya didorong pelan.Cepat Zaleha membaca nomor tempat tidur yang ada.

       Zaleha terus mendorong kursi roda Ibunya ke arah kanan.Antar satu tempat tidur dengan lainnya dipisahkan tabir kain.Ia kini tepat di depan tempat tidur nomor 11.Di ujung tempat tidur itu menggantung papan kecil.Tertulis: Fredrick M.Sayang, tabir pemisahnya sedikit tertutup.Seseorang tertidur lelap.Kepalanya masih dibalut.

       Pelan-pelan Zaleha melangkah.Hati-hati sekali ia menyibak tabir kain itu. Ia dekati wajahnya.Ternyata?Dia bukan Fredrick M yang Zaleha cari.Cepat-cepat ia keluar.Tabir kain itu dirapikan lagi.

       “Bagaimana?” tanya Ibunya.

       “Bukan, Bu!”

       “Tapi namanya benar.Fredrick M,” ujar Ibunya.

       “Yang jelas, M-nya pasti bukan Malaiholo,” jawab Zaleha kecewa.“Ayolah, Bu,” imbuhnya.

       “Kemana?”

       “Ya,… ke ruang Melati 1,” jawab Zaleha sambil terus mendorong.

       “Ya, mudah-mudahan dia yang kamu cari, Nak.”

       “Ya, mudah-mudahan saja.Insya Allah!”

       Di dalam ruang Melati 1 agak lain.Nomor besar ke arah kiri. Zaleha mendorong kursi roda Ibunya. Nomor 6 sedang terduduk bersandar bantal.Nomor 7 masih rebah.Nomor 8 sedang meminum obat.Ditemani seorang suster.Nomor 9….

       Pasien nomor 9 terduduk di atas tempat tidurnya.Sayangnya dia menghadap ke jendela.Jadi membelakangi Zaleha dan Ibunya.Pelan-pelan Zaleha melangkah.Berjarak setengah meter dari ujung tempat tidur itu, Zaleha tertegun.Ragu-ragu ia menyapa.

       “Selamat pagi!”

       “Selamat pagi.Maaf leher saya agak kaku.Anda siapa?” jawab lelaki itu tanpa menoleh.

Zaleha agak ragu.Suara itu memang mirip.Tapi sedikit berbeda. Apa lantaran dia sakit?Lama dia terdiam.

       “Maaf.Anda siapa?” tanya lelaki itu lagi.

       “Maaf.Nama Abang Fredrick?”

       “Ya, benar.Ada apa?”

       “Fredrick apa?”Zaleha makin tak keruan.

       “Apa itu perlu?” lelaki itu mencoba menoleh.“Aduh…,” ia meringis.

       Ketika itulah wajah mereka bertemu.Zaleha terkesiap.

       “Bang Fredrick Malaiholo, ‘kan!Saya Zaleha, Bang!”

       “Zaleha…?Zaleha Marasabessy, maksudmu?”

       Zaleha tak menjawab.Segera mereka berjabat tangan.Fredrick pun lalu menyapa Ibu Zaleha, sambil berkata, “Tuhan masih hidup, Bu!”***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun