Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uang: Jokowi, Prabowo Pun Tertipu Puluhan Tahun (Bag. 3)

9 Juli 2014   05:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:55 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setahun kemudian Fabian menagih hutang. Secara sederhana dijelaskan seperti ini, anggaplah ada 2 pedagang di dunia ini. Maka orang yang berhasil perdagangannya ,misal mendapatkan 105 koin tentumengembalikan ke Fabian sebesar 105 koin. Kemudian iameminjam lagi 100 koin maka bunga (sebagai jasa Fabian membuat koin) sebesar 5 koin. Orang yang beruntung dalam perdaganganakan terkungkung oleh hutang. Apalagi temannya yang kalah dalam perdagangan, belum mampu mengembalikan hutang sebab uang yang terkumpul dari perdagangannya adalah95. Berarti dia hutang 10 koin.

Setelah kita keluar dari penjelasan sederhana barusan, jadi lah bahwa semua pelaku perdagangan atau diferensiasinya merupakan orang-orang yang merugi.

Seorang pun belum menyadari bahwa orang yang meminjam koin kepada Fabian tidak akan pernah dapat melunasi hutang, sebab 5% koin emas sama sekali tidak diedarkan sepenuhnya. Sebagian dari 5% koin emas saja yang beredar di masyarakat. 5% itu seharusnya sepenuhnya beredar, artinya 5% itu sepenuhnya (tidak tersisa) harus Fabian tukarkan dengan barang/jasa (tentu saja untuk kebutuhan hidup Fabian).

Apabila Fabian belanja dengan uang 5% (yang berasal dari total bunga dari seluruh peminjam) baru lah secara pasti masyarakat mampu melunasi hutangnya baik hutang pokok maupun hutang bunga.

Fabian membuka jasa penyimpanan koin. Sebagai bukti deposit maka deposan mendapatkan kertas kuitansi.

Sekarang Kertas kuitansi ini dapat digunakan sebagai komplementer koin emas. Kertas kuitansi ini dapat digunakan masyarakat sebagai alat bayar. Alat bayar berbeda dengan alat tukar.



Saya sempat bertanya kepada pejabat Bank di Bangko (Prop. Jambi). Pejabat Bank menjelaskan bahwa “alat tukar itu seperti koin emas yang nilai intrinsiknya bagus. Sedangkan alat bayar itu seperti kertas yang nilai intrinsiknya merosot (kolaps).” Kemudian pejabat Bank itu menjelaskan “uang kertas kita, rupiah jika tercecer di luar negeri, dia tidak bernilai. Tapi kalo koin emas yang tercecer di luar negeri dia tetap bernilai.”

Di titik ini lah kertas kuitansi berlaku begitu pula koin emas: dapat digunakan untuk membeli barang/jasa.

Adalah fakta banyak orang tidak menukarkan lagi kuitansi dengan koin emas (emas: suatu substansi yang sesungguhnya sebagai alat tukar).

Fabian meminjamkan koin yang ada di gudangnya kepada peminjam lainnya. Definisi secara logika makin terakumulasi lah bunga.

Kemudian ada peminjam yang menginginkan koin dalam jumlah besar untuk kegiatan produksi. Tapi dia pun tertipu. Fabian menyarankan: “saya berikan uang kertas saja.” Alasannya bisa kita tebak: kemudahan dan lebih simple dibanding koin. Bayangkanlah kejadian ini bahwa koin emas tidak didapatkan oleh si peminjam. Dia tertipu.

Kita pasti bertanya! Kenapa kok mau minjam padahal yang didapat cuma kertas kuitansi. Alasannya adalah tercantumnya label pemerintah dan alasan kedua adalah “kemajuan” zaman. Kemajuan ditandai dengan makin melubernya orang-orang yang menginginkan kemudahan, kecepatan dan kehematan. Koin terlalu berat dibanding kertas.

Supaya tidak tercecer, Fabian sejak awal mencatat debit (jumlah penarikan), kredit (jumlah setoran) dan saldo rekening setiap orang.

Bisnis simpan-pinjam ini sangat menguntungkan Fabian.

Seiring kekayaannya Fabian menjadi orang penting, terhormat dan elegan.

Tukang emas lainnya kemudian berkerjasama dengan Fabian dan sepakat menjaga kerahasiaan sistem ini.

Kemudian terpencar lah bisnis simpan-pinjam ini ke berbagai kota.

Kemudian mulai terkenal sebutan cek (suatu intruksi pindah uang antar rekening).

Potensi pemalsuan telah diramalkan Fabian, maka Fabian dkk melobi Pemerintah dan hasilnya sepakat: Pemerintah mencetak uang kertas (keuntungan: kemudahan, misal gampang dibawa atau dipindahkan). Sementara Fabian dkk yang menanggung biaya cetak (tentu sangat murah biayanya).



Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun