[caption id="" align="aligncenter" width="468" caption="Golkar dalam KMP (source: Kompas.com)"][/caption]
Penulis pernah membaca buku yang berjudul Almanak Golongan Karya (Golkar) di Perpustakaan Wilayah Jambi. Dalam buku tersebut, Soeharto menyatakan, kekompakan ke luar hanya dapat terwujud jika kekompakan di dalam diwujudkan terlebih dahulu. Ia menggerakkan Golkar agar solid. Jika di dalam solid, maka akan mampu bekerjasama dengan pihak manapun.
Jika benar hasil Munas IX Golkar (7/12/14) poin “Akan membubarkan KMP dan KIH karena membelenggu anggota DPR dan kedaulatan fraksi.” Maka perlu dicermati langkah awalnya.
Golkar mungkin menarik diri dari KMP sekaligus mempresentasikan pentingnya gagasan anggota dan fraksi bebas berekspresi menghindari belenggu akibat dikotomi di DPR.
Sebenarnya ada praktik di AS yang membuktikan tidak ada masalah terjadinya dua kutub di DPR (Partai Republik dan Demokrat). Nah mirip DPR RI dengan dua kutub yakni KMP dan KIH.
Tidak tepat jika menuduh dua kutub tersebut sebagai penyebab terkungkungnya anggota DPR, sehingga muskil untuk bebas berekspresi.
Dalam kemajemukan di DPR sebenarnya memberi gambaran kepada kita bahwa hal tersebut adalah wadah belajar dan komitmen daam prinsip. Tersebab prinsip sedikit berbeda maka terbentuklah kelompok-kelompok. Jadi, sejujurnya Golkar malah asal sebut alasan.
Dampaknya justru bisa memalukan Golkar sendiri, yang memamerkan partai terbuka dan siap dengan kemajemukan tapi tak sanggup hidup dalam dua kutub prinsip di DPR.
Oleh itu, hasil munas untuk poin menyalahkan kutub KMP dan KIH di DPR adalah sama dengan bunuh diri. Mengaku terbuka dan menghargai kemajemukan tapi faktanya tak siap dengan perbedaan. Layaknya ikan memaksa diri berenang di tanah gurun. Padahal ada kolam air tawar. Lalu kenapa milih tanah gurun?
Ketika belajar eksositem kita akan memahami anekaragam makhluk hidup ternyata sunggh merepotkan tapi kelihatan unik. Makin beragam makin bagus ekosistem tersebut. Ketika seragam maka tunggu saja bencana akan datang karena daya dukung ekosistem menjadi menurun. Dampaknya muncul kelaparan, misalnya. Demikianlah dari sisi ekologi.
Bagaimana dalam sisi politiklogi (kalau boleh disebut begitu)? Daya dukung ekosistem DPR adalah baik ketika menjaga kemajemukan gagasan.
Sudahlah, kutub KMP dan KIH terbentuk dengan gagasan yang berbeda. Penulis yakin keduanya sama-sama berniat baik. Mestinya bekerja keras sajalah.
Hendaknya kita memahami, meskipun udah umur 25 tahunan, kita tetap mempunyai sisi kekanakan lho! Cuma kita mampu mengatur kadarnya. Oleh karena itu, kita kadang seperti anak-anak kalau kelahi, nanti dengan sendirinya akur lagi. Sejak kecil lho kita sadar tidak ada yang mampu hidup sendiri. Maka dengan sendirinya akur lagi.
Jadi, gak nyambung tuh hasil Munas IX Golkar yang ingin membubarkan KMP dan KIH demi kedaulatan fraksi. Gak nyambung.
Tapi, penulis menekankan ini judul dengan awalan Jika atau seandainya. Nanti kita simak pernyataan resminya dari Golkar seperti apa. Apakah Golkar benar ingin membubarkan KMP dan KIH? Perlu menyimak keterangan dari Golkar secara resmi. Ketika saya berkunjung ke website Partai Golkar, ternyata berita ter-update bulan September. Tidak ada berita bulan Oktober dan November apalagi Desember. Golkar yang kata Tantowi Yahya sebagai partai besar yang sudah teruji ternyata tidak update berita di websitenya. Jangan mau kalah dengan Partai Komunis China punya kantor berita lho yang selalu up-date per hari!
Patut diacungi jempol, Golkar terbukti masih solid yakni berdasar keterangan DPP Golkar (tadi penulis lihat di siaran tv) bahwa ketua DPD Kabupaten dan DPD Provinsi tidak ada satu pun di Munas palsu Golkar. Penulis sependapat dengan Tantowi Yahya, tidak ada Munas tandingan. Istilah itu bikinan pers/media doank untuk mengobok-obok air menjadi keruh. Kalau bukan tujuan itu, berarti untuk tujuan pers/media cari untung.
Read more:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H