[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Alasan Pengembangan Kurikulum (image source: kemdiknas.go.id)"][/caption]
Kita dihadapkan dengan kabar tentang kritik terhadap K’13: (1) Jum’at (12/12/14) di kantornya, Haryono Umar, Inspektur Jenderal Kemendikbud, menyatakan bahwa ada prediksi tentang dampak jika K’13 dilaksanakan secara terburu-buru, yaitu seputar resiko anggaran, pencetakan buku pelajaran, pelatihan guru dan infrastruktur.[1] (2) Dalam diskusi Polemik yang digelar di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (13/12/14), Abduh Zen, Pemerhati Pendidikan, menyatakan bahwa guru di Indonesia dalam kondisi yang memprihatinkan. Apalagi harus menghadapi perubahan kurikulum 2013. Beliau menginginkan guru-guru Indonesia di-training.[2] Sabtu (13/12/14) di Jakarta, Anies juga menyatakan K’13 akan tetap dijalankan setelah direvisi. Penerapannya dilakukan secara bertahap di sejumlah sekolah sesuai dengan kesiapan masing-masing sekolah.[3]
Kita disuguhkan kabar tentang tantangan di masa depan: Anies di Jakarta, Sabtu (13/12/14) dalam diskusi Deklarasi Djuanda: Mengukuhkan Indonesia sebagai Tanah Air Kita, menyatakan bahwa tantangan ke depan bagi pemerintah adalah tanggungjawab memajukan skala ekonomis sebagai negara kesatuan.[4]
Kita pun disuguhkan dengan hasil polling news.detik.com bahwa lebih banyak yang pro dengan penghentian sementara pelaksanaan K’13. Semenjak tulisan ini dibuat, hasil polling, yang pro 31 orang sedangkan kontra 24 orang.[5]
Kita disuguhkan lagi dengan perpecahan, DPR pecah dua, PPP pecah Dua, Golkar pecah dua.Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan, Sabtu (13/12/14) di Universitas Muhammadiyah Jakarta, menyatakan bahwa orang sudah capek nonton DPR. DPR tebelah dua, Golkar terbelah dua, PPP terbelah dua.[6] Seolah bertalian dengan pelaksanaan K’13 yang membuat pihak yang terlibat dalam pendidikan menjadi terbelah dua (sebagian KTSP, sebagian K’13).
Dampak dari Kebijakan selalu ditodongkan ke pemimpin. Pemimpin seperti apakah yang dibenci oleh masyarakat? Menurut polling MTGW, 1303 (39,99% dari 3.291) voters menyatakan pemimpin yang dibenci adalah pemimpin yang berusaha tampil jujur padahal menyembunyikan ketidakjujuran yang jelas. 24,61% menyatakan pemimpin yang memelintir hukum untuk melindungi diri, anak buah dan kelompoknya.17,78% menyatakan pemimpin yang plin-plan. 10,94 % menyatakanpemimpin yang membodohi publik dengan pidato yang tidak di-follow-up. 7,08% menyatakan pemimpin yang tidak tegas tapi pemarah.[7]
Begitulah, betapa beratnya posisi pemimpin. Apakah itu Jokowi yang memimpin Indonesia, maupun Anies yang memimpin kemendikbud. Kalau sudah memperlihatkan ketidakjujuran, maka taruhannya masyarakat mulai kurang hormat kepada mereka.
Coba kita perhatikan! Beralih dahulu ke pengertian belajar sebagai kegiatan utama, terlepas dari apakah Kurikulum berubah ataupun tidak! Mungkin ada yang salah mempersepsi “belajar.” Belajar itu apa sih? Sekolah itu apa sih maknanya?
Apa itu sekolah? Apa itu belajar? Pertanyaan itu muncul karena ada yang memisahkan dunia nyata dengan dunia pelajaran. Itu juga muncul karena belajar hanya dipersepsi sebagai kegiatan di sekolah. Selain itu, juga karena anak jalanan merasa tak bisa belajar ketika tidak bisa bersekolah. Bahkan itu juga muncul karena seorang yang lanjut usia (yang sebenarnya masih bisa bekerja) malah merasa lebih baik mengemis daripada bekerja. Itu tidak muncul, kecuali karena pandangan sempit.
Seharusnya sekolah adalah kehidupan atau kehidupan adalah pembelajaran atau disingkat dengan “Sekolah Kehidupan.”
Sekolah kehidupan ditopang oleh ekonomi sejahtera, selaras dengan pernyataan Anies, bahwa tanggung jawab pemerintah adalah memajukan skala ekonomis.
Dunia nyata dan dunia pelajaran menyatu oleh persepsi bahwa kita bisa belajar kepada siapapun, di mana pun dan karenanya kapanpun bisa belajar. Itulah sekolah kehidupan.
Sekolah kehidupan ditandai dengan tidak ada “bersekolah” sebelum “bekerja” dan tidak ada “bekerja” setelah “bersekolah.” Sehingga, remaja yang sudah akil baligh, sejak dini harus bekerja, misal berniaga.
Sekolah kehidupan adalah ketika “bekerja” menyatu dengan “bersekolah”. Janganlah mengarah ke alienasi: “Kita di rumah ketika kita tidak bekerja, dan ketika kita bekerja kita tidak di rumah.” Kita yang kaya minyak cuma memasok BBM sebesar 45% untuk negeri, sisanya kita mengimpor.
“Kita di rumah ketika kita tidak bekerja, dan ketika kita bekerja kita tidak di rumah.” Juga berarti, kita asing di rumah kita sendiri. Atau barangkali kita tidak memiliki rumah karena dimiliki oleh orang asing? Kita kaya emas, tapi sedikit memilikinya. Kita kaya emas tapi yang paling sibuk dengan emas kita adalah orang asing.
Solusinya?
Maka, dari sekaranglah mulai, mobilisasi pendidikan non-formal sebagai manifestasi sekolah kehidupan! Di sekolah dan di luar sekolah kita bisa belajar. Keluargalah penyangga sekaligus benteng terakhir atau pertahanan ditengah terpaan kultur riba-isme, judi-isme, tawuran-isme, rusuh-isme, narkoba-isme, korupsi-isme, hedonisme, plagiarisme, liberalisme, atheisme, malas-isme dan seterusnya. Oleh itu, diperlukan kesiapan semuanya, baik siswanya, gurunya, manajemen sekolahnya, negara dan bangsanya serta keluarga (masyarakat umum).
Memang mengubah karakter (khususnya entitas pemikiran “sekolah kehidupan” atau istilah kerennya adalah “long life education”) tidak semudah membalikkan telapak tangan. Oleh itu, jika sulit melihat perubahannya, maka nanti waktu yang akan membantu. Bersabar itu niscaya, kita tetap mobile (aktif dan inovatif) di kala kesulitan-kesulitan mendera. Dari mana memulainya? Mulailah dari menghancurkan paham bahwa belajar itu cuma di sekolah.
“Sekolah Kehidupan” sudah terbukti dampak hebatnya, Bill Gates sebagai satu contoh. Beliau pernah dikeluarkan (Drop Out) oleh Universitasnya. Tapi program hasil karyanya dan tim-nya menjalar ke seluruh dunia, bahkan ada di rumah kita. Terbukti memberikan kemudahan di bidang informatika, kemudahan bagi kerja kita, belajar kita atau sekolah kita.
Dengan sekolah kehidupan, pada akhirnya kita akan memiliki hak kita, emas kita, hasil tambang kita, hasil peternakan/perikanan kita dan hasil pertanian kita. kita memiliki rumah kita, kekayaannya, kita dermawan bukan karena bodoh, dan kita bukan orang asing di rumah kita sendiri.
Read more:
[2] http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/13/kondisi-guru-di-indonesia-memprihatinkan [3]http://nasional.kompas.com/read/2014/12/13/17575581/Anies.Siap.Jika.Dipanggil.DPR.terkait.Revisi.Kurikulum.2013.?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
[7]http://www.mtgwpoll.com/polling/cat/40/1/nasional/kepemimpinan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H