Memakzulkan Jokowi? Saya tak peduli dengan yang ini. Juga tak peduli dengan pro dan kontranya. Memang kemiskinan dan kekayaan sudah bagian dari hidup ini dari dulu sampai sekarang. Tidak perlu takut dengan naiknya harga beras dan naiknya nilai tukar dolar, karena rezeki sudah dijamin Sang Pencipta [Simak History of the Money Changers di sini].
Bayangkan saja! Cicak hidup di dinding, nyamuk tak banyak, tapi cicak tersebut hidup juga. Belum ditemukan cicak kelaparan. Cicak dan Nyamuk, bagian dari rantai makanan dan manusia cenderung berada di tingkatan trofik tertinggi, karena omnivora.
Dalam ekosistem, faktor biotik (misal, bakteri sebagai dekomposer, padi sebagai produsen, manusia, cicak, dan nyamuk sebagai konsumen) saling mempengaruhi dengan faktor abiotik (misal, tanah, udara, air, dan cahaya). Hubungan antar spesies dapat dilukiskan dalam jaring-jaring makanan yakni kumpulan rantai makanan. Sekali lagi, rezeki memang dijamin Sang Pencipta. Selanjutnya manusia tinggal berusaha menghasilkan laba.
Karena memang rezeki sudah dijamin Sang Pencipta dan Surga belum dijamin, maka yang lebih prioritas adalah mengabdi kepada Sang Pencipta.
Memang tim Ekonomi Jokowi harus kerja ekstra, tapi sayang sekali Pak Jokowi tak mendalami Makroekonomi. Semoga beliau selanjutnya, mendalami makroekonomi. Saya berbangga sejauh ini Kemenkeu menyiapkan paket kebijakan menghadapi depresiasi nilai tukar rupiah.
Di satu sisi saya juga cukup sedih dengan Pak Jokowi yang menyatakan, “tanya makroekonomi, jangan tanya saya!”
Saya khawatir nanti orang akan diarahkan untuk bertanya ke saudara saya yang belum jeli membedakan mana yang fiksi dan fakta, opini dan fakta, asumsi dan fakta, atau hipotesa dan fakta.
[caption id="attachment_403645" align="aligncenter" width="601" caption="(source: kompasiana)"][/caption]
Filosofi rezeki dijamin Sang Pencipta merembes ke Indonesia yang memiliki tingkat semangat hidup lebih tinggi Jika dibandingkan dengan negara Industri seperti AS, Jerman, Perancis, Australia, Rusia, China, India, Jepang dan Korea. Dihitung untuk setiap 100.000 penduduk AS, Jerman, Perancis, Australia tingkat bunuh diri 10,0-14,9%, India, Jepang, Korea dan Rusia >15%. China 5,0-9,9%.sedangkan Indonesia <5% (WHO, 2014). Karena religiusitas penduduk Indonesialah yang melatarbelakangi semangat hidup dan menepis hasutan menyerah (berputus asa).
Adnan Oktar pernah menyitir hasil penelitian bahwa orang yang taat beragama terhindar dari rasa putus asa dan bunuh diri (Oktar, 2007).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H