Mohon tunggu...
Mahendra
Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja *FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Uang: Jokowi, Prabowo Pun Tertipu Puluhan Tahun (Bag. 4)

10 Juli 2014   13:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:47 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbaca di post FB, kalo mau tengok Jokowi menang nonton lah metro-tv, kalo mau tengok Prabowo memang nonton lah tv-one. Seru! Seperti pertandingan plus drama adu pinalti antara Belanda versus Argentina. Menang-kalah biasa lah.

Kalo di TPS se-Pematang Kandis Bangko Merangin Prop. Jambi. Prabowo menang telak berdasarkan rekapan C1. Saya agak sangsi jika cepat menyimpulkan secara nasional Jokowi yang menang, pun Prabowo. Kita tunggu aja real-qount KPU ya. Tapi boleh juga bagi yang punya saksi partai dan lengkap maka bisa lah Real-Qount dilakukan. Adu data C-1 aja kalo gak sabar menunggu 22 Juli. Bisa seru! Baru lah nanti bicarakan segera tentang kabinet.

Tapi keliru kalo sekadar berpatok pada Quick-Qount saja. Apa lagi cuma ada dua peserta PILPRES yang memungkinkan selisihnya beda tipis saja. Nah.. biar lebih meyakinkan kita tunggu aja hasil Real-Qount KPU sebab ia menggunakan seluruh populasi objek yang dinilai sedangkan quick qount menggunakan sebagian populasi saja. Jika taraf kepercayaan dalam uji statistiknya 0,01%, maka itu sangat bagus artinya peluang kesalahannya sangat kecil. Apakah Quick-Qount taraf kepercayaannya seperti itu?

Nah sekarang kembali ke Sejarah Uang:

Secara de jurepenambangan emas dibatasi. Namun secara de facto ini memberikan kekuasaan monopoli terhadap hasil tambang emas.

Orang-orang yang menambang emas harus menjualnya kepada Fabian dkk dan mendapat gantinya dengan koin emas atau uang kertas.

Dicetak lah uang kertas dengan pecahan tertentu. Biaya cetak ditanggung Fabian dkk.

Uang kertas memang gampang dibawa. Tapi uang yang beredar cuma 10% dari nilai transaksi masyarakat. Fakta perdagangan menunjukkan 40% nilai transaksi dilakukan dengan cara pindah buku (cek).

Deposan berpikir lebih baik dapat 3% (bunga) daripada meminjam uang (sebab bayar 5%[bunga]).

Rahasia akan terbongkar jika masyarakat mengambil kembali emas mereka dari gudang Fabian. Tapi faktanya 1 dari setiap9 orang saja yang menarik kembali emas mereka.

Banyak orang membayangkan Fabian untung 2 $. Padahal sebenarnya Fabian untung lebih dari itu, sangat banyak.

Tukang emas mendistribusikan uang kertas dan koin yang dicetak oleh Pemerintah dan ditandatangi oleh Gubernur. Banyak orang mengira suplai uang adalah operasinya Pemerintah.

Di titik ini Capres-Cawapres Indonesia harus lah paham tentang orang-orang yang terduga berafiliasi dengan Bankir. Kalau tidak berarti baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama jadi korban penipuan.

Muncul pertanyaan. Mengapa orang meminjam? Tentu saja untuk modal produksi barang/jasa.

Di masa kini, bagaimana Jokowi maupun Prabowo menjawab pertanyaan. Mengapa bunga itu tidak bisa dilunaskan dengan sistem yang sekarang kita pakai ini? Apakah hubungannya dengan hutang luar negeri?

Kata kuncinya ada pada sistem riba yang sebelumnya sudah dijelaskan.

Tapi ingin lah saya menjelaskan sekali lagi. Muncul masalah bagi Fabian: sebagian orang protes dengan logikanya bahwa bunga 5% itu tidak beredar di masyarakat secara penuh sehingga tidak mungkin bisa dilunaskan. 5% itu tidak eksis.

Fabian berakal: dia memberi solusi yang sebenarnya bukan solusi. Itu cuma alibi.

Orang-orang yang protes tertipu dengan nasihat: “Kamu harus meningkatkan produksimu, potonglah ongkos belanja Pabrik, tambah wawasanmu, kamu itu masih muda. Belum terlalu paham masalah zaman. Ikutilah nasihatku!”

Harga barang/jasa mulai meninggi, konsekuensi dari sistem riba. Itu dapat dipahami bahwa untuk membayar bunga perlu meningkatkan modal, jika modal meningkat harga pun meningkat. Permintaan sedikit harga pun meningkat. Dimulai lah protes karyawan karena dampak perusahaan yang pelit. Seperti abad ke-21 ini.

Orang-orang tumbuh makin kreatif. Coba lihat di program Mata Najwa. Eka Gustiwana membuat lagu unik dari fragmen-fragmen video Capres dan Cawapres Indonesia. Implikasinya tak lain,  bertambahnya penghasilan/gaji/upah. Tapi bagi kebanyakan orang, melekat perilaku kurang kreatif.

Dianggap lah Fabian sebagai pakar dan mulai mempropagandakan bahwa sistem riba itu menjadikan hidup lebih baik.

Hampir tidak pernah orang bertanya tentang sistem.

Banyak orang lupa sebenarnya mereka masih punya tanah yang subur, hutan yang kaya, meski saat itu harga barang/jasa sedang tinggi. Mereka hanya terpikir uang, uang, dan uang. Merasa uang saya kok kurang (itu lah besarnya hawa nafsu).

Masyarakat mempercayai bahwa pemerintah lah yang menjalankan sistem.

Kemudian muncul demonstrasi atas kondisi harga-harga yang melambung tinggi. Tapi tetap saja masih banyak yang tidak bertanya soal sistem.

Beranjak ke abad ke-21. Saya jadi teringat tiap kali membayar pajak ternyata tiap tahun biaya pajak meningkat. Semakin terbaru kendaraan kita punya, maka semakin tinggi pajaknya.

Kembali lagi ke masa lalu uang: muncul kompetitor. Orang yang berlebihan uangnya membentuk perusahaan simpan-pinjam yang bunga pinjaman sebesar 6%, lebih menguntungkan bagi peminjam ketimbang apa yang ditawarkan Fabian dkk (3%).

Banyak kasus Fabian dkk membeli perusahaan simpan-pinjam itu. Ujung-ujungnya Fabian dkk lah yang memegang kendali seluruh perusahaan simpan pinjam tanpa terkecuali. Kini Fabian tidak punya kompetitor lagi.

Sementara itu situasi ekonomi makin memburuk atau chaos antara Fabian dkk, Bos industry, Pemerintah, karyawan, dan orang-orang yang menganggur.

Masalah bagi Fabian: Bos Industri makin untung dalam pandangan karyawan. Karyawan menuduh Bos rakus keras. Di sisi lain Bos men-tersangka-i karyawan pemalas dan tak bekerja keras. Kemudian pemerintah lagi bingung bagaimana mengatasi masalah orang-orang yang paling miskin.

Dimulai lah program sosial plus bayaran. Sebagian orang marah sebab “kok pake bayaran? Membantu ya pasti suka rela bukan memaksa." Inilah perampokan yang dilegalkan: masyarakat diberi pilihan mau bayar atau penjara.

Program itu cukup membantu. Tapi cuma sementara. Masalahkemiskinan muncul lagi. Sebab bunga pinjaman makin terakumulasi dan tak bisa dilunasi.

Ongkos sosial meningkat.

Diakui bahwa wakil rakyat orang-orang baik. Eh.. saya jadi teringat apa yang dikatakan teman saya, dia sarjana bidang sejarah dari UGM. Dia bilang, “ada 3 jenis orang positif di dunia ini: (1) orang berani, (2) orang cerdas, (3) orang baik. Orang berani berada di level paling atas sebab paling berkualitas yang tergambar dari taruhannya adalah nyawa. Orang cerdas berada diantara level orang berani dan orang baik. Kenapa? Karena orang cerdas relative tidak gampang ditipu.

Kembali ke wakil rakyat: mereka adalah orang baik tapi tidak tahu akar masalahnya ada pada sistem. Mereka malah meminjam uang lagi ke Fabian. Kini masih lah: biaya dokter mahal, biaya obat mahal dan lain-lain.

Maka kemudian sebagian perusahaan diambil oleh Pemerintah.

Masyarakat jadi budak unit sistem ekonomi. Di tengah kebuntuannya, Pemerintah lagi-lagi berkonsultasi dengan Fabian dkk. Fabian menipu lagi. Ia menawarkan: “ambil lah pajak atas orang kaya dan berikan ke orang miskin”.

Ini sekilas memang solusi, tapi lama-kelamaan ini cara menjaga rahasia sistem (riba).

Sekolah dan Rumah sakit seharusnya gratis bagi mereka yang kurang mampu.

Bersambung…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun